Pentas Musik ‘Sabubukna’: Solidaritas kepada Warga Dago Elos, Menari di Tengah Ancaman Penggusuran

1444
Dok/lpmrhetor/pikrihafidz

Lpmrhetor.com- Pada pertengahan sore di awal bulan Agustus (05/08/2022), saya menghadiri acara pentas musik dengan tajuk “Sabubukna” yang diselenggarakan oleh Forum Dago Melawan x Wreck Collective Presents. Pentas ini menghadirkan dua grub band, yaitu Rub of Rub dan Wreck. Kegiatan ini bertempat di depan gedung Balai RW 02 Dago Elos, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Jawa Barat.

Ketika masuk ke dalam lokasi, mata kita akan disuguhi dengan banyak poster, spanduk dan bendera. Selain itu ada juga tulisan-tulisan di pinggir jalan yang tertuliskan ‘Dago Elos Never Lose, Tolak Penggusuran, Lawan Setan Tanah, Dago Melawan dan sebagainya yang menolak tergusur di tanah sendiri’.

Spanduk bertuliskan lawan penggusuran (Dok: Instagram 000.5gb000)

Tempat yang saya datangi ini merupakan tanah sengketa. Bermula pada awal Desember 2016, warga mendapatkan gugatan oleh PT Dago Inti Graha dan tiga orang yang mengklaim sebagai ahli waris yang sah di wilayah Dago Elos. Orang tersebut adalah Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller, dan Papin Sandepi Muller. Klaim ini berdasarkan Eigendom Verponding-sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh Kerajaan Belanda pada tahun 1934 diwariskan kepada yang bernama George Hendrik Muller yang merupakan leluhur dari mereka bertiga.

Waktu berselang hingga tahun 2020, warga Dago Elos memenangkan proses gugatan perdata di tingkat kasasi Nomor 934.K/Pdt/2019. Kemenangan tersebut diraih setelah Hakim Mahkamah Agung (MA) menyatakan Eigendom Verponding atas nama George Henrik Muller tidak dikonversi dan belum pernah didaftarkan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bandung.

Warga Dago Elos juga mengajukan permohonan sertifikasi tanahnya ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bandung pada 21 Januari 2021. Akan tetapi, setahun berselang tidak ada respon dari BPN Kota Bandung. Kemudian, pada tahun 2022 warga Dago Elos kembali terancam digusur karena Putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung dengan Nomor 109/PK/Pdt/2022  yang memenangkan gugatan keluarga Muller atas kepemilikan tanah Dago seluas 6,9 hektar.

Menurut Jonaski dari Forum Dago Elos Melawan,  membutuhkan biaya yang tidak sedikit  untuk mengajukan PK. Karena itu, diperlukan iuran secara kolektif untuk mengumpulkan uang yang besar. Biaya yang diperlukan menurutnya mencapai satu miliar rupiah. Namun, Jonaski sendiri merasa cemas jika sudah mengeluarkan uang sebesar itu tetapi hasil dari persidangan PK tidak memenangkan warga atau malah membuat warga semakin terpuruk.

“Cuma kalau kita PK kembali ngan [seperti] habisin uang doang gitu jeleknya bisi [takutnya] uang udah keluar misalnya hasil dari PK-nya malah bikin tetap bikin down warga. Anjir udah masuk uang segini-segini tetep aja, kemarin aja udah menang masih dikalahkan gitu,” ujarnya.

Ada jargon yang sering diucapkan oleh warga Dago Elos, solidaritas dan jejaring, yaitu ‘Dago Melawan Sabubukna’ (sampai darah penghabisan). Menurut Jonaski sendiri, jargon ini lahir ketika PK dari keluarga Muller dimenangkan oleh MA, Forum Warga Dago Elos  mengadakan perkumpulan warga-warga untuk membicarakan bertahan atau tergusur di tanah sendiri.

“Warga dikumpulin diguyubin semua buat ngomongin mau bertahan atau engga, jadi kalau warga semua udah guyub bersepakat buat bertahan ya udah jelas kita melawannya.  Ngomongin hukum sama di lapangannya gitu, hukum mah udah jelas dikalahin [kalah persidangan] makanya ada Dago Melawan Sabubukna itu ngomongin bertahan di lahan,” tambah Jonaski.

Solidaritas Di Bawah Bintang

Di acara ini pun hadir Perpustakaan Jalanan, sablon donasi, dan lapak gratis bagi para jejaring untuk menjual barang dagangannya. Setelah berbincang dengan kawan-kawan solidaritas lainnya, acara pun dimulai pada pukul 19.00 WIB yang menampilkan pembacaan puisi, Wreck, dan penampilan terakhir oleh Rub Of Rub. Hadirnya para warga, kawan solidaritas dan jejaring tak menyurutkan hasrat semangat perjuangan melawan penggusuran yang terbakar di gemerlapnya malam.

Rizwan selaku vokalis Rub Of Rub mengatakan bahwa hadirnya band Wreck dan Rub Of Rub di tengah ancaman penggusuran karena melihat Dago Elos yang sudah lama berjuang. Belum terlambat untuk diperjuangkan dan mengekspresikan semangat perjuangan melawan penggusuran.

“Karena kampung halaman kita ya Bandung isu ini tuh [Dago Elos] sudah lama sebelum Tamansari Melawan. Tapi semangat kita tuh ini ngeliat bahwa ini tuh belum terlambat dan terus mengekspresikan kan tentang perlawanan mengenai pengusuran di Dago Elos ini,” ucap Rizwan.

Seorang ibu berbicara di atas panggung (Dok: Instagram Dashoot)

Sama hal nya dengan ucapan Jonaski kepada saya, hadirnya kawan solidaritas dari Skena Musik merupakan aktivasi ruang di lahan warga agar masyarakat yang hadir di acara tersebut tidak hanya melihat dari kegiatan musik nya saja. Tetapi melihat bahwasanya sedang ada konflik penggusuran yang terjadi.

”Kawan kawan dari jaringan solidaritas Skena Musik seperti band Wreck dan Rub Of Rub, kawan-kawan solidaritas ini tuh bikin acara sebagian dari aktivasi ruang di lahan warga agar yang datang kesini tuh bukan melihat band nya doang, dia bakal melihat ada spanduk, bendera melihat oh ternyata ada di lahan Dago Elos ini ada konflik penggusuran,” ucapnya sambil menikmati sebatang rokok.

Rizwan juga heran kepada sikap pemerintah yang acuh dan tidak peduli ketika terjadinya ancaman penggusuran. Terlebih tidak melihat dari sisi lain, yaitu  anak-anak kecil yang tidak tau seberapa besar ancaman terjadinya penggusuran.

“Kalau saya pribadi melihat anak kecil lagi main bola, kita liat anak kecil lagi main-main, maksudnya itu mau dipikirin kemana sih? ketika orang dari pemerintah tidak melihat dari framing ini tuh  ada anak kecil,” imbuhnya.

Malam semakin malam, keramaian semakin meningkat, kawan solidaritas pun hadir dari berbagai daerah di Bandung. Ada juga yang hadir dari luar kota untuk mengikuti acara ini.

Panggung yang sederhana dilengkapi dengan sebuah lampu-lampu kecil. Para band siap memulai acara dengan menyiapkan alat-alatnya terlebih dahulu. Para penonton segera berkumpul di tanah lapang, acara dimulai dengan sebuah pembacaan puisi oleh beberapa kawan solidaritas.

Kemudian acara dilanjutkan oleh band Wreck dengan genre post-punknya yang membuat lapangan menjadi sebuah moshpit (tempat menari segila-gilnya) berbentuk lingkaran. Kawan-kawan solidaritas moshing, loncat, diving (penonton diangkat) dengan penuh semangat yang membuat emosi di malam itu seperti terbakar api. Kemarahan-kemarahan yang tertanam di setiap individu seperti ditujukan kepada pemerintah, dikeluarkan dengan gagah tercampur rasa bahagia, sedih, amarah yang bersatu di arena itu.

Salah satu kawan solidaritas melakukan diving di tengah kerumunan penonton (Dok: Instagram Dago Melawan)

Malam semakin malam tak menyurutkan semangat kawan-kawan solidaritas. Giliran Rub Of Rub yang akan mengakhiri dan menutup acara kegiatan solidaritas ini. Menampilkan sebuah alunan musik yang santai, melayang berdansa. Salah satu nya adalah ketika membawakan lagu berjudul “Lepas” yang membuat kerumunan menjadi lebih santai dan riang, terbawa suasana dengan lagunya.

Walaupun terjadi gesekan fisik antara kawan-kawan yang hadir, akan tetapi gesekan tersebut hilang ketika seluruh kawan-kawan solidaritas berteriak mengatakan “Dago melawan tak bisa dikalahkan” sembari tangan kiri mengepal ke atas langit yang dipenuhi bintang-bintang malam.

Seorang kawan solidaritas mengepalkan tangan ketika berpuisi (Dok: Instagram Dashoot)

Walaupun saya sendiri tidak mengenal kedua band tersebut, toh tujuan saya datang ke acara ini selain melihat penampilan kedua band, juga melihat kondisi warga Dago Elos yang mencoba bertahan dari ancaman penggusuran.

Terbesit sebuah harapan dalam dari salah seorang kawan solidaritas ketika berakhirnya kegiatan ini. Babaw sapaan akrabnya, mengharapkan keharmonisan antara satu sama lain, antara kawan lama ataupun yang baru bergabung. Sehingga bisa turut berjuang terhadap apa yang terjadi dengan Dago Elos.

“Harapannya simple, ga ribut dan timbul harmonisasi dan saling mengenal satu sama lain. Maksudnya budaya pertemuan ini penting ketika dengan orang baru berjejaring dan lain lain kemudian hal hal yang terkait Dago Elos,” ujar Babaw.

Dengan berakhirnya acara, dengan kesadaran di setiap individu mengambil sampah sampah yang berserakan di lapanngan dan merapikan kembali barang-barangnya. Semua semata-mata agar kampung Dago Elos ini menjadi rapih seperti sedia kala.

Sebagai penutup, sayang sekali jika tidak ada dokumentasi yang melihatkan kondisi pada malam itu. Maka silahkan lihat foto-foto keseruan di gemerlapnya malam Dago Elos di bawah ini. []

Kawan-kawan solidaritas mengepalkan tangan (Dok: Instagram Dashoot)
Kerumunan penonton menikmati alunan musik (Dok: Instagram Dashoot)

Reporter         : Pikri Hafidz A

Editor             : Muhammad Rizki Yusrial

You may also like

Eco Lifestyle Seminar: Langkah Awal Bebas Sampah di Lingkungan Akademi

lpmrhetor.com – Komunitas Mahasiswa Pecinta Alam Sunan Kalijaga