Mengutuk Buku Itu

807
Ilustrasi: Alifia MaharaniIlustrasi: Alifia Maharani

“Pokoknya semester depan aku mau bantu bapak di sawah saja!”

Sudah empat kali kalimat itu terlontar dari mulutnya kepada Sang Ibu semester ini. Sidik, pemuda berambut ikal itu kemudian berpaling dari Sang Ibu setelah protesnya tersampaikan. Sang Ibu mencoba menahan amarah, memikirkan alasan agar anaknya tidak putus sekolah.

Sidik berjalan menuju kamar di samping pintu masuk rumah. Kamar itu nyaris kosong melompong. Di dalamnya hanya ada selembar tikar dari anyaman bambu tua serta baju-baju Sidik yang bergantungan di tembok. Sidik langsung menjatuhkan badannya. Menarik napas panjang dan mencengkram ujung tikar yang terkelupas dari rajutan.

“Sudah untung bisa sekolah, masih rewel saja,” sang Ibu menggertak sambil mendekati anaknya yang sedang dipenuhi kekesalan. “Sekolah itu buat kamu, masa depanmu.”

“Percuma aku sekolah, pelajarannya pun kadang tak sesuai kehidupanku, kadang juga menghinaku.”

Saat memasuki kelas 2 SD, Sidik dikenal sebagai siswa yang begitu getol dengan pelajaran di sekolah. Dengan usaha keras, Sidik ingin  membuktikan pada semua orang bahwa dia bisa menjadi seorang terpelajar, meskipun ia memiliki keterbatasan dalam hidupnya. Terutama ia ingin membuktikan kepada kedua orang tuanya–yang rela memeras keringat untuk membiayai sekolahnya itu.

Dengan gairah belajarnya, Sidik perlahan-lahan menyaingi teman-teman di kelasnya. Nama Sidik tercantum dalam lima besar ranking di kelas. Sidik memperoleh sanjungan dari guru-gurunya sebab kerja keras dan perolehan prestasinya. Saat itu, Sidik memperoleh harapan agar sekolahnya dapat dituntaskan dengan penuh semangat dan kegembiraan.

Namun, begitu disayangkan, semua hal itu berubah sejak Sidik beranjak masuk kelas 3 SD. Pelajaran yang mula-mula ia sukai berganti menjadi momok yang menakutkan. Seakan-akan pelajaran itu tidak relevan dengan kehidupan Sidik. Bahkan tak jarang pelajaran itu merendahkannya.

“Nak Sidik, apa yang kamu lakukan ketika liburan?” Pertanyaan ini terucap dari Pak Guru PKN.

“Saya main kelereng, Pak,” Sidik menjawab dengan senyum lebar dan mata bersinar, seakan permainannya itu adalah yang paling menyenangkan di sekolahnya.

“Main kelereng tuh, selain menyenangkan kalau jago juga menghemat uang, Pak,” imbuh Sidik. Pak Guru PKN mengangguk dan tidak memberi respons kembali.

“Kalau kamu, Vin?” Pak Guru PKN menanyakan satu per satu anak di kelas itu. Jawabannya beragam. Ada yang bertamasya ke suatu pantai, menonton TV seharian, dan juga yang memainkan video game terbaru hadiah dari orang tuanya.

Mendengar jawaban-jawaban itu, Sidik tidak merasa gentar atau dikucilkan. Ia masih saja menganggap bermain kelereng bukanlah sesuatu yang buruk meskipun hal itu terlihat berbeda dengan lingkungannya.

Sidik pulang dari sekolah. Ia melihat bapaknya berada di sebelah sumur, mempersiapkan beberapa ember air untuk memasak dan mandi sore. Sepeda ontel dan cangkul telah tertata rapi di samping rumah, pertanda bapak Sidik sudah pulang dari sawah. Sidik menghampiri ayahnya. Dikecupnya tangan yang belepotan dan beraroma tanah.

“Bapak…Sidik nanti makan telur boleh ya!!”

