Pameran “From the Wall To the Sea”: Meninjau Kembali Hegemoni Isu Agama dengan Solidaritas Kultural

570
Foto: Pikri Hafidz A

lpmrhetor.com- Selepas hujan sehari penuh di Yogyakarta, para pelaku solidaritas untuk Palestina mulai berdatangan untuk menghadiri pameran “From The Wall To The Sea” yang diinisiasi oleh Solidaritas Kultural Kontra Genosida (SKKG). Pameran ini diselenggarakan di Decored Beer Garden pada Rabu (28/02/2024). 

Sehabis berkeliling melihat poster-poster tentang kebiadaban Israel, perjuangan rakyat Palestina melawan zionisme. dan seruan kemerdekaan Palestina, mereka berkumpul pada satu tempat untuk menonton film Gaza Now yang diproduksi oleh Al Jazeera. 

Gaza Now tiba di akhir durasi. Kemudian dilanjut dengan diskusi yang dihadiri oleh Fatma Alghusain, seorang aktivis hak-hak penyandang disabilitas di Palestina, Anang Nasihudin, perwakilan dari Forum Lintas Iman, Romo Yustinus Andi, dan Perwakilan dari SKKG.  

Fatma menceritakan kondisi nyata Palestina yang disesaki nuansa mencekam. Israel telah banyak membunuh rakyat Palestina. Setiap detiknya, kata Fatma, rakyat Palestina gugur di negeri mereka sendiri. Dunia diam. Dunia tak berkutik. Dunia abai.

GAZA NOW

Sepanjang film dokumenter Gaza Now diputar, kami menerka-nerka bagaimana perasaan Fatma sebagai relawan dan warga negara asli Palestina saat melihat tanah kelahirannya hancur dan saudara-saudaranya dibantai oleh Zionis Israel. Gaza Now merekam kondisi rakyat Palestina yang terbatas ruang geraknya, anak-anak yang kehilangan sekolah, serta aset budaya mereka hancur.

 “Itu tadi bagian kecil karena tidak cukup perhatian media terkait apa yang terjadi di Gaza karena sekarang Israel itu membunuh sekitar 250 jurnalis Gaza. Seperti yang kita saksikan sama-sama tadi di film setiap menit, setiap detik, mereka terus menerus membunuh orang-orang di Gaza,” jelas Fatma saat sesi diskusi selepas movie screening

.

Dikutip dari BBC, sekitar 5% populasi, dari 100.000 orang, dalam empat bulan terakhir telah terbunuh, terluka, ataupun hilang akibat kebengisan tentara zionis Israel. Masyarakat Gaza Utara yang sulit diakses oleh PBB dan organisasi bantuan lainnya hidup di antara reruntuhan bangunan. Akibatnya, kasus malnutrisi anak-anak meningkat karena sumber pangan mereka pun turut hancur bersama dengan tempat tinggal mereka.

Terdapat juga dua juta orang yang berusaha untuk tetap hidup. Sekitar 1,4 juta jiwa berada di Rafah, terlindung dari kawat perbatasan Mesir. Kebanyakan orang tinggal di tenda-tenda yang terbuat dari terpal plastik. Bahkan kebutuhan air bersih sulit didapatkan sehingga para pengungsi terpaksa menggunakan genangan air limbah yang berada di sekitar tenda mereka.

“Sekarang Gaza sedang dalam pengepungan total, pengepungan yang sangat besar. Tidak ada makanan, tidak ada obat-obatan, tidak ada penanganan medis, tidak ada rumah; anak-anak sekarang mati kelaparan di Gaza,” terang Fatma.

Menurut juru bicara Kementerian Kesehatan Palestina wilayah Gaza, Ashraf al-Qudra yang dikutip dari Tempo, pada Kamis 18 Januari 2024, ada ratusan kasus keguguran dan kelahiran bayi prematur karena dampak stres, panik dan dipaksa mengungsi di bawah kebrutalan bombardir Israel. Mereka sulit mengakses fasilitas kesehatan. Jalan menuju  rumah sakit terputus.

Fatma saat ini juga sedang terlibat dalam aksi kemanusiaan untuk Palestina. Ia adalah seorang direktur eksekutif Amna Care Fund yang bergerak dalam pemberdayaan ekonomi Palestina. Tak hanya itu, Fatma menjabat manajer penggalangan dana untuk tiga institusi di Jalur Gaza. 

