Untuk menjadi inklusif, kampus tidak cukup hanya menerima penyandang difabel menjadi mahasiswanya. Lebih dari itu, kampus harus menjamin mahasiswa difabel dapat mengakses layanan pendidikan yang setara (dengan non-difabel), dengan menyediakan akomodasi yang layak sebagaimana diatur dalam PP 13/2020.
lpmrhetor.com- Siang itu, aktivitas di lantai satu perpustakaan UIN Sunan Kalijaga terlihat sibuk. Banyak orang berlalu-lalang. Banyak orang berbincang-bincang. Setelah menunggu beberapa saat, seorang perempuan dengan kemeja putih yang dibalut rompi rajut hitam datang mendekat.
Perempuan itu adalah Tia (bukan nama sebenarnya), mahasiswi penyandang difabel Tuli. Kami menyesal tidak menguasai bahasa isyarat. Bersyukur, Tia memaklumi keterbatasan kami. Karena itu, meski duduk di satu tempat, kami berbincang melalui pesan WhatsApp.
“Kebetulan, jujur sekarang aku bolos [kuliah] karena gak ada didampingi relawan,” Tia membuka obrolan.
Tia adalah mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora. Dari sekitar 20-an mahasiswa di kelasnya, ia merupakan satu-satunya penyandang difabel Tuli. Siang itu bukan kali pertama Tia bolos kuliah. Terkadang, ia terpaksa meninggalkan kelas sebab tak ada relawan dari Pusat Layanan Difabel (PLD) yang bisa mendampinginya kuliah.
Jauh di dalam hati, Tia merasa kesal. Namun lagi-lagi tak banyak yang bisa ia lakukan.
Di tengah perbincangan, Tia mengajari kami bahasa isyarat dasar. Kami belajar cara menyampaikan alfabet A-Z dengan bahasa isyarat. Selain itu, Tia juga mengajari kami cara menyampaikan beberapa kata menggunakan bahasa isyarat, seperti kata “Jurusan”, “Komunikasi dan Penyiaran Islam”, dan lain-lain. Kami mengikuti gerakan tangan Tia dengan patah-patah.
Kampus Punya Tanggung Jawab Sediakan Pendampingan Bagi Difabel Tuli di Kelas
Tia bercerita tentang proses perkuliahan mahasiswa penyandang difabel Tuli yang tidak mudah.
Di kelas, dosen Tia tidak lancar berbahasa isyarat. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 13 tahun 2020 tentang akomodasi yang layak untuk peserta didik penyandang disabilitas, pasal 15 poin (f), disebutkan jika pendidik tidak mampu berkomunikasi dengan bahasa isyarat, maka kampus wajib menyediakan pendampingan berupa juru bahasa isyarat maupun juru catat bagi mahasiswa penyandang disabilitas Tuli dan Wicara.
Memang UIN melalui Pusat Layanan Difabel (PLD) memberikan layanan pendampingan berupa juru catat bagi mahasiswa difabel Tuli yang membutuhkan. Namun Tia mengaku, tak hanya satu-dua kali ia tak dapat relawan yang bisa mendampinginya di kelas.
Siang itu, kata Tia, relawan yang mestinya menjadi juru catatnya beralasan punya acara lain.
Ketika tak ada relawan yang mendampingi di kelas, ia bingung apa yang bisa dilakukan untuk memahami penjelasan dari dosen. Selain itu, ia juga tak dapat mengikuti diskusi selama perkuliahan.
Sementara dosennya tak paham bahasa isyarat, teman sekelasnya juga tak bisa diandalkan.
“Ya pernah gak didampingi [juru catat]. Jadi aku minta tolong sama teman kelasku, tapi enggak ada bantu sama sekali. Aku kecewa.”
Ketika berada dalam posisi seperti itu, tak banyak yang bisa ia lakukan. Saat teman-temannya berdiskusi bersama dosen, Tia hanya bisa diam dan sesekali melihat materi dari power point yang ditampilkan di depan kelas.
“Aku sendirian. Aku tenang, diam,” tulis Tia.
