Ambrosia memutuskan kuliah di UIN Sunan Kalijaga. Baginya, perbedaan pada sisi kepercayaan bukan masalah rumit untuk menggali wawasan dan keilmuan.
lpmrhetor.com- Sebagai Universitas Islam Negeri, UIN Sunan Kalijaga memang diperuntukkan mahasiswa yang memeluk agama Islam. Pun kegiatan dan keilmuan yang diajarkan, semuanya berkaitan langsung dengan keislaman. Ya, namanya juga Universitas ‘Islam’ Negeri.
Akan tetapi, setelah ditelusuri ternyata ada beberapa mahasiswa yang secara kepercayaan bukan beragama Islam, salah satunya Ambrosia Maria Magga. Ia adalah mahasiswi beragama Katolik asal Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang kuliah di Program Studi (Prodi) Ilmu Perpustakaan. Saat ini dirinya sudah menginjak semester delapan.
Selain itu, yang menjadi menarik adalah Ambrosia merupakan seorang biarawati, atau orang Indonesia menyebutnya sebagai ‘suster’ (dari bahasa Belanda zuster yang berarti saudara perempuan). Biarawati adalah perempuan yang secara sukarela meninggalkan kehidupan duniawi untuk fokus pada kehidupan agama di tempat ibadahnya.
Mendaftar ke Prodi Ilmu Perpustakaan
Kisah Ambrosia bermula pada penempatan tugas belajarnya di Yogyakarta. Tugas belajar ini diberikan oleh pimpinan biara kepadanya. Ia diperkenankan untuk kuliah di Jogja, tepatnya masuk S1 Program Studi Ilmu Perpustakaan.
Singkat cerita, begitu mendapat Surat Keputusan (SK) tugas belajar, Ambrosia merasa kaget sekaligus gelisah, ia tidak menyangka akan meninggalkan pulau kelahirannya yaitu Flores. Hati kecilnya terketuk juga lantaran posisinya sebagai suster, sehingga Ambrosia mengiyakan tugas tersebut.
“Awalnya saya kaget karena mendapat SK kuliah di Jogja. Tetapi sebagai seorang suster yang berkaul, saya harus menjalankan tugas perutusan tersebut dengan hati yang gembira tanpa ada paksaan dari manapun,” ujarnya saat diwawancarai lpmrhetor pada (22/01/2023).
Di saat yang sama, ketika Ambrosia mendapat SK kuliah di Jogja, ternyata ia belum tahu tentang kampus mana yang menyediakan Prodi Ilmu Perpustakaan. Dengan terbatasnya informasi di Flores, Ambrosia memutuskan berangkat dengan niatan mencari kampus langsung di Jogja. Ia sempat mencari informasi di UGM, ternyata di sana hanya menyediakan Prodi Ilmu Perpustakaan untuk S2, dan akhirnya ia menemukan S1 Prodi Ilmu Perpustakaan di UIN Sunan Kalijaga.
Dari titik ini, alasan mengapa ia kuliah di UIN mulai terjawab, yakni sebab UIN satu-satunya kampus yang punya Prodi Ilmu Perpustakaan untuk S1 di Yogyakarta. Ia memang diberi tugas belajar pada bidang Ilmu Perpustakaan di Yogyakarta, tidak ada pilihan lain. Nah, sedangkan tidak ada kampus lain membuka Prodi tersebut selain UIN Sunan Kalijaga.
Setelah mendapatkan informasi itu, Ambrosia masih merenungkan kesempatan dan kesempitan untuk kuliah di UIN sekaligus proses di dalamnya. Ia merasa gelisah dan takut ditolak, karena agamanya berbeda apalagi ia seorang biarawati. Bila pun nanti ia diterima, Ambrosia tetap khawatir pada bayangan persyaratan dan peraturan yang kelak diberikan UIN padanya.
Ternyata betul, saat ia memperoleh persyaratan tertera dari UIN, salah satunya adalah wajib mengenakan jilbab. Di situ Ambrosia merasa dilema, sebab ia tidak memakai jilbab dan ingin mengenakan pakaian suster ketika kuliah.
“Saya merasa takut karena dalam bayangan saya jika saya diterima apakah saya berpakaian suster atau tidak,” tuturnya khawatir.
Meskipun keadaannya begitu, Ambrosia tetap mencoba mendaftarkan diri dengan langsung mendatangi Admisi UIN Sunan kalijaga. Pihak UIN memberikan keterangan semacam ‘keterbukaan’ dengan mahasiswa non muslim, lalu merekomendasikan Ambrosia mendaftar lewat jalur portofolio berdasarkan usia dan tamatannya.
Di situlah Ambrosia mulai merasa diterima, pihak UIN tidak menolak Ambrosia dengan alasan beda agama. Begitu diterima secara administratif, pihak kampus tidak mempermasalahkan soal pakaian. Ia dibiarkan untuk mengenakan seragam suster saat berkuliah.