“Saat ini ada sekitar 50 ribu ibu hamil di Gaza, mereka tidak bisa beli kebutuhan bayi, tidak bisa beli kebutuhan untuk ibu melahirkan. Saya berharap saya bisa menggalang dana untuk membeli kebutuhan tersebut dari Mesir dan mengirimkannya ke Gaza.” terangnya.

Fatma mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Indonesia atas dukungan  yang diberikan kepada masyarakat Palestina.

“Kami bisa merasakan dukungan dan cinta dari orang-orang Indonesia. Mungkin kita sudah dengar tentang rumah sakit Indonesia yang dihancurkan di Gaza. tapi sekarang ada rumah sakit apung yang Insya allah akan segera beroperasi, tinggal menunggu izin,” ucapnya dengan haru.

Transformasi Dominasi Agama dalam Isu Palestina di Indonesia

Romo Yustinus Andi, salah satu pembicara, mengatakan bahwa situasi perang mesti dihentikan, apapun alasannya, sekalipun itu dengan alasan yang suci, saleh atau sesuatu yang penting. 

“Bahwa peristiwa yang terjadi di Palestina itu lebih dari sekadar [isu] agama, paham ideologi tertentu, tetapi lebih dari itu adalah [isu] kemanusiaan yang perlu kita perjuangkan,” tuturnya.

Masyarakat Indonesia seringkali menganggap peristiwa penjajahan Israel terhadap Palestina selalu berhubungan dengan konflik agama. Palestina sebagai negara mayoritas Islam, sedangkan Israel dianggap negara mayoritas Yahudi. Sehingga banyak dukungan muncul berdasarkan alasan agama.

 Menurut Fatma, para umat beragama di Palestina hidup berdampingan dan merasakan penderitaan yang sama atas kebrutalan tentara Israel. Maka, kata Fatma, jangan melulu memandang tragedi kemanusiaan di Palestina sebagai isu agama.

“Namun kenyataannya kami di Gaza hidup bersama baik Islam, Kristen dan Yahudi sebagai saudara. Ini bukan perihal agama saja.”

Dikutip dari bbc.com, terdapat 900 umat Kristiani di Gaza yang berlindung di bawah atap Gereja, yaitu gereja Katolik Keluarga Kudus dan Gereja Santo Porphyrius. Gereja Santo Porphyrius  merupakan Gereja Ortodoks Yunani tertua ketiga di dunia. Pada 19 Oktober 2023, Israel menyerang Gereja Santo Porphyrius yang menampung para pengungsi dan mengakibatkan 16 umat Kristiani Palestina meninggal dunia.

Anang Nasichudin, perwakilan Forum Lintas Iman, juga meyakini bahwa seluruh agama di dunia mengajarkan nilai-nilai perdamaian, keadilan, dan bermimpi menciptakan dunia yang lebih baik. Tentulah agama pasti sudah melarang tindakan-tindakan yang menyebabkan penjajahan. 

“Bahwa kami sangat yakin, dimanapun, ajaran apapun itu sangat melarang namanya penindasan, perang dan kemudian penjajahan. ” ucap Anang.

FROM THE WALL TO THE SEA

Pameran “From the Wall To Sea” berlangsung dari 25 Februari 2024 hingga 01 Maret 2024. Pameran ini dimeriahkan dengan rangkaian acara seperti diskusi film, pemutaran film, pembacaan puisi oleh Saut Situmorang dan Abolish the Leviathan. Lalu ada pertunjukan musik dari D Platform x Sleepearth, DJ Gunsky, DJ Paws ft Street Rap Syndicate & Marselyanto, Ubi Kayu, Shoppinglist, Apollo 10, DJ Lotex dan DJ Junx. Kemudian ada workshop kolase manual bersama Kolasoke.  

Berangkat dari keresahan mengenai isu Palestina yang masih didominasi oleh kelompok-kelompok religius, hal ini mengakibatkan pembatasan solidaritas terutama dalam lingkup kesenian. Andre, salah satu seniman juga penginisiasi SKKG, menambahkan bahwa dengan hadirnya pameran “From the Wall To the Sea” kita dapat melakukan cara-cara kesenian untuk berkomunikasi dalam menggemakan peristiwa, perjuangan dan harapan rakyat Palestina.