Karena alasan itulah Tia memilih bolos. Pasalnya, ketika berada dalam kelas tanpa juru bahasa isyarat maupun juru catat, ia tak dapat mengikuti proses pembelajaran.
Ketika ditanya bagaimana jika nanti ketidakhadirannya akan berpengaruh pada absensinya, ia menjawab singkat: “Biar.”
Meski begitu, sesekali Tia tetap memaksakan diri hadir. “Beberapa bolos, tapi aku nggak sering bolos berlebihan.”
Pendampingan di Kelas Dinilai Belum Efektif
Setelah berbincang dengan Tia, kami juga mewawancarai Laras, bukan nama sebenarnya. Saat membuat janji temu, Laras mengajak kami bertemu di Kafe Tuli.
Kafe Tuli merupakan sebuah kedai kopi yang cukup unik. Juru masak dan pramusajinya anak muda difabel Tuli. Mereka berinteraksi dengan bahasa isyarat dan verbal.
Berdasarkan ulasan di Google Maps, kafe ini jadi salah satu tempat berkumpul teman Tuli dan dengar di Yogyakarta, bisa untuk bersantai maupun sambil mengerjakan tugas kampus. Kafe Tuli terletak di Sapen, sebuah padukuhan di selatan UIN Suka. Tepatnya di Jalan Bimo Kurdo No.21.
Begitu sampai di Kafe Tuli, Laras menyambut kami dan memesankan ke kasir menggunakan bahasa isyarat. Ia tampak mengetik sesuatu di ponselnya, dan sebentar kemudian menunjukkan layar ponselnya ke arah kami.
“Saya Tuli,” tulisnya, pendek saja.
Kami mengangguk. Sama seperti saat bertemu Tia, kami berada di meja yang sama dan berbincang melalui pesan WhatsApp.
“Saya merasakan banyak hambatan belajar. Tulisan di papan tulis tidak rapi,” tulis Laras.
Meski masih duduk di semester pertama, mahasiswi Fakultas Dakwah dan Komunikasi ini telah dihadapkan berbagai kesulitan selama kuliah. Salah satunya adalah saat kegiatan belajar di dalam kelas berlangsung.
Sebelum mengenyam pendidikan tinggi di UIN, Laras belajar di Sekolah Luar Biasa (SLB). Kata Laras, sistem pendidikan di SLB sangat berbeda dengan yang diterapkan di lembaga pendidikan umum.
Maka ketika melanjutkan kuliah ke UIN, Laras mengaku harus banyak beradaptasi dengan lingkungan dan sistem belajar yang sama sekali baru baginya.
Sama seperti Tia, Laras juga membutuhkan Juru Bahasa Isyarat (JBI) untuk membantu memahami materi yang disampaikan dosen di dalam kelas. Memang, Laras kerap didampingi oleh relawan PLD. “Tapi pendamping ganti lain terus, tidak cocok.”
Sejauh ini Laras merasa pendampingan dari PLD kurang efektif. Selain karena selalu ganti orang, relawan yang menjadi juru catat Laras kerap kali berasal dari program studi yang berbeda. Jadi, ketika perkuliahan berlangsung, pendamping tidak selalu dapat memahami materi yang dibahas di kelas.
Buntutnya, hasil catatan perkuliahan dari juru catat sering sulit dipahami. Saat ditanya, pendamping juga kerap tak mampu menyampaikan dengan baik apa yang dibahas selama perkuliahan, kepada penyandang difabel Tuli.
Saat kuliah berlangsung, Laras juga pernah tak dapat pendamping juru catat seperti Tia. Ia berusaha meminta bantuan kepada temannya. Beberapa teman berusaha membantu, tapi masih belum maksimal karena terhambat kemampuan bahasa isyarat.
Laras berharap, teman-teman mahasiswa non-difabel bisa memahami kondisi difabel Tuli. Akan lebih baik lagi jika mahasiswa lain mau belajar bahasa isyarat, agar bisa membantu teman-teman Tuli untuk berkomunikasi.