“Soal pakaian saya tidak bertanya, saya tetap memakai pakaian suster. Soalnya saya merasa kampus tidak keberatan soal pakaian,” ujarnya yakin. Dengan begitu Ambrosia tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan serta mulai menduduki bangku kuliah di UIN Sunan Kalijaga.
Ambrosia juga mengungkapkan tentang dukungan orang tuanya dikala belajar di kampus yang berbeda secara agama. Ia menceritakan bahwa, orang tuanya sangat bahagia dan tidak memberi larangan dalam bentuk apapun. Bahkan mereka memberi nasehat, ketika sudah di tengah sesama yang muslim, Ambrosia harus belajar untuk menyesuaikan diri dengan mereka.
Lika-liku Kuliah di UIN
Dari pertimbangan masuk, kini ia bercerita ihwal pengalamannya kuliah di UIN. Ambrosia menitikberatkan perbedaan dan toleransi menjadi sesuatu yang penting untuk mengetahui banyak hal.
Pertama-tama, Ambrosia mengungkapkan perasaan senang selama kuliah di UIN. Baginya, UIN Suka cukup baik sebagai kampus yang terbuka dan bertoleransi tinggi. Selain itu, ia memandang bahwa lingkungan kampus ini tidak mempersoalkan ras, budaya maupun agama seseorang, serta menerima siapapun yang mau bergabung dan belajar.
Rasa senangnya tentu berbarengan dengan lingkungan sosial, serta upaya Ambrosia dalam merawat perbedaan. “Bersama dengan dosen-dosen saya membangun komunikasi yang sangat baik, juga dengan teman-teman, baik teman-teman seangkatan maupun yang beda fakultas,” imbuhnya.
Dalam konteks perbedaan, sebenarnya ia sudah memiliki pengalaman tentang lingkungan yang beragam di tempat tinggalnya dulu. NTT sendiri kerap diplesetkan menjadi Nusa Terindah Toleransi. Hal tersebutlah yang membuatnya tidak takut dengan keberagaman. Ambrosia juga menceritakan bahwa mendapatkan kekayaan-kekayaan baru yang membuat ia lebih realistis dalam menerima perbedaan.
Jika Anda berasumsi bahwa Ambrosia adalah orang yang sulit bergaul, mungkin anda salah. Ia menanggapi dengan santai segala pertanyaan dan jokes saya yang recehnya kelewatan.
Dalam ceritanya, suster asal Flores ini mengatakan pernah bergabung ke organisasi yang jelas-jelas ada kata Islam pada namanya. Organisasi itu ialah PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama karena ia disibukkan dengan hal-hal lain.
Ambrosia mengenal PMII saat PBAK, ia tertarik untuk ikut organisasi tersebut karena merasa jadi bagian dari kampus dan teman-temannya yang Islam. Ia disambut dengan baik, meskipun di awal-awal sebagian temannya ada yang heran sebab latar belakangnya yang berbeda itu bisa masuk PMII.
Hal yang sama terjadi di ruang kelas, yak betul! Temannya merasa ‘heran’. Tetapi kali ini mengenai pakaian yang Ambrosia kenakan, “kenapa pakaiannya suster melulu?” Tanya seorang teman. Kemudian Ambrosia menerangkan bahwa seorang suster punya keharusan untuk tetap mengenakan pakaian kebanggaannya meski sedang berada di luar komunitas.
Pakaian tersebut baru bisa ditanggalkan dan diganti dengan pakaian lain hanya ketika tidur dan rekreasi. Bagi agamanya, pakaian suster adalah pakaian yang sudah diberkati untuk orang-orang suci, jadi harus dijaga.
Hal lain yang tidak kalah penting bagi saya yakni ketika pembelajaran yang berkaitan dengan agama Islam. Saya penasaran, kira-kira apa yang mahasiswa non-Islam lakukan saat pembelajaran agama Islam dimulai, apakah tidak peduli, tidur, atau mungkin memilih keluar kelas?
Ia menjelaskan, bahwa tetap mengikuti mata kuliah seperti pada semester awal, yakni bahasa Arab dan mata kuliah lainnya yang berhubungan dengan Islam, meskipun ia merasa berat dalam memahaminya.
Ketika merasa berat, apakah ia mengabaikannya? Ternyata tidak, “saya berusaha untuk tetap belajar dan punya keinginan tinggi untuk belajar rendah hati dalam bertanya baik pada dosen maupun sesama teman. Karena saya belum pernah belajar bahasa Arab,” pungkasnya.
Kini Ambrosia sudah berada di semester akhir perkuliahan. Besar harapan baginya untuk bisa menyelesaikan studi di UIN dengan baik. Sehingga ilmu yang didapat, kelak bisa diterapkan di tempat asalnya dan bermanfaat bagi banyak orang. []
Reporter : Moh Naufal Zabidi (Magang)
Editor : Muhammad Rizki Yusrial