“Bapak tidak punya telur, Nak,” bapak Sidik mengangkat senyuman sambil mengelus rambut anaknya. “Besok kalau panennya dapat banyak, bapak belikan tiga biji,” imbuhnya.

Sang Bapak menghela napasnya. Ia merasa sedih karena tak mampu membelikan lauk yang pantas untuk anaknya. Beberapa bulan ini, sawah yang ia garap–milik juragan Desa M–terkena serangan hama. Sang Bapak hanya mampu memberi anaknya menu sehari-hari, seperti nasi, garam dan kerupuk.

“Oh, tidak apa-apa, Pak. Makan seperti biasanya saja juga udah enak,” Sidik sudah terbiasa menyantap menu-menu seadanya itu. Lebih-lebih, ia bersyukur ketika bapaknya mampu memberinya makan.

Gelap malam mulai menyelimuti rumah Sidik yang minim cahaya. Setelah makan, Sang Ibu menyuruhnya untuk belajar. Sidik membawa senter tua dan beberapa buku tak bersampul. Ia membeli buku itu di pasar barang bekas. Buku itu berisi materi yang disajikan dalam bentuk gambar agar memudahkan pembacanya.

Sidik melihat gambar-gambar yang asing seperti kulkas, mobil, mesin cuci, rumah, dan barang-barang mewah lainnya. Ia berharap kelak akan memiliki barang-barang asing itu.

Setelah lima halaman membaca buku, Sidik menemukan gambar seorang petani – profesi bapaknya. Sidik merasa senang ketika petani masuk dalam buku pelajaran. Sidik mengamati lagi gambar itu, di sampingnya terdapat gambar-gambar pemulung, tukang becak, dan pekerjaan yang biasa ia temui sehari-hari. Di bab lain, ia melihat gambar pekerjaan “orang kaya” seperti orang kantor, dokter, dan sebagainya. Sidik masih mencari alasan, gambar-gambar ini dipisahkan dan terlihat mencolok perbedaannya.

Akhirnya Sidik sadar, kalau pekerjaan bapaknya digolongkan sebagai pekerjaan orang kotor dan kumuh. Sebuah pekerjaan yang bergantung pada musim serta pekerjaan yang tidak diinginkan manusia. Buku itu menjelaskan bahwa pekerjaan kantor paling diminati masyarakat. Sebaliknya, Sidik merasa penjelasan tentang petani begitu keji dan menjijikkan.

Sidik merasa dihantam buku bacaannya sendiri. Ia memikirkan kembali kondisi bapaknya. Dan memang benar, kalau pekerjaan bapaknya bukan pekerjaan yang menjanjikan. Namun lagi-lagi, bapaknya bisa menghidupi Sidik selama ini, dengan penuh ketangguhan dan perjuangan. Sidik menyimpulkan, bahwa buku ini mengejek bapaknya, pejuang hidupnya.

….

Di kemudian hari, selembar soal ujian akhir semester yang berisi pertanyaan-pertanyaan mata pelajaran IPS dibagikan kepada siswa. Sidik mulai gelisah. Ada sebuah pertanyaan yang membuatnya garuk-garuk kepala, “Apa yang kalian pahami dari keluarga bahagia?”

Sidik teringat dengan buku IPS yang selama ini ia pegang. Dalam buku itu, bertebaran gambar-gambar keluarga yang sedang menonton TV bersama, memakan makanan mewah bersama, ruangan yang berisikan AC, akuarium, dan kulkas, dan masih banyak hal lain yang asing bagi Sidik. Gambar-gambar itu didefinisikan sebagai percontohan “keluarga bahagia”.

Alih-alih menjawab soal ujian, Sidik justru diam dan bertanya pada diri sendiri, apakah semua kebahagiaanku palsu? Apakah aku harus menuruti gambar-gambar itu agar aku bahagia? Beberapa menit ia habiskan untuk meratapi nasibnya. Kemudian, soal itu dijawabnya dengan jujur, di sebelah jawaban, ia menulis beberapa baris kritik mengenai isi pelajarannya.