“Ada satu hal yang berusaha untuk kita tembus dengan melalui jalan kesenian bahwa mungkin dominasi isu Palestina di Indonesia itu masih dominan isu sektarian (agama), bahkan ada beberapa kawan yang enggan untuk terlibat, karena adanya isu besar dengan agama, dan itu yang coba kita tembus.” lanjutnya. 

Melihat kondisi realitas seniman street art jogja yang masih belum banyak melakukan dukungan kepada Palestina melalui seni visual, membawa Manca (bukan nama sebenarnya) menginisiasi kolektif street art bernama Bolo Semongko. Kolektif ini aktif menyuarakan kemerdekaan Palestina melalui kegiatan mural, graffiti, ataupun stensil di berbagai sudut kota Jogja

“Katanya mereka itu rebel, memakai public space buat keresahannya, tetapi, kok mereka melihat isu palestina gak bergerak, belum ada bau bau keresahan, belum menuangkan sesuatu nih. Itu akhirnya membuat Bolo Semongko bergerak mendahului” ujarnya.

Para seniman sudah seharusnya mampu bersuara paling nyaring melawan penjajahan. Manca menuturkan, jika isu Palestina tidak ada dalam pikiran para pelaku seni, maka ada sesuatu yang salah dalam pola pikir mereka. Para pelaku seni yang semacam itu perlu membenarkan pola pikirnya.  

“Harapan saya ayo sama sama meluruskan pola pikir kalian, kita bedah sama sama  hal-hal apa yang membuat pikiran kalian tidak lurus terhadap isu palestina. Misal pikiran kalian terbelokan karena isu agama ayo kita lihat dari sisi agamanya kita diskusi dan kita cek apakah ini memang 100% isu agama.” lanjut Manca.

Menurut Sampar, salah satu solidaritas SKKG yang berkarya melalui musik dan kolase, mengatakan apa yang terjadi di Palestina dapat juga terjadi di negara kita. Jika di Palestina aktor utamanya adalah Zionis maka bisa jadi aktor utama di negara kita adalah pemerintah kita sendiri. Maka hal pertama yang paling penting, menurut Sampar, adalah menyadarkan diri sendiri untuk kemudian menularkannya ke khalayak melalui karya seni. 

“Jadi menurutku seni itu harus peka dengan apa yang terjadi di sekitar, ga usah jauh jauh deh misal di sejengkal kita, apa yang terjadi di negara kita. Jadi memang seni itu harus bisa sebagai media untuk menyampaikan apa yang terjadi di dunia di sekitar di alam semesta ini.” ujarnya.

Sampar juga menambahkan, ketika sebuah seni digunakan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, maka karya seni itu memiliki nilai lebih. Tidak sekadar seni untuk seni. Apalagi seni untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya..

“Banyak yang seni untuk seni, jadi ya gimmicknya aja tentang kemanusiaannya. Pada akhirnya mereka nyari duit, ga ada yang salah bagi mereka. Tapi buatku itu ga tepat, ketika seni diposisikan hanya sebagai profit (keuntungan pribadi). Menurutku itu ga tepat saja. Karena seni itu adalah media senjata bagiku” tuturnya.

Seniman lain yang bertekad untuk mengubah pandangan masyarakat umum terkait Palestina hanya berkutat soal isu agama adalah Digie Sigit. Ia juga salah satu inisiator SKKG. Melalui seni, ia ingin masyarakat Indonesia meluaskan pandangan mereka terhadap peristiwa genosida di Palestina

“Karena kita berangkat dari seni dan budaya dan kita berkeinginan yang harus bisa diurai bahwa di indonesia soal olah palestina hanya isu umat islam maka kita bekerja untuk mencairkan hal itu,” pungkasnya. []

Reporter dan Penulis: Widad HU & Pikri Hafizh A

Fotografer: Pikri Hafizh A

Editor: Hifzha Aulia Azka

 

You may also like

Regent; Teater Guriang Menanggapi Keresahan Museum Antikolonialisme Multatuli

lpmrhetor.com – Dalam menanggapi keresahan Museum Multatuli sebagai