Judul Buku : Sneevliet: Kemunculan Gerakan Komunis di Indonesia 1913-1918
Penulis : Kalam Jauhari
Penerbit : Octopus
Cetak : 2018
Tebal : xiv+284 halaman
ISBN : 978-602-72743-2-7
“Sneevliet dan lain-lain Belanda [Pieter Bergsma dan Bransteder]-red banyak meninggalkan jejak dalam gerakan sosialis dan serikat sekerja di Indonesia. Dan apabila suatu ketika proletariat Indonesia mencapai tingkat yang tetap dan luhur, maka para pelopor tadi tersebut di atas, bagaimanapun kecilnya jasa mereka dipandang dari salah satu sudut, pada suatu masa harus dicatat dalam sejarah, buat diperkenalkan kepada turunan kita,” tulis Tan Malaka dalam bukunya Dari Penjara ke Penjara, Jilid 1.
Seberapa penting ide revolusi, pergerakan, dan dekolonisasi Bumiputera atas penjajahan Belanda? Tentu tak terhingga. Lantas dari manakah ide itu muncul? Bak mantra dukun yang ditiup sekonyong-konyong memahamkan? Atau proses adu jotos gagasan yang melelahkan layaknya diplomat? Tentu “proses panjang” jawabannya. Begitu kiranya jalan yang ditempuh sosok ini, seorang agitator cum penyunting handal asal Belanda, Sneevliet.
Sosok dengan nama pena Henk Sneevliet lahir di Rotterdam, Belanda, 13 Mei 1883. Sneevliet tumbuh dan dibesarkan di keluarga miskin, sehingga untuk masuk ke sekolah menengah negeri (HBS) dia perlu bantuan keuangan. Semasa bersekolah di sana ia melihat kehidupan kontras antara si miskin dan si kaya. Hal ini kemudian menggugah hatinya yang memihak kaum papa.
Singkat cerita, ketika telah bermukim di tanah air, Sneevliet mengembangkan surat kabar di Hindia Belanda dan mengorganisir masyarakat Bumiputera yang dijajah. Oleh sebab itulah nantinya, di akhir November 1917, Sneevliet diseret ke pengadilan karena dituduh menghasut rakyat Jawa untuk merebut kekuasaan kolonial, menuduh pemerintah sewenang-wenang dan sejenisnya.
Di Hindia Belanda, Sneevliet membumikan ide sosialis dan komunis. Benar, melalui Sneevliet-lah Revolusi Rusia menarik perhatian publik. Jika menilik surat kabar di Indonesia, terutama Sinar Djawa, topik Revolusi Oktober 1917 tidak mendapat tempat yang besar. Nama-nama tokoh komunis seperti Lenin, Trotsky, dan Stalin nyaris tak pernah disebut. Bahkan dalam mengenang tahun 1917 yang telah berlalu, Revolusi Rusia itu tak disebut.
Jadi, tak berlebihan menyebutnya sebagai sosok yang inspiratif dalam pergerakan revolusioner. Ia bahkan dengan mudah mendekati golongan pergerakan di Indonesia untuk mempopulerkan semangat perlawanan dan perlunya berserikat. Terlebih Sneevliet memiliki pengalaman dan keahlian dunia persuratkabaran. Hal ini yang memudahkan persebaran propaganda.
Surat kabar, selain sebagai alat paling mangkus membangun opini publik di masa itu, meminjam istilah Ben Anderson, “dapat menciptakan kemungkinan lahirnya bentuk baru komunitas terbayang, yang di dalam morfologi dasarnya menyiapkan panggung bagi kiprah bangsa modern”. Di sana masing-