Puisi-puisi Widadhu: Menangkap Waktu, Memeluk Takdir

424
Ilustrasi/ Alifia Maharani

Menangkap Waktu, Memeluk Takdir

 

upeti buat Lie

 

semacam angin tak tahu jenis apa

ia lembut meski sedikit meracau

 

pijakkan kakiku tak sanggup

menopang hantaman itu

ia berkelakar menjangkit

seluruh tubuhku

 

kemudian dari sisi yang lain

bangunan runtuh dan

pohon-pohon tumbang

dan di sudut sana

hamparan danau begitu tenang

memanggil-manggil; aku yang layu

 

tepat di belakangku

jalanan membelah dua

yang berusaha menggapaiku

terdiam tak berdaya

 

dan tepat di sebelahku

kediamanku yang berdiri kokoh

barang satu genteng merosot tak ada;

tampak pertaruhan

terukir jelas di langit

 

sayangku, Lie

rupanya waktu, tidak pernah menunggu kita

begitu pun dengan takdir, ia memaksa kita..

 

mengejar dan menangkapnya

mengikutinya dan memeluknya

 

sayangku, Lie

tepat di hadapanku, mengajakku terbang

menggapai pertaruhan, menangkap waktu..

 

dan memeluk takdir

 

Jogja, 2023

Berputar Roda, Mengejar

 

teman-temanku banyak yang resah

sebab keadaan selalu memaksa

meski ga maksa maksa amat

tapi aku perhatikan lagi

aku pikir lagi

biasa saja

teman-temanku tidak merasa gelisah

meski tahu

tempe di atas kulkas

lekas membusuk

 

ya, meski sadar

di rumah ada cicilan yang mencaci

orangtua sedari bangun tidur hingga tidur lagi

di kostan ada beban moral yang menggauli

sampai kebas mati rasa

sedangkan di luar sana roda gerigi semakin tajam

jaket, sepatu, sampai wajah makin berkilau

dan keberadaan teman, saudara, atau seseorang siapapun itu

tak lagi cukup dibayar dengan segelas kopi kapal api

 

Sleman, 2023

 

Ode Tiga-Satu Januari

 

hei ~

ini hari ulang tahunmu bukan?

tutup hidungmu!

amboi!!! banyak betul

tahi ayam

tahi kerbau—

hingga tahi manusia

berserakan di sepanjang jalan sana

 

dengarkan baik-baik..

aku! aku ini tidak tahu

mengingatnya atau tidak—

namun yang ku tahu

aku senang mengenalmu

meski banyak tahi yang berserakan di sepanjang jalan sana

 

ssstt!

ya, selalu ku ingat ulang tahunmu

jangan berisik!

bos besar

mak lampir—

hingga tuan vampir

sedang sibuk menjilat tahi di sepanjang jalan sana

 

 

tarik nafas~

hembuskan,

perlahan dan tenang

kendaraan yang sedikit berlalu lalang

pula terdengar suara tv di ruang tamu

serta hentakan kaki para bocah yang sedang asik berlarian di sepanjang jalan sana

 

kemudian, dari sisi yang tertutup

kian syahdu menikmati waktu di halimuli

rohmu dan bola mata yang sayup

serupa ode ode para tetua di surga;

 

bak taratik rang sembahyang, masuak sarato tahu, kalua sarato takuik

 

tak sanggup seekor gagak

yang terlepas lekas di tengah lautan

kembali pada tuannya

tak sanggup sekoci tua

binasa akan terjangan ombak

pun denganku,

seonggok daging yang takut mati

menenggak sebotol anggur dalam kesunyian;

 

bak mandapek durian runtuah, bak mandapek kijang patah.

 

 

wahai engkau pemenang atas hidup yang bersahaja~

aku sudah menyiapkan beberapa

bom rakit yang siap ku tempel di gedung-gedung pencakar langit

aku pun sudah menyiapkan

tiga puluh satu pasukan

dengan petasan warna warni

pada masing masing tuan

yang sedang menunggu interupsi

di sepanjang jalan sana

 

 

hei Nona ~

siapkan gaun terbaikmu

pinjam sebentar radio musik milik Ayah

dan siapkan pula sepiring cookies buatan Bunda

tak lupa segelas susu dingin dengan campuran perasan limun

 

tepat saat malam pergantian hari

tiga puluh januari—

pada tiga puluh satu januari;

langit pesta pora menyahut berkelindan

senandung lagu meracau bersahutan

dengan gaun indahmu melambai lambai

rayakanlah seraya menari nari

hayati ucapan hangat dari orang orang yang saling kasih mengasihi

maka, diberkatilah duhai engkau

 

Jogja, 2022

 

Widadhu lahir dan tumbuh di wisata debu Cileung(sick), Bogor. Sedari kecil melayani warung nasi padang dan kini menjadi tukang masak paruh waktu di kedai kopi.

You may also like

Mengutuk Buku Itu

“Pokoknya semester depan aku mau bantu bapak di