Pendidikan di Indonesia: Hak yang Diperjualbelikan dan Dampak Mahalnya Biaya Pendidikan

1261
Foto: Fadilaturrahman

Pendidikan itu basisnya hak, sama seperti air. Tapi di Indonesia malah diperjualbelikan. Hal ini disampaikan oleh Rachmad Ganta Semendawai, perwakilan dari Aliansi Pendidikan Gratis (APATIS), pada acara diskusi publik dan panggung rakyat bertajuk “Mahalnya Biaya Pendidikan & Matinya Demokratisasi Kampus: Kemana Arah Pendidikan Indonesia?”  Acara ini diadakan oleh Aliansi Gerakan Nasional Pendidikan pada Jumat (22/12/2023) di Hall STPMD APMD Yogyakarta.

APATIS dan Project Multatuli pernah membuat survei tentang mahalnya biaya pendidikan. Menurut Ganta, temuan hasil survei itu tidak mengejutkan, tapi cukup memilukan.

”Survei tersebut memberitahukan 3 dari 10 mahasiswa mengaku mengalami masalah tidak bisa membayar biaya kuliah. Dan ada penemuan menarik juga, bahwa 74, 22% mahasiswa yang tidak bisa membayar UKT mengalami masalah fisik dan mental. Ada dua orang yang ingin bunuh diri gara-gara UKT. Jangan-jangan ini bukan hanya masalah tentang apakah kita besok bisa bayar UKT atau tidak. Ini tentang nyawa manusia yang sedang dipertaruhkan,” jelasnya.

Ganta menganggap kenaikan biaya UKT bukan hanya membuat mahasiswa mengalami kegagalan dalam pendidikan, tapi juga menyerang fisik dan mentalnya. Hal itu bisa dilihat dengan mahasiswa yang dihantui UKT ketika tenggat waktunya sudah dekat.

Penyebab dari mahalnya biaya pendidikan saat ini di Indonesia, menurut Zoel Taba, ketua Sekolah Bersama (SEKBER) Yogyakarta, adalah neoliberalisasi pendidikan.

“Pendidikan yang seharusnya untuk mencerdaskan itu kemudian mengalami satu proses perubahan, yang diikuti kepada neoliberal yang dimana pendidikan sebagai industri,” ujarnya.

Selain menyebabkan biaya pendidikan menjadi begitu mahal, lanjut Zoel, neoliberalisasi pendidikan juga menyebabkan nalar kritis mahasiswa perlahan menghilang.

“Ketika masuk dalam neoliberal, ada proses nalar kritis, kritikan, dan aksi demonstrasi, maka yang dipandang oleh birokrasi adalah ini sebagai bentuk ancaman,” terangnya.

Joko Susilo, Knowledge Manager Nalar Institute, pernah meneliti soal bentuk relasi antara negara, pasar, dan institusi pendidikan tinggi. Setelah krisis ekonomi tahun 90-an, para ekonom liberal memperkenalkan gagasan knowledge economy. Dalam konteks global mereka menyebutnya, corporate university. Di Indonesia disebut dengan Badan Hukum Negara atau Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH).

Pasca kemerdekaan dan era Orde Baru, lanjut Joko, kontribusi negara pada pendidikan itu di angka 81%. Setelah memasuki liberalisasi ekonomi kontribusi APBN kita negara hanya menyokong 55%. Pasca 2012 adanya Undang-Undang Perguruan Tinggi, negara itu hanya menyumbang di angka 35%,” paparnya.

Setelah 2012, lanjut Joko, kampus-kampus di Indonesia sangat tergantung dari. Sebab itulah UKT semakin naik hingga sekarang.

“Implikasinya adalah pendidikan masuk ke sektor jasa, komoditas. Semua kampus di dunia didorong untuk melakukan privatisasi. Dan implikasi terakhir adalah mengubah kondisi ekosistem pendidikan kita,” pungkasnya. []

Reporter: Fadilaturrohman (magang)

Editor: Hifzha Aulia Azka

 

You may also like

Hari Tani Nasional; GNP Kritik Kebijakan Agraria

lpmrhetor.com – “Sampai saat ini negara tidak menyelesaikan