lpmrhetor.com – Sejak disahkan, peringatan Hari Tani Nasional telah dilaksanakan sebanyak 62 kali. Peringatan ini didasarkan pada pengesahan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tanggal 24 September 1960. Akan tetapi, meski sudah berusia lebih dari setengah abad, UUPA belum dapat membahagiakan para petani. Pasalnya, amanat-amanat yang terkandung dalam UUPA justru dikhianati oleh pemerintah sendiri.
Hal tersebut diungkapkan Aco, salah satu massa aksi dari Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) dalam aksi peringatan Hari Tani bertajuk “Jogja Istimewa, Petani Menderita” yang dilaksanakan di Titik Nol Kilometer Yogyakarta, Sabtu (24/09).
Penetapan UUPA sebagai politik hukum reforma agraria didasarkan pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Akan tetapi, Aco menilai bahwa hingga kini UUPA belum terlaksana dengan baik. Maraknya alih fungsi lahan dan perampasan besar-besaran yang dilakukan oleh korporasi menjadi indikasi nyata bahwa pemerintah tidak serius dalam menjalankan amanat UUPA. Mirisnya, lanjut Aco, berbagai permasalahan agraria yang terjadi di Indonesia justru merupakan buntut dari Proyek Strategis Nasional (PSN).
Wisnu, massa aksi dari Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi (KMPD), mengungkapkan hal senada. “Kenapa kok belakangan ini banyak penggusuran lahan? Banyak petani yang belum berdaulat? Karena pemerintah Indonesia sendiri dan khususnya pemerintah DIY belum melaksanakan yang namanya tugas-tugas reforma agraria itu sendiri.”
Karena itu, massa aksi menuntut pemerintah untuk melaksanakan reforma agraria yang sejati, termasuk di DIY. Aco menjelaskan, reforma agraria yang sejati adalah ketika UUPA dilaksanakan untuk menjadikan petani berdaya, memiliki modal, memiliki akses terhadap pasar, memiliki akses terhadap bibit dan pupuk, dan berdaya secara pengetahuan.
Di Jogja, Aco mengatakan bahwa semua itu dapat ditunjang menggunakan Dana Keistimewaan (danais) yang dimiliki DIY.
“Danais ini efeknya ke petani apa? Nah makanya kita tuntut itu. Prioritaskan dana istimewa untuk petani,” ucapnya.
Selanjutnya, massa aksi juga menuntut pemerintah, khususnya DIY, untuk melakukan redistribusi tanah. Aco menyoroti kepemilikan tanah yang sangat timpang di Indonesia. Berdasarkan Catatan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 2020, seluas 68% tanah di Indonesia hanya dikuasai oleh 1% kelompok pengusaha.
Di DIY, kata Aco, permasalahan tanah menjadi semakin runyam karena negara memberi kekuasaan kepada kesultanan berupa UU Keistimewaan. “Kekuasanan itu di antaranya ada dua: pertama tata ruang, kekuasan untuk mengatur tata ruangnya sendiri. Kedua, itu kekuasaan yang diberikan negara kepada Sultan untuk menguasai tanah, memiliki tanah. Contoh termasuk itu adalah Sultan ground, Pakualaman ground,” jelasnya.
UU Keistimewaan ini akan menjadi bahaya, kata Aco, kalau Sultan tidak berpihak kepada petani. Ia khawatir tanah yang harusnya digarap petani justru diberikan kepada korporasi, karena UU Keistimewaan melegitimasi hal itu.
“Dan itu sudah terbukti. Di Kulonprogo ini tanah bersertifikat, loh, punya rakyat, tapi diberikan ke negara. Pada akhirnya sertifikat tanah tidak punya kekuatan hukum apa-apa,” lanjut Aco.
Karena itu, kata Wisnu, pemerintah harus segera meredistribusikan tanah kepada rakyat. “Dan khususnya di DIY, sultan harus segera melaksanakan redistribusi tanahnya kepada petani-petani kecil di DIY sendiri.”
“Nah, itu reforma agraria sejati gitu, yo,” pungkas Aco.[]
Reporter: Misbahul Khoir
Editor: M. Hasbi Kamil