Sidik mencoba menuliskan perasaannya selama ini. Ia juga menanggapi tentang pekerjaan petani di buku IPS. Pekerjaan bapaknya, yang menghidupinya selama ini seakan-akan menjadi pekerjaan orang kotor di buku-bukunya. Banyak pula gambar-gambar yang memperlihatkan bahwa pekerjaan terbaik adalah semacam orang-orang kantor dan hal ini ditolak oleh Sidik. Lembar jawaban itu dipenuhi tulisannya yang tak padu, besar, kecil, datar, dan miring.

Dua hari kemudian, soal-soal yang dikerjakan murid SD kelas 3 telah dinilai dan akan dibagikan kepada pemiliknya masing-masing. Pak Guru IPS berjalan membawa amplop berwarna coklat yang membungkus kertas-kertas berharga tersebut. Melihat Pak Guru IPS hendak masuk kelas, para murid yang sedang santai di teras depan kelas langsung mengikutinya dari belakang. Jantung Sidik berdegup kencang, ia takut terkena amarah dari gurunya setelah menuliskan kritik di beberapa lembar jawaban. Lebih-lebih Sidik merupakan murid yang berbeda dengan murid lain, murid yang dianggap “bisa masuk sekolah saja sudah untung”.

Murid-murid mengelilingi Pak Guru IPS yang duduk di bangku depan. “Sepertinya saya akan juara lagi semester ini, Pak” ujar Kevin dengan bangga. Beberapa semester belakangan, Kevin menjadi peringkat pertama di kelas. Kevin merupakan seorang anak dosen. Ia rutin mendapatkan bimbingan belajar privat di rumahnya. Teman-temannya sering coba-coba mencontek Kevin lantaran ia teman yang baik dan gampang bergaul. Namun, tetap saja Kevinlah yang lebih unggul.

“Sebelum saya kembalikan jawaban-jawaban ini, saya ingin bertanya terlebih dahulu,” ucap Pak Guru IPS. Sidik gemetar. Bagian belakang badannya dibasahi keringat dingin.

”Sidik, kamu dapat jawaban ini dari mana?” tanya Pak Guru IPS.

Mendengar pertanyaan itu, Sidik hanya bisa diam. Ia tak berani menjawab dengan jujur. Keberanian Sidik menghilang setelah melihat tatapan dingin Pak Guru IPS dan teman-temannya.

“Saya—” Sidik ragu. Belum sempat Sidik menyambung ucapannya, Pak Guru IPS menyahut.

“Kan saya sudah kasih tahu, kalau jawaban dari soal-soal ini sesuai dengan yang kita pelajari selama satu semester. Di buku juga ada. Pakai sok mengomentari pula kau ini,” Pak Guru IPS menggertak dengan nada rendah. Bagi Sidik ucapan itu terdengar keji. Tidak sedikitpun  keberanian dan kejujurannya dihargai.

Sidik membisu, ia merasa malu sekaligus bimbang. Sejak hari itu, rencana Sidik untuk melanjutkan sekolah setinggi-tingginya mulai sirna. Hatinya terkoyak-koyak lantaran kalimat mengerikan itu keluar dari lidah gurunya.

Sepulang sekolah, ia mengadu pada Sang Ibu bahwa ia tak akan meneruskan perjuangannya untuk sekolah. Sang Ibu telah kehabisan kesabaran. Lantas, ia mencopot beberapa lidi dari ikatan. Ia melecutkan lidi-lidi itu ke punggung Sidik hingga timbul goresan-goresan merah. Sidik berteriak melengking. Sang Ibu sudah menuntaskan amarah pada anaknya yang tak tahu diuntung. Dengan menatap Sidik, Sang Ibu mengucapkan, “Sudah  untung bisa sekolah, masih rewel saja.” Sidik berguling-guling di tikar dan ia menangis sejadi-jadinya.

Moh Naufal Zabidi, Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

You may also like

Gerakan Sosial Islam pada Masa Kolonialisme

Gerakan kolonialisme Belanda di Indonesia adalah ekspansi kapitalisme;