Ikut Serta Audiensi, Membentuk Perkumpulan hingga Mengadang Eskavator: Kala Perempuan di Kali Progo Melawan Tambang Pasir

493

Pada Sabtu siang (8/07/2023), kami menemui Parinem dan ia mengajak kami ke Sungai Progo yang tengah dikeruk itu. Jarak rumah perempuan itu ke lokasi pertambangan tidak terlalu jauh, hanya sekitar 5 menit berjalan kaki.

Perjalanan itu diiringi dengan suara gemuruh yang berasal dari lokasi yang ia tuju. “Dengerin gemuruh itu kan nggak tenang toh. Biasanya tidur siang enak-enak denger suara gemuruh. Itu suaranya gladak-gluduk,” keluh Parinem

Suara gemuruh itu berasal dari aktivitas pengerukkan pasir dengan eskavator. Warga sekitar merasa gelisah dan tidak tenang selama proses pertambangan terjadi.

Perempuan 58 tahun ini konsisten menolak tambang pasir di Kali Progo. Semenjak mendengar desas-desus proyek tambang pada tahun 2017, ia bersama warga Dusun Jomboran, Dusun Wiyu , Dusun Nanggulan serta Dusun Pundak Wetan menolak proyek tambang pasir ini.

“Ya kan kita melindungi tanah kita biar nggak longsor, biar nggak abis. Kan ini tanah peninggalannya orang tua, makanya kita jaga. Jangan sampai kita habis dimakan air. Yang kita pikirkan besok masa depan anak cucu kita. Di sini satu-satunya tempat tinggal,” ungkapnya.

Selain menyebabkan longsor, proyek tambang pasir yang dilakukan oleh PT Citra Mataram Konstruksi (CMK) dan Pramudya Afgani ini mengakibatkan para masyarakat sekitar Kali Progo terbelah menjadi 3 golongan.

Ada golongan yang menolak, golongan yang mendukung dan golongan netral (yang memilih untuk tidak menolak ataupun mendukung).

Dilansir dari timesindonesia.co.id, PT CMK melakukan pertambangan di wilayah Dusun XV Jomboran, Sendang Agung, Minggir, Sleman, atas dasar persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi Bahan Galian Mineral Bukan Logam dan Batuan Komoditas Pasir dan Batu dari Dinas Perijinan dan Penanaman Modal (DPPM) DI Yogyakarta, nomor 545/05179/PZ/2020 tertanggal 14 Juli 2020.

Sedangkan Pramudya Afgani adalah seorang pengusaha yang diketahui memiliki izin usaha pertambangan pasir dan batu di Desa Sendangmulyo dan Sendang Agung. Pengusaha ini pernah membuat laporan ke Polres Sleman dengan Nomor: LP-B/41/I/2021/DIY/RES. SLEMAN untuk mengkriminalisasi warga Jomboran.

Alasannya adalah warga secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang atau pemaksaan di muka umum. Kedua, mereka menghalangi kegiatan pertambangan. Karena laporan ini, sebanyak 18 orang warga dusun Jomboran dipanggil Polres Sleman, termasuk Parinem.

Setelah tiba di pinggir sungai Progo, Parinem lalu menunjuk eskavator  yang sedang mengeruk pasir. Warga menyebutnya bego. Ia mengungkapkan bahwa kegiatan tambang dilakukan pada hari Senin-Sabtu.  Siang itu, ia melihat 3 eskavator sedang mengeruk pasir.

Sungai Progo adalah salah satu sungai besar yang melintasi Provinsi DI Yogyakarta. Sungai seluas 2380 km2 ini melalui Provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta dengan panjang sungai 140 km. Namun, 75% daerah aliran Sungai Progo terdapat di DI Yogyakarta.

Sungai Progo melintasi Kabupaten Bantul, Kulon Progo dan Sleman. Karena sungai ini besar, para warga sekitar bantaran sungai memanfaatkannya untuk membuka lahan pertanian. Hal ini juga dilakukan oleh Ibu Parinem. Ia menggantungkan hidupnya dari hasil bertani di sawah.

