Pemerintah Provinsi DIY Tidak Punya Cukup Alasan untuk Merelokasi PKL Malioboro

904
dok/rhetor

lpmrhetor.com – Pemerintah Provinsi DIY beralasan bahwa penataan kawasan Malioboro dengan melakukan relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan bagian dari mendukung program sumbu filosofi warisan budaya takbenda oleh UNESCO. Menanggapi hal tersebut, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta menyampaikan sikap sekaligus secara resmi membuka posko pengaduan bagi PKL Malioboro, pada Selasa (11/01) dalam Konferensi Pers “Sikap LBH Yogyakarta dan Pembukaan Lapak Pengaduan terkait Relokasi PKL Malioboro”.

LBH Yogyakarta menilai bahwa rencana relokasi PKL Malioboro terlalu tergesa-gesa. Hal ini dikarenakan Pemerintah Provinsi DIY tidak menyampaikan kejelasan terkait tujuan dari relokasi tersebut. Selain itu, jika mengacu pada konvensi UNESCO 2003, di dalamnya tidak terdapat syarat bahwa lokasi warisan budaya takbenda harus terbebas dari aktivitas ekonomi.

“Tidak adanya keterbukaan, dalam artian behind the scene rencana sumbu filosofinya tidak disampaikan kepada masyarakat secara luas, itu menutupi partisipasi dari masyarakat, khususnya PKL Malioboro itu sendiri. Sehingga menurut kami, Pemprov tidak punya cukup alasan untuk merelokasi PKL,” jelas Era Hareva selaku Divisi Penelitian LBH Yogyakarta.

LBH Yogyakarta juga menyayangkan kebijakan pemerintah yang melakukan relokasi saat masih pandemi. Padahal, kondisi ekonomi PKL Malioboro belum pulih seutuhnya. Lebih jauh, kebijakan tersebut juga berpotensi menghilangkan identitas dari Malioboro itu sendiri.

“Sebetulnya terkait dengan identitas PKL Malioboro sudah eksis sejak lama, diwariskan dari generasi ke generasi,” jelas Era.

Sebelumnya, PKL Malioboro yang terdata nantinya akan direlokasi ke bekas Gedung Bioskop Indra dan bekas Gedung Dinas Pariwisata DIY. Pemindahan PKL ke tempat yang baru ini dianggap bisa merubah iklim usaha pedagang itu sendiri. Sebab ketika mereka berjualan di Jalan Malioboro, pengunjung yang lewat dan tertarik ketika melihat barang dagangan PKL bisa saja langsung membeli.

“Berbeda ketika PKL dipindahkan, maka wisatawan yang ada harus memiliki niat yang besar untuk mengunjungi tempat tersebut, jika hanya sekadar untuk berbelanja. Berbeda jika PKL ada di sepanjang Jalan Malioboro,” ungkapnya.

Selain itu, kebijakan relokasi PKL juga dianggap berpotensi melanggar HAM, yaitu melanggar hak untuk hidup, mendapatkan kehidupan yang layak, serta hak untuk memajukan HAM itu sendiri. Maka dari itu, LBH Yogyakarta menyatakan beberapa sikap. Pertama, mendesak pemerintah provinsi untuk menunda rencana relokasi dan meninjau ulang kebijakan tersebut. Kedua, mendesak pemerintah provinsi membuka ruang partisipasi yang seluas-luasnya bagi masyarakat khususnya untuk PKL Malioboro. Ketiga, memberikan jaminan pemenuhan Hak Ekonomi bagi PKL.

Era menambahkan bahwa sejauh ini belum ada komunikasi secara resmi dengan PKL Malioboro. Harapannya, setelah rumah aduan resmi dibuka, nanti akan ada PKL yang mengadu ke LBH dan menjadi pintu masuk bagi kami untuk melakukan advokasi.

“Terkait rumah aduan, kami akan membuka pintu seluas-luasnya untuk PKL Malioboro dan kami juga akan mengadvokasi. Tidak hanya advokasi kepada PKL, tetapi juga dalam pembuatan kebijakan pemprov DIY ini. Selain itu, kami akan mengupdate informasi rumah aduan setiap minggunya,” pungkasnya. []

Reporter: Lutfiana Rizqi Sabtiningrum

Editor: M. Hasbi Kamil

You may also like

Hari Tani Nasional; GNP Kritik Kebijakan Agraria

lpmrhetor.com – “Sampai saat ini negara tidak menyelesaikan