Sapantuk wahyuning Allah, gya dumilah mangulah ngelmu bangkit, bangkit mikat reh mangukud, kukutaning jiwangga, yen mangkono kena ingaranan sepuh, lire sepuh sepi hawa, awas roroning atunggil.
(Siapa yang mendapat anugerah Tuhan, akan pandai menerapkan ilmu yang baik, mampu menarik perintah kesempurnaan, lepasnya jiwa raga, kalau demikian itu dapat disebut orang tua, maksudnya tua sudah jauh dari hawa nafsu, mengetahui “dwi tunggal”).
Serat Wedhatama:12
Setelah dengan sengit bersitatap dengan Batara Kala, sang Anjaniputra yakni Hanoman, lebih memilih moksa demi menghindari pertarungan yang justru akan memperparah kerusakan. Suraloka yang dihuni oleh dewa-dewa seketika gaduh, resi Hanoman bukan hanya lakon utama dari pertumpahan darah di Alengka, tetapi juga salah satu pasak yang menjejali mayapada. Garis sejarah yang ia torehkan mengekal pada setiap debu yang berseliweran di teras padepokannya. Perang terakhir yang ia saksikan adalah baratayuda, konflik antar manusia tentang tahta kuasa, perang yang membibit pada setiap masa setiap negara.
6 Jumadil Akhir 1956 – Ehe, Jumat Kliwon Sungsang (penanggalan Jawa). Petir-petir menggelegar, pohon rubuh, angin berputar kencang, seorang wanita paruh baya berlarian panik sambil berteriak “duh hyang.. ngapuraningsun.. ngapuraningsun..(wahai Tuhan.. ampuni aku.. ampuni aku..),” Suatu desa di ujung wetan Jawa diguncang fenomena alam yang luar biasa. Seorang lelaki tengah bersemedi di sebuah petirtaan (kolam tempat bersuci) yang tak jauh dari desa itu. Terusik oleh gelegar petir yang tak kunjung pudar, ia pun menyudahi lakunya. Lantas dengan cepat berlari ke arah salah satu rumah yang terletak di pinggiran desa.
“Oeee..oeeeee…” Suara bayi dengan jelas terdengar melalui jendela yang terbuka pada salah satu kamar.
Lelaki itu pun bergegas menuju ke arah datangnya suara. Didapatinya dua orang perempuan dan seorang bayi yang baru lahir, tidak lain adalah putranya sendiri, yang kelahirannya mendatangkan badai panjang, membuat seluruh orang ketakutan.
“Katong Sembawa, jadilah raja para harimau,” bisik lelaki itu kepada putranya, nama Katong Sembawa berarti “raja para harimau”.
Hari-hari selanjutnya Katong tumbuh bersama anak-anak desa sebayanya. Perkembangan fisiknya sangat baik, dia sama sekali tidak pernah sakit sejak kelahirannya. Parasnya rupawan dan sifatnya yang pemberani, selalu mencari-cari tantangan, juga haus akan ilmu. Pada usia lima tahun, dia diajak bapaknya pergi ke hutan. Berlatihlah dia mengenai ilmu kanuragan tingkat dasar, mulai dari pernapasan, serta olah pikiran.
Menjelang tujuh warsa (tahun) kelahirannya, bapaknya pun menguji Katong untuk mengkhatamkan luasnya hutan hanya dalam waktu tiga hari. Katong pun bergegas menyusuri kedalaman yang semakin petang, hanya bermodal kendi yang berisi pikiran dan teguh kesadaran, ia berjalan tanpa alas kaki, tanpa menghiraukan duri yang sedari tadi akrab menempel pada celah-celah jarinya. Di hari pertama dia bertemu dengan sekawanan banteng liar yang tiba-tiba merasa terganggu dan hendak menyerang Katong. ia mengepalkan tangannya.
“Ingsun amatek ajiku si Brajamusthi. kang aneng Pringgondani. Purubaya, Purubaya, Purubaya. Ototku kawat, balungku wesi, kulitku tembaga. Dengkulku paron, dagingku waja. epek-epekku wesi mekangkang, antep tanpa sama. Ajur mumur katiban tanganku. Heh iyo aku Purubaya ratuning wesi kabeh. Sakabehing braja nglumpruk kadi kapuk. Tan ana tumama ing badanku,” (bacaan mantra)
Komat-kamit mulutnya membaca mantra ajian brajamusti.
Sesaat setelah itu, dengan sangat cepat tiga ekor banteng yang menerjang di barisan paling depan seketika terpental sejauh sepuluh hasta. Tinju Katong telak mengenai mereka, ia pun melontarkan empat tinju lagi dan menyusul tumbangnya seperempat dari kawanan banteng tersebut. Alhasil banteng yang lain kocar-kacir enggan berhadapan dengan Katong.