Kepada kampus, Laras tak bisa berharap banyak. Hambatan demi hambatan yang ia alami membuatnya pusing.
“Jujur saya kesal. Karena kesal, saya jadi malas belajar karena nggak paham terus sama materinya. Teman-teman saya juga kesal. Karena kesal, saya dan teman-teman jadi malas.”
Relawan PLD Juga Mengalami Hambatan
Berangkat dari keluhan-keluhan di atas, kami coba menghubungi salah satu relawan PLD yang kerap menjadi pendamping mahasiswa difabel di kelas. Ia adalah Nina, bukan nama sebenarnya. Kepada kami, Nina menceritakan lika-liku perjalanan mendampingi mahasiswa difabel selama hampir tiga tahun.
“Aku biasa dampingin kawan-kawan Tuli,” ujar Nina, membuka obrolan.
Nina mengaku belum benar-benar menguasai bahasa isyarat. Hal ini membuat komunikasi dengan mahasiswa difabel yang didampinginya tak maksimal. Terkadang, ia tidak paham apa yang disampaikan mahasiswa difabel, begitu pun sebaliknya.
“Aku itu notetaker. Notetaker itu yang biasa ngedampingin [mahasiswa difabel] di kelas. Awal-awal aku tinggal merhatiin dosennya terus tulis-tulis. Kasih deh catatannya ke dia. Kita pahami sedikit. Enggak harus paham banget, kok,” ucap Nina.
Saat kuliah masih dilaksanakan secara daring, Nina pernah dimarahi oleh mahasiswa difabel karena telat masuk kelas.
Selain itu, saat kuliah daring, Nina pernah masuk salah satu kelas mahasiswa difabel, namun mahasiswa difabel yang akan didampingi itu tidak masuk kelas. Nina akhirnya menyimak jalannya perkuliahan tanpa ada mahasiswa difabel yang seharusnya ia dampingi. Ia mencatat materi yang disampaikan oleh dosen dan kemudian menyerahkannya ke mahasiswa difabel.
Namun, hasil catatan Nina tidak sepenuhnya dapat dipahami oleh mahasiswa difabel. Apalagi jika dalam catatannya terdapat kata-kata ilmiah yang sulit dipahami. Ketika mahasiswa difabel bertanya kosakata yang tidak dipahaminya, ia biasa menjelaskan kembali apa yang telah disampaikan oleh dosen. Jika mahasiswa difabel itu tetap tidak mengerti, Nina akan meminta mahasiswa difabel itu untuk membaca materi yang ditampilkan dalam powerpoint atau bertanya kepada teman-temannya.
Relawan PLD selalu mendapatkan jadwal yang telah ditentukan oleh staff PLD untuk mendampingi mahasiswa difabel. Ada dua kategori relawan di PLD: relawan tetap dan sementara.
“Di PLD, ada relawan tetap sama sementara. Kalau [relawan] tetap yang didampingi itu terus. Jamnya itu terus. Kalau [relawan] sementara, cari, nih, siapa yang luang,” terang Nina.
“Kalau ada yang tidak bisa mendampingi bagaimana?”
“Ya, itu, langsung ngabarin, ‘Mbak, aku jam segini ga bisa’. Terus nanti staffnya nyariin yang bisa. Nanti staffnya juga ngabarin ke difabelnya.”
Nina membenarkan bahwa terkadang memang ada mahasiswa difabel yang tak mendapatkan pendamping di kelas. Selain itu, ia juga menyadari bahwa ketika situasi seperti itu terjadi, mahasiswa difabel akan kesulitan mengikuti proses pembelajaran.
PLD Merasa Sudah Menangani Permasalahan Yang Dialami Mahasiswa Difabel
Kemudian, kami menyampaikan permasalahan yang dialami oleh Tia dan Laras kepada Siti Aminah, salah satu staf ahli PLD.
Aminah menyatakan bahwa beragam masalah teknis yang menyangkut mahasiswa difabel sebenarnya telah selesai. Jika ada masalah yang muncul, PLD melakukan trial and error. Justru dengan banyaknya masalah, Aminah mengatakan, PLD semakin tertantang untuk selalu berusaha mengatasinya.
