Sejak dahulu Indonesia memang terkenal memiliki tanah yang subur. Hal ini yang menjadi daya tarik bangsa Eropa untuk datang ke Indonesia. Ketersediaan sumber pangan yang melimpah tentu menjadikan Indonesia menjadi negeri yang kaya dan berkecukupan.
Akan tetapi semua itu hanyalah menjadi sebuah ilusi ditahun-tahun sekarang ini. Bagaimana tidak, selayaknya kondisi tanah yang subur tersebut semestinya mampu mensejahterakan rakyatnya terutama kalangan petani. Namun tanah subur dengan kesejahteraan rakyat di negara ini tidak berjalan seirama. Justru sebagian besar petani Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan (Menteri PPN: Bambang Brodjoegoro/2017).
Pada tahun 1960-an, seorang antropolog Amerika, Clifford Geertz, pernah meramalkan suramnya masa depan petani Indonesia (khususnya Jawa) dengan teorinya “Agrarian Involution” atau involusi pertanian. Dia menganggap bahwa pertumbuhan penduduk yang setiap tahunnya meningkat tidak berjalan seiring dengan pertumbuhan lahan pertanian.
Seorang petani harus menghidupi anak dan istrinya dengan penghasilan seadanya dari lahan yang ada. Oleh sebab itu, sebagian besar petani Indonesia mengalami pemerataan kemiskinan (Shared poverty). Padahal, pertanian di Indonesia merupakan aspek vital yang telah memberi kontribusi besar dalam sejarah, serta sumber suplai pangan untuk keberlansungan hidup masyarakatnya.
Hingga tidak dapat terelakkan, akan pentingnya sektor pertanian di negeri ini. Salah satu bukti eksistensinya, dilihat dari diperingatinya hari tani nasional (HTN) pada tanggal 24 September tiap tahunnya.
Inilah hari istimewa untuk petani Indonesia, pada hari itu ditetapkan undang-undang NO. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (dikenal dengan UUPA 1960) yang mengatur tentang hak-hak dan kewajiban kaum tani, mengatur hak atas tanah, hak atas sumber-sumber agraria untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran petani dan bangsa.
Kelahiran UUPA inilah yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Tani Nasional. Penetapannya berdasarkan keputusan Presiden Soekarno No. 169/1963, menandakan bagaimana pentingnya peran dan posisi petani sebagai tulang punggung bangsa.
Akan tetapi di hari tani yang ke-59 ini, justru tidak kunjung menunjukkan titik terang dan bahkan rasa sejahtera bagi para petani. Padahal kedaan ini seharusnya menjadi fokus utama.
Pemecahan masalah terkait pertanian di Indonesia, seyogyanya menuai jalan keluar. Mengingat Indonesia adalah negara dengan sebutan negara agraris, tersebab keunggulannya dalam hal pertanian.
Namun, bukannya mendapatnya solusi yang baik, peningkatan pertanian di Indonesia semakin hari justru mengalami keterhambatan. Hal ini tidak terlepas dari faktor-faktornya, pertama, adanya anggapan bahwa seorang petani memiliki masa depan yang kurang menjanjikan. Dikarenakan mayoritas penduduk yang berprofesi sebagai petani tergolong orang yang miskin dari segi materi.
Hal ini yang pada akhirnya memunculkan sikap pesimis bahkan frustasi. Karena mindset tersebut pula lah, seseorang enggan menjadi petani, bahkan tak ayal beralih profesi menjadi wiraswasta, pegawai, dan pekerjaan lainnya yang dianggap memiliki derajat lebih tinggi dibanding petani.
Kedua, adanya alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian. Lahan pertanian semakin mengalami penyusutan akibat progresnya pembangunan yang semakin hari semakin meningkat. Lahan pertanian menjadi target yang sangat strategis untuk ditanami semen dan beton-beton bangunan. Hingga penggusuran lahan sudah menjadi hal lumrah dan tak asing lagi kita dengar.
Ketiga, rendahnya pendidikan petani mengakibatkan hasil pertanian tidak dapat dikelola dengan baik dan maksimal. Sebagian petani mengelola lahan pertaniannya berdasarkan pengalaman dan pengetahuan turun temurun dari leluhur terdahulu. Hingga sampai saat ini sektor pertanian Indonesia masih terkendala dengan masih rendahnya tingkat pendidikan petaninya, mayoritas pendidikan mereka lulusan sekolah dasar (SD), hingga tak heran jika produksi pertaniannya kurang berdaya saing tinggi.
Tercatat petani yang lulusan SMP sebesar 15 %, SMA sebanyak 9 %, dan pendidikan tinggi hanya berkisar 1 %. Hal ini menjadi permasalahan yang cukup vital bagi sumber daya manusia (SDM) petani Indonesia, hingga mempengaruhi tingkat produktivitas pangan di Indonesia ( jabar.antarnews.com).
Jika demikian lantas siapa yang mesti disalahkan? Apakah para petani dengan strata pendidikan yang minim atau pemerintah yang kurang memberikan pengetahuan? Atau bahkan pemerintah dengan dalil kesejahteraan yang justru malah melakukan penggusuran lahan pertanian secara terus menerus?
Entahlah. Tetapi, pastinya petani harus bebas dan merasakan kemerdekaan dari tekanan perampasan lahan yang tidak tanggung-tanggung terjadi. Petani harus sejahtera di negeri yang berlabel agraris ini. Kalau tidak, mungkinkah Indonesia akan mengalami krisis pangan kedepannya? []
Naspadina, Jurnalis LPM Rhetor dan mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.