Kemudian pada hari kedua, ia mendapati sungai yang memutus jalur lintasnya. Sungai itu sangat lebar dan tidak didapati jembatan yang menghubungkan. Alhasil Katong pun meloncatinya hingga sampai pada bukit yang ada di seberang. Ia menggunakan aji ngambah jumantara (nama sebuah mantra yang dapat menyebabkan penggunanya melompat ke tempat yang jauh) yang juga digunakan Hanoman untuk berangkat menuju Alengka, mengintai pergerakan Dasamuka. Tidak hanya tantangan berupa fisik yang dihadapi oleh Katong, seluruh lelembut yang berada di hutan tersebut sudah mengawasinya semenjak ia melangkahkan kakinya di hutan. Namun, tidak dirasakan oleh Katong perlawanan dari mereka semua. Katong sendiri sudah khatam kitab tantra, seluruh lelembut tidak akan bisa menyentuhnya, auranya memancar memenuhi awang-awang (langit-langit) pepohonan.
Kemudian pada hari ketiga, dirinya meneruskan perjalanan. Namun, ketika sudah hampir tuntas rute yang ia tujukan, dihadanglah dirinya oleh sekelompok harimau. Badannya tiga kali lipat lebih tinggi dari Katong. Tanpa gentar Katong membusungkan dada, membiarkan oksigen memenuhi rongga-rongga tubuhnya, ia rasakan keberadaan Hyang Murba Wasesa (Tuhan yang Maha Kuasa), Tuhan sebagai causa prima. Kali ini ia ngide merapal mantra aji gelap ngampar (sebuah jurus yang dapat menjatuhkan lawan hanya dengan suara).
“Niat ingsun amatek ajiku si gelap ngampar, gebyar-gebyar ono ing dadaku, ulo lanang guluku, macan galak ono raiku, suryo kembar ono netraku, durgodeg lak ono pupuku, gelap ngampar ono pangucapku, gelap sewu suwaraku, yo aku si gelap ngampar,” (bacaan mantra) Katong khusyuk mengucapnya.
Suaranya samar menelisik pada daun-daun, angin dingin tiba-tiba menusuk ke pundak setiap harimau yang ada di depannya. Satu teriakan dari Katong membuat mereka semua linglung. Sekejap kemudian puluhan harimau tergeletak memenuhi jalurnya, bocah berusia tujuh tahun, Katong Sembawa titisan Anjaniputra, berhasil menjadi raja yang sesungguhnya.
Setelah kenyang menaklukkan hutan, ia lantas kembali ke pemukiman. Namun, di tengah perjalanan, ia menemui kejanggalan-kejanggalan pada sebuah desa yang ia lalui. Para warga mengalami kelaparan, kesengsaraan yang mendalam, sawah-sawah mengering, bandit berkeliaran, saling bunuh hanya perkara makanan. Katong pun mencari tahu akar permasalahan, “kesadaran”nya menuntunnya untuk menuntaskan seluk-beluk penderitaan. Bertemulah ia dengan salah seorang kakek yang terlihat sedang memakan sesuatu, tubuhnya tinggal tulang dan kulit, mulutnya berlumuran cairan merah.
“Kakek baik-baik saja? apa yang kakek santap itu?” tanya Katong kepadanya.
“Wahai bocah, apa kau ada sesuatu yang dapat dimakan?” kakek tersebut menoleh ke arah Katong, sambil lahap menggerogoti segenggam daging, yang ternyata adalah bangkai seekor tikus.
Sontak Katong terkaget, ia pun bergegas meninggalkan kakek tersebut dengan wajah yang pucat. Dia kebingungan dengan kondisi yang ia temui ini. Selang beberapa langkah, katong dicegat oleh seorang remaja berusia empat belas tahun.
“Hendak kemana kau?” tanya remaja tersebut.
“Pulang”
“Wajahmu pucat, apa kau baru pertama berkunjung ke desa ini?”
“Ya..” Katong yang pikirannya semrawut hanya dapat membalas dengan singkat.
“Memang beginilah keadaannya, mereka semua menderita akibat pajak yang tinggi, jika tidak mampu membayarnya, akan diambil hak-hak hidupnya,” terang remaja tersebut.
Katong pun diajak oleh remaja itu pergi ke sebuah tempat yang cukup dekat dengan hutan. Tempat katong berlatih, di sana banyak berkumpul para pemuda yang tubuhnya tak terurus, senjata ditancapkan pada batang-batang pohon. Setelah disambut oleh mereka, Katong pun menanyakan lebih dalam mengenai apa yang telah ia saksikan, dan para pemuda tersebut menjelaskan lebih jauh tentang permasalahannya. Yakni pajak yang tidak masuk akal yang dibebankan oleh pemerintah. Ternyata mereka adalah orang-orang yang tergabung pada sebuah organisasi bayangan. Tujuan mereka adalah membunuh kebijakan-kebijakan yang memberatkan, salah satunya yakni menurunkan pajak yang abnormal.