“Jadi selama ini gak ada masalah. Bahkan kita tertantang. Kalau ada masalah itu kita dapet ilmu bareng begitu,” ucapnya saat ditemui di ruang PLD (10/03/2023).
Aminah juga menanggapi keluhan-keluhan yang ada dalam sistem kerelawanan, seperti: sering bergantinya relawan dalam mendampingi mahasiswa difabel Tuli, relawan tidak memiliki fleksibilitas waktu untuk mendampingi mahasiswa difabel Tuli, dan lain-lain.
“Bahkan ketika pertama kali UIN Suka menerima Tuli kalau kita mau ngomongin masalah banyak banget masalah kan. Padahal kami itu tidak punya teori, untuk praktek kami itu mengalir saja,” ujarnya.
Aminah mencontohkan upaya PLD dalam menyelesaikan masalah yang menyangkut mahasiswa difabel Tuli. Misalnya: jika mahasiswa difabel Tuli merasa tidak nyaman dengan beberapa relawan, PLD akan mencari teman sekelasnya untuk mendampingi mahasiswa difabel Tuli tersebut.
“Misalnya si A seorang Tuli. Dia itu biasanya dekat dengan teman sekelas, misalnya dengan si B. Itu otomatis pendampingnya itu teman yang nyaman. Tapi dia harus terdaftar secara profesional di PLD. Karena kita ada sekolah relawan itu loh, gak sembarangan orang bisa jadi relawan,” terangnya.
Tugas relawan tidak hanya mendampingi mahasiswa difabel Tuli di dalam kelas. Tetapi, relawan juga bertugas untuk mendampingi pengerjaan skripsi, layanan perpustakaan, dan juga membantu untuk melakukan scanning buku.
Dalam hal pendampingan mahasiswa difabel Tuli di dalam kelas, PLD menentukan relawan yang benar-benar tidak berhalangan.
“Ada mobilitas, relawan itu juga punya fungsi masing-masing, jatah mereka kosongnya di hari apa saja. Karena kan gak mungkin mahasiswa full seharian jam 7 sampek jam 4 misalnya, kan ada jam-jam tertentu yang kosong,”
Menurut Aminah, keberadaan relawan sangat membantu mahasiswa difabel Tuli ketika mendapatkan kesulitan akademik. “Bayangkan ya, beberapa kampus yang modeling itu tanpa relawan itu agak sulit karena relawan itu urat nadi menurut saya,” katanya.
Saat ini, para relawan cukup terbantu dengan kecanggihan teknologi ketika menjalani tugas-tugasnya. Aminah mengenang pengalamannya dahulu ketika menjadi relawan pada masa awal berdirinya PLD. Begitu rumit saat berkomunikasi dengan relawan lain.
Aminah menganggap, adanya teknologi yang canggih mempermudah kerja-kerja teknis relawan PLD. Komunikasi menjadi lancar. Mahasiswa difabel Tuli juga menurut Aminah tidak terlalu terhambat masalah komunikasi.
“Dan difabel yang tuli itu sudah punya ini [gawai], cerdas banget. Bisa jadi karena kita sudah tidak punya masalah selama ini loh. Tidak punya temuan masalah. Bahkan kalaupun misalnya belum ada teknologi banget kita pakai tulisan pun bisa jalan,” pungkasnya.
Kampus Inklusif Tidak Sekadar Menerima Mahasiswa Difabel
Suharto, direktur eksekutif Sasana Inklusi & Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB), mendorong perguruan tinggi untuk menciptakan lingkungan akademik yang inklusif. Seluruh warga perguruan tinggi harus paham dengan karakter pendidikan yang inklusif.
Pendidikan inklusif, menurut Suharto, berarti “pendidikan yang memungkinkan untuk mewadahi semua orang dengan latar belakang dan karakter yang berbeda-beda, termasuk disabilitas. Jadi antara yang difabel dan non-difabel itu bisa menikmati pendidikan yang sama,” jelasnya.
Selanjutnya, perguruan tinggi tidak cukup hanya menerima mahasiswa difabel saat pendaftaran mahasiswa baru dan membiarkan mereka mengikuti kuliah begitu saja. Perguruan tinggi seharusnya membangun kultur inklusif, seperti: saling menerima, menghargai, dan mengerti kebutuhan mahasiswa difabel.
“Itu penting dan itu harus dibangun, tidak bisa hanya ketika difabel masuk terus langsung bisa terbangun dengan sendirinya. Yang terjadi justru kemudian ada bullying, karena biasanya yang berbeda itu dibully,” terangnya.
Setelah kultur inklusif terbangun, perguruan tinggi juga perlu menyediakan fasilitas yang aksesibel bagi mahasiswa difabel.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016, pasal 10 poin (a) tentang hak pendidikan bagi penyandang disabilitas berbunyi: penyandang disabilitas “mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan secara inklusif dan khusus.”
Pada pasal yang sama di poin (d), disebutkan bahwa difabel memiliki hak untuk mendapatkan akomodasi yang layak sebagai peserta didik.
UU Nomor 8 tahun 2016 tidak membahas secara spesifik tentang bagaimana akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas. Pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 13 Tahun 2020, dijelaskan secara spesifik tentang akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas.
Misalnya pada PP No. 13/2020 pasal 15, dijabarkan sebelas bentuk akomodasi yang layak bagi mahasiswa penyandang disabilitas rungu dan wicara. Salah satunya adalah mendapatkan “pendampingan di kelas baik oleh juru bahasa isyarat maupun oleh juru catat jika Pendidik tidak dapat berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat” (poin f).
Saat ini, PLD baru memberikan layanan note taker atau juru catat. Alasannya, jumlah relawan juru bahasa isyarat yang secara profesional terdaftar di PLD masih terbatas. Hal ini tertera dalam Pedoman Layanan Difabel Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga.
Suharto yang juga seorang dosen di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, menilai bahwa UIN masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Ia berpendapat bahwa kehadiran PLD sangat dibutuhkan untuk memenuhi hak-hak mahasiswa difabel Tuli dan memberikan edukasi inklusivitas terhadap dosen dan mahasiswa non-difabel.
Menurut Suharto, edukasi kepada dosen dan mahasiswa sangat penting untuk mendorong iklim yang ramah bagi difabel di perguruan tinggi.
“Nah, itu perlu diprogramkan. Termasuk edukasi terhadap mahasiswa di kelas. Jadi kelas yang ada mahasiswa difabelnya biar bisa support gitu. Selama ini [difabel] masih tergantung kepada relawan. Kalau dari kelas sendiri bisa membantu, akan lebih efektif,” ucap Suharto.
Dengan begitu, UIN akan menjadi institusi pendidikan yang inklusif bagi mahasiswa difabel. Pendidikan yang inklusif memiliki banyak manfaatnya.
“Kalau manfaatnya sendiri, selain untuk mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas, pendidikan inklusif juga memberi kesempatan untuk saling memahami antara mayoritas dan minoritas,” ujarnya.
Sebuah Pertanyaan untuk UIN
Tia dan Laras hanya dua dari banyak mahasiswa difabel Tuli yang ada di UIN. Hingga kini, mereka harus berusaha keras untuk bisa mengikuti pembelajaran di kelas yang belum aksesibel bagi mahasiswa difabel Tuli.
Perjalanan akademik Tia dan Laras sebagai mahasiswa difabel di UIN Sunan Kalijaga masih diwarnai beragam masalah. Masalah-masalah itu membuat mereka tertinggal dari kawan-kawannya. Bahkan, Tia beberapa kali nekat bolos karena tak dapat pendampingan di kelas.
Lalu, apakah UIN, melalui PLD masih mengingat tujuannya untuk memberikan kesempatan dan tingkat partisipasi yang sama bagi mahasiswa difabel dengan mahasiswa lain? []
Reporter : Hifzha Aulia Azka & Aida Husna Rahmadani
Editor : M. Hasbi Kamil