Namun, ia mengaku, setelah adanya proyek tambang ini hasil panennya kurang memuaskan. Ia menyebut penyebabnya ialah kurangnya air yang mengairi sawah.

“Ya bedanya kurang air, kan hasilnya nggak memuaskan begitu kan, berkurang. Cari air untuk mengairi padi itu semalaman baru dapat air.”

Sebagaimana diberitakan oleh Mongabay.co.id, alat berat menggerus tebing yang ada di kanan kiri sungai. Hal ini menyebabkan beberapa sumber air mengalami penurunan debit air bahkan ada yang mengering.

Karena merasakan kerugian yang sangat nyata akibat tambang, Parinem berkomitmen untuk tetap menolak tambang. Segala halang rintang akan ia atasi, termasuk ancaman pemanggilan polisi di kemudian hari.

Ia sempat bercerita bahwa setiap ada pergerakan dari bego, ia kerap kali mengadang alat berat tersebut untuk mencegah daerah pertambangan semakin meluas. Ia juga mengungkapkan bahwa ia pernah menjadi satu-satunya Perempuan yang ikut menghadang bego

“iya, cuman ikut-ikut saja, tapi aku yang perempuan sendiri, semuanya laki-laki,” kenangnya.

Di lokasi yang ia datangi saat itu, ada 3 bego yang sedang beroperasi. Melihat sungai yang sedang dikeruk itu, ia pun bergumam tentang betapa kerasnya perlawanan yang telah dikerahkan oleh para warga. Namun tambang tetap tak kunjung menyingkir dari sana.

“Wong kita menolak sudah ke ratu Hemas, ke mana saja sudah kita ini, tapi yo nggak mempan. kita sudah rombongan datang ke ratu Hemas. Ke kesultanan Jogja. Sudah ke sana,  saya sudah sampe ke mana-mana,” ujarnya kesal.

Khawatir rumah tertimbun longsor

Serupa dengan Parinem, Suburiyah, warga Dusun Pundak Wetan, merasakan dampak dari aktivitas pertambangan di Kali Progo. Rumah Ibu Subur berada di atas tebing tambang Kali Progo. Dari kamar mandi yang menempel di belakang rumahnya, hanya dengan belasan langkah untuk menuruni dua undakan terasering tanah, kita dapat melihat derasnya aliran sungai dari tebing ketinggian 40 meter.

Dari jarak tersebut, suara kerukan pasir yang berasal dari alat berat tambang yang memekakkan telinga sudah menjadi makanan sehari-hari Suburiyah. Belum lagi bila musim hujan, longsor bisa saja menenggelamkan tempat tinggal ibu Subur satu-satunya.

“Itu nanti begonya ada dua.. tiga (ketika) cuman deket-deketan, itu suaranya walaah.. luar biasa, ora bersahabat. Terus itu bekas yang digali sangat-sangat membahayakan, tebingnya itu nggak ada tepinya. Tanah.. pasir campur batu, itu [bantaran sungai] tandus itu langsung dikeruk gini. Nanti kalo deket-deket ke tepian itu bisa ambrol..” cemas Suburiyah.

Eskavator yang digunakan untuk mengeruk pasir

“Saya ya takut, cemas, pokoknya stress lah.”

Sejak tahun 2017, kegiatan tambang di Kali progo sarat dengan masalah. Jam operasional tambang yang menerabas batas waktu ketentuan lazim dilakukan. Terlebih ketika material mudah dikeruk, aktivitas pertambangan dapat berlangsung hingga jam lima sore dari ketentuan jam tiga.

Muatan truk pengangkut yang selalu overload capacity, dua kali lipat dari ketentuan enam meter kubik (enam ton pasir) diperparah dengan jumlah 50 armada truk per hari, jauh di atas ketentuan 12 sampai 14 truk per hari.

Suburiyah juga pernah menemukan indikasi kecurangan yang dilakukan oleh pihak penambang. Misalnya ketika pihak penambang berupaya untuk memuluskan izin penambangan, mereka pilih-pilih undangan sosialisasi warga tambang hingga klaim tanda tangan persetujuan warga dari daftar hadir kegiatan sosialisasi.

Warga kontra tambang yang  tidak pernah dilibatkan dalam sosialisasi dan teknik sangu (imbalan amplop) yang diberikan pada warga pro tambang akhirnya memicu perpecahan sosial di antara dua kelompok tersebut.

Belum lagi kelicikan perusahaan dalam menghadapi inspeksi mendadak (sidak) petugas DLH (Dinas Lingkungan Hidup). Yang terjadi adalah ketika petugas DLH turun untuk mengontrol aktivitas pertambangan, alat berat itu mendadak hilang, entah disembunyikan di mana. Lalu, setelah petugas DLH pergi, alat berat beroperasi seperti biasanya lengkap dengan pelanggaran SOP-nya.

“Lha kan.. pengawasnya banyak itu [DLH], engko terus nghubungi [pekerja tambang] sesok ojo mudun sesok ono sidak . Ngono kuwi setiap anu [sidak petugas] nggih aman  nggak ada apa-apa. Tapi nanti Dinas pergi lha.. terus turun lagi  [pekerja tambang]. Itu wes dari dulu seperti itu,” jelas ibu Subur.

Suburiyah ingin sekali proyek tambang segera usai di Pundak Wetan. Salah satu bentuk upaya yang dilakukannya adalah ikut serta dalam audiensi dengan bupati, berbicara dengan GKR Hemas dan mengajak anak-anak muda untuk bersama-sama menolak tambang.

Mbok yaa ayo bareng-bareng do ditolak.. wong kali ki nek dikeruk terus kan otomatis kalo misal banjir tanahe longsor, ping pindone kan ada sumber air itu yang untuk kehidupan beberapa kk di sini.”

Dalam perjalanannya saat menolak tambang, Suburiyah menemui rintangan yang sangat sulit untuk dilewati. Setelah sekian banyak kesempatan melakukan audiensi, hasilnya nihil. Tambang tetap berjalan. Selain itu, perusahaan membungkam perlawanan warga dengan memberikan uang kepada mereka. Lantas, warga berpikir untuk tidak perlu menolak lagi.

“Jujur nek Simbah Uti [ibu Subur] lemah. Karena ketika pulang dari audiensi, jawabannya cuman itu-itu saja, iya iya [ditangani] tapi tidak pernah ditindaklanjuti. Juga cuma ditindaklanjuti [sidak] thok.. ya ya ya thok. Nggak ada pergerakan untuk mengusir atau menghentikan bego juga tidak pernah. Kan sama dengan ndak ada hasilnya,” keluhnya.

“Itu PT itu memang kejam tenan itu.. rakus kejam! Tapi kok dilindungi saya herannya tu lho.. sama Pemerintah Jogjakarta itu,” lanjutnya dengan semangat.

Mengorganisir para ibu untuk melawan tambang

Setelah mendengarkan kisah perjuangan Parinem dan Suburiyah dalam melawan tambang, kami juga berkesempatan untuk berbincang dengan Yuli, warga Dusun Wiyu, Kabupaten Kulon Progo.

Ia adalah seorang ibu dari 2 anak yang rumahnya sangat dekat dengan Kali Progo. Hal ini menyebabkan ia juga turut merasakan dampak dari adanya pertambangan yang dilakukan di samping rumahnya itu.

Yuli bercerita ketika musim kemarau tiba,  Kali Progo menjadi tempat bermain bagi anak-anak untuk memancing, bermain bola, bermain layangan atau sekadar menikmati keindahan Kali Progo yang sedang surut karena musim kemarau.

warga memandangi proses penambangan pasir di Kali Progo
Warga memandangi proses penambangan pasir di Kali Progo

Ia merasa bahagia ketika melihat anak-anak riang. Namun, kebahagiaan Yuli dan anak-anak itu tidak bertahan selamanya. Semenjak kedatangan tambang di Kali Progo, perlahan semua kesenangan tersebut sirna.

Yuli mengungkapkan banyak anak, khususnya warga Wiyu, merasa takut ketika melihat eksavator. Mereka merasa terancam dan enggan bermain lagi di sekitaran Sungai Progo.

Tak hanya itu, anak-anak pun tak berani bermain di sana karena takut tenggelam ke lubang bekas galian tambang itu

“Itukan otomatis secara psikologis kan sudah terganggu, jadi pemahaman dia kan sudah teralihkan padahal mbiyen, oiya mbiyen aku iso seneng-seneng neng Progo, ibarat kata, main layangan kecil-kecil itu, kaya di pantai itukan, kalau sekarang nggak berani,” ungkapnya.

Sebagai seorang ibu, Yuli memperhatikan anaknya terganggu saat tidur siang diakibatkan suara bising eskavator. Ia mengungkapkan bahwa anaknya kerap kali mengeluh kepadanya karena tidak bisa tidur siang dengan tenang.

Selain mengganggu jam tidur siang anaknya, suara eskavator juga mengganggu konsentrasi anaknya saat belajar di rumah. “padahal kalau mbiyen ki nek logikane anak itu kan eskavator iki apik ngawe dolanan iki kan?” ungkapnya heran.

Tak hanya hilangnya tempat bermain bagi anak-anak, Yuli menjelaskan bahwa dengan adanya tambang beroperasi di sana, sumur-sumur para warga mengering. Menurunnya debit air kerap kali membuat para warga harus terus mendalami sumurnya demi mendapatkan air.

Yuli sempat 2 kali mendalami sumur dalam kurun waktu 1 tahun, yang di mana tiap kali pendalaman dia merogoh uang hingga 4 juta rupiah.

Permasalahan seputar air tidak hanya soal sulitnya mendapatkan air, namun Yuli kerap menemukan air yang keruh karena didiamkan. Ia mengatakan bahwa pada saat keluar airnya bening seperti biasa, namun beberapa saat kemudian airnya akan berubah menjadi keruh, seperti yang ada di kamar mandinya saat itu.

Kondisi air di rumah Yuli

 

Berangkat dari keresahan itu, Yuli akhirnya memutuskan untuk menggalang persatuan ibu-ibu wilayah Wiyu untuk bersama-sama melawan tambang.

Pada kisaran April sampai Juli 2022 Yuli mulai mengajak para teman arisannya untuk mulai membicarakan perihal tambang ini lebih serius lagi.

Pada perkumpulan itu, mereka membicarakan dampak yang diterima oleh anak-anak mereka, saling berkoordinasi antar warga dan berbagi cerita tentang permasalahan yang dialami satu sama lain. Yuli mengutarakan bahwa dengan adanya kelompok kecil seperti ini memudahkan warga, khususnya para ibu, untuk berbagi informasi.

“Kita buat komitmen, terus kita buat koordinasi itu, terus berjalan ini, terus ada ini timbul cerita-cerita,” terangnya.

Perkumpulan ini mulai terbentuk satu tahun yang lalu, sekitar bulan Juli tahun 2022. Setiap hari Senin, mereka berkumpul sembari membicarakan tambang. Karena kesibukan masing-masing, para ibu lebih banyak melangsungkan obrolan di grup WhatsApp

“Ibarat kata kita pedomannya itu kaya kalau kita nyapu pakai satu lidi. Itukan nggak bisa. Kalau banyak lidi kan bisa. Tapi ya pelan-pelan kita nyadarin ini. Awak dewe ki nek ora arep bergerak, terus meh piye?, dalam artian kok nek awak dewe diem saja, ya semakin ditindas toh otomatis,” Yuli menjelaskan alasan mengapa perlu para ibu untuk berkumpul.

Perkumpulan para ibu juga selalu berkoordinasi dengan Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP). “Kalau suami itukan biasa akrab ngobrol-ngobrol. Kalau ibu-ibu kan ngobrol ngerumpi itukan belum pernah yo. Terus kita kumpulin ini, kita buat koordinasi itu, acara kita. Kita saling tukar pikiran lah. ini tambang yo menyusahkan awak dewe toh?

Pada suatu waktu, ketika para pekerja tambang melanggar peraturan terkait jam operasional tambang, Yuli dan warga Wiyu bekerja sama untuk menghentikan kegiatan pertambangan karena sudah masuk waktu salat Magrib.

“Jam 5 itu sudah koordinasi ini sama warga, kalau jam 5 seperempat dia belum selesai, kita turun. Ternyata bener, jam 5 seperempat tu truknya itu baru mulai lagi.”

Di Dusun Wiyu, para warganya memiliki kentongan untuk dipakai jika diperlukan, salah satunya adalah untuk menghentikan kegiatan pertambangan.

“Abis itu rame-rame mentung itu, mereka minggir semua, diteriakin maling. Kalau kita pakai kentongan kan kalau rusak kita bisa buat lagi, pakai bambu. Nah ibarat kata kalau kita mbeyer-mbeyer motor, motore rusak kok kan repot, nggak lucu toh?” kisah Yuli. “Beginilah manfaat kalo warga ngumpul,” lanjutnya.

Mengusir tambang, melestarikan Sungai Progo

Anggalih Bayu Muh. Kamim, di dalam opininya berjudul Hak Atas Air Terpasung, Beban Perempuan di Tengah Bayang-bayang Tambang, mengatakan bahwa tambang merusak mata air warga. Pihak yang paling terpinggirkan, lanjutnya, adalah perempuan. Alasannya ialah perempuan dibebankan melakukan kerja domestik seperti mencari dan mengambir air demi keperluan rumah tangga.

Argumen Kamim ini didasarkan dari kajian yang dilakukan oleh Irianti dan Prasetyoputra (2019). Di dalam kajian tersebut membuktikan bahwa 42,3% rumah tangga menggantungkan peran perempuan dalam mengambil air dari mata air. Bahkan, 1,57% rumah tangga bergantung kepada anak perempuan untuk mengambil air.

Menurut pandangan ekofeminisme, seperti dituturkan oleh Saras Dewi, pengajar Filsafat UI, perempuan sangat merasakan ketidakseimbangan alam karena tambang. Karena dalam kajian ekofeminis, perempuan dengan alam memiliki kedekatan emotif.

Saras menambahkan, persoalan ketidakseimbangan alam ini adalah persoalan sistemik, karena terjalin melalui pandangan ekonomi, sosial dan politik.

“Ekofeminis ingin merombak sistem tersebut; bagaimana tidak lagi ada hierarki antara manusia dan alam, ataupun kelas antar masyarakat. Perubahan ini harus ditempuh secara politis, diperjuangkan melalui transformasi budaya yang mengarah pada keadilan ekologis/keberlanjutan, juga transformasi politik yang meninggalkan pandangan lama mengenai politik, khususnya yang memisahkan antara manusia dan alam,” jelasnya.

Parinem, Suburiyah dan Yuli memiliki keresahan yang sama. Ketiganya adalah seorang ibu rumah tangga yang mengkhawatirnya ruang hidupnya hilang karena tambang. Mereka tidak hanya mementingkan nasibnya sendiri, tetapi juga peduli dengan nasib seluruh warga sekitar Kali Progo.

Mereka berharap proyek tambang segera pergi dari Sungai Progo. Bagaimanapun caranya, mereka akan tetap bertekad untuk mengusir tambang demi kelestarian Sungai Progo.

Mbok yaa ayo bareng-bareng ditolak. Wong kali ki nek dikeruk terus kan otomatis kalo misal banjir tanahe longsor. Itu kalo terus dikeruk nanti kan airnya berkurang karena tempatnya (tambang kali) lebih rendah dari pada sumber airnya itu,” seru Suburiyah. []

*Liputan ini adalah liputan kolaborasi untuk mengangkat isu pertambangan yang ada di Kulonprogo. Kolaborasi ini diikuti oleh LPM Natas, LPM Arena, BPPM Balairung, LPM Philosofis, BPMF Pijar, LPM Ekspresi, LPM Himmah dan LPM Rhetor

Reporter dan Penulis: Olivia Subandi dan Umar Hasan

Editor: Hifzha Aulia Azka

 

 

You may also like

Novel Puthut EA ‘Cinta Tak Pernah Tepat Waktu’ Difilmkan oleh Hanung Bramantyo

lpmrhetor.com – Hanung Bramantyo memperkenalkan film terbarunya berjudul