Setelah genap satu purnama bersama mereka, katong pun memutuskan untuk membatalkan rencana kepulangan. Ia memilih untuk tetap tinggal dan ikut serta dalam setiap misi organisasi tersebut. Biasanya mereka melancarkan pergerakan-pergerakan pada malam hari. Tujuannya adalah menjarah setiap hasil pangan yang diantarkan menuju pusat pemerintahan. Sebelum itu mereka pasti melaksanakan diskusi-diskusi yang panjang, tentang hakikat penciptaan, hingga muasal kesengsaraan. Itu semua mereka lakukan hanya untuk berusaha tetap “sadar”.
Setiap ada informasi mengenai pergerakan, Katong menempatkan diri di barisan terdepan. Sekali gerak ia dapat merobohkan satu rombongan yang menuju kerajaan. Setelah itu, giliran yang lain untuk mengangkut segenap hasil jarahan dan dibagikan kepada warga-warga yang kelaparan. Semenjak kehadiran Katong, seluruh warga merasa terbantu dan begitu mengelu-elukan sosok Katong Sembawa.
Suatu sore yang cerah, Katong sedang bersemedi sembari memadukan antara jagat alit dan jagat gedhe (dunia kecil yakni spiritual yang berasal dari dalam diri dan dunia besar yakni alam raya) di dalam benang-benang kesadarannya. Ia dapat mendengar dengan jelas apa yang ada di sekelilingnya, burung-burung yang bermadu cinta, belalang yang tergelincir dari daun talas, serta air sungai yang tumpang tindih. Namun, kemudian ia mendapat sebuah penglihatan, sekelompok pemberontak bayangan yang ia bantu itu rupanya menganut aliran tantra kiri, adalah ajaran yang berlawanan dengan apa yang Katong dalami atau tantra kanan.
Ia melihat bahwa setiap kali katong pergi untuk bersemedi, mereka melakukan ritual maithuna yang hakikatnya bertujuan baik, tapi dilakukan oleh mereka secara sembarangan.Maithuna adalah senggama antara aksara ANG dengan Aksara AH (unsur spiritual lelaki/suami dengan unsur spiritual perempuan/istri). Namun, mereka justru menyalahartikannya dan melakukan senggama secara bebas. Hal itu sontak membuat Katong geram dan memaksanya untuk bersikap tegas. Padahal mereka sudah menyusun rencana untuk melakukan pergerakan pada awal purnama, tepat tiga hari lagi. Mereka sudah berniat untuk melancarkan serangan ke kerajaan dengan membumihanguskan pusat pemerintahan tersebut. Awalnya Katong sepakat untuk membantu mereka, tapi dengan adanya fakta yang membuat ia naik pitam, alhasil Katong menyusun garis lurusnya sendiri.
Akhir purnama wuku Watugunung (penanggalan Jawa), malam nanti kelompok pemberontak akan bergegas menuju kerajaan. Persenjataan mereka sudah lengkap, rencana sudah tersusun matang. Tim-tim kecil sudah dibagi sesuai tugas yang akan dijalankan, sedangkan Katong sudah sedari tadi berpamitan untuk melakukan pengintaian di jalur depan. Dengan aji saipi angin (sebuah jurus yang dapat meringankan badan, sehingga membuat penggunanya bisa bergerak sangat cepat dengan bantuan angin) ia bisa dengan mudah bolak-balik untuk memberikan kabar kepada pasukan.
Akan tetapi, Katong sudah mengambil sikap yang berbeda dari apa yang telah disepakati. Seusai mengetahui bahwa rombongan mulai bergerak, Katong pun memanggil seluruh harimau yang dulu pernah ia kalahkan. Ia perintahkan kepada mereka untuk menghadang rombongan di tengah-tengah perjalanan. Sekejap tanpa disadari, puluhan orang dari pasukan pemberontak mulai menjerit ketakutan melihat dengan adanya puluhan harimau yang siap menerkam mereka dari sudut-sudut belukar. Kemudian disusul atas kemunculan Katong, mereka pun menjadi sedikit lega dan berpikir bahwa Katong akan menyelamatkan nyawanya.
“Syukurlah kau di sini, tolong singkirkan mereka dari jalur kita!” ucap salah seorang dari rombongan.
“Tidak akan, akulah yang mengirim mereka untuk menghadang kalian!” balas Katong dengan nada yang tinggi.
“Wahai..apa yang kau pikirkan?” mereka semua keheranan.
“Sungguh! Tiada yang dapat dibenarkan atas perbuatan kalian! Meneriakkan perjuangan namun bersenggama layaknya binatang. Punya kemaluan tapi tak punya malu, lebih baik mati karena kelaparan ketimbang menyalahi akar kesadaran!” teriak Katong dengan bibir yang bergetar.
Tanpa ba-bi-bu, Katong pun memerintahkan harimau-harimau itu untuk menerjang kemaluan masing-masing dari rombongan, jeritan dan makian keluar dari mulut-mulut mereka.
“KATONG EDYAANNN!!!”. (“KATONG GILAAA!!!”)
Katong tidak menghiraukan, setiap perbuatan akan menuai hasil sesuai timbangan. Ia melaju kembali menuju kerajaan, dengan membawa sebilah harapan dan mengenakan zirah kebenaran. Tanpa gentar, ia memutuskan untuk menyerang seluruh lapis pertahanan kerajaan seorang diri.
“Sinembah agung dumateng Gusti kang akarya jagad, sembah kaluhuran dumateng para lehuhur kang wonten tanah jawi, sembah bekti kulo aturaken dumateng guru panuntun kawula Raden Tjakra Djajaningrat, kulo badhe ngerahaken katiyasan tiwikrama kang kawontenan ing raga kawula “.
“Penghormatan yang agung kupersembahkan kepada Tuhan yang mencipta alam, penghormatan yang luhur kepada leluhur yang ada di tanah jawa, salam bakti aku haturkan kepada guru penuntunku Raden Tjakra Djajaningrat, aku hendak mengerahkan kesaktian tiwikrama yang ada di dalam ragaku.”
Katong Sembawa menapak pada sebuah dahan pohon, matanya terpejam dalam posisi kastawa (sembah puji).
“Hyang betoro, sun amatek aji tiwikrama, wadag iro jagad royo, jagad royo wadag iro, dadya katiyasan digdaya iro, branah srampah catu langin, Ingsun raksasa murka,” ia lanjutkan ritus pembacaan mantranya, angin kencang memporak porandakan sekeliling Katong.
Seketika badannya membesar layaknya bangsa gandarwa. Menjulang tinggi hingga sejajar dengan pepohonan purba yang menjulang. Rupanya aji tiwikrama (jurus yang mampu membuat badan penggunanya membesar layaknya bangsa raksasa) telah ia khatamkan. Ajian yang sama seperti yang digunakan oleh Hanoman untuk mengobong negeri Alengka. Katong Sembawa lantas melompat menuju sebuah gunung, tanah yang ia pijak seketika amblas sedalam lima puluh kaki orang normal. Pohon-pohon di sekelilingnya ikut tumbang oleh goncangan yang ditimbulkan.
Katong Sembawa amatek aji tiwikrama, den mbedhal gunung mahendra (Katong Sembawa merapal mantra tiwikrama) lantas mencabut Gunung Lawu. Ia mencabut gunung tersebut dan langsung melemparkannya ke arah istana kerajaan. Tanpa sempat melakukan pertahanan maupun perlawanan, pusat pemerintahan dan praktik penindasan telah hancur dalam sekali serang. Sang raja dan mahapatihnya telah binasa sebelum menyadari keadaan yang tiba-tiba. Bangunan yang megah dan berpagar gagah kini telah tertindih sebuah gunung. Semua kemewahan dan keburukan kembali menyatu dengan unsur penciptaan, tanah.
Katong tubuhnya kembali menyusut. Selepas bertindak pada jalurnya, berjalanlah ia ke utara dalam rangka mencari muasal lara di mayapada. Tanpa hasil, lanjutlah langkah kakinya ke arah tenggara, ia dapati sepetak tanah yang gembur, bertanya Katong kepadanya.
“Hei tanah, tolong tumbuhkan sebait jawaban untuk setiap kegelisahan”
Katong lantas menanam seluruh isi dari kesadaran yang ia miliki. Ia sirami dengan pekerti dan tiga katuranggan. Seluruh bekal telah ia persiapkan, untuk generasi yang ia ramalkan, seratus warsa dari sekarang. Titisan Hanoman yang lain akan mewarisi buah moral yang Katong tanam. Hingga pada akhirnya praktik-praktik kebiadaban, degradasi moral, kekerasan seksual, korupsi, serta pergerakan bayangan dapat dibinasakan.
Tuntaslah seluruh tugas yang Katong emban, ia moksa dengan gelar Maharaja Sri Rajasasembawa Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa.
Nizar Wildan, Jurnalis LPM Rhetor dan mahasiswa BKI, UIN Sunan Kalijaga.
Editor: Muhammad Rizki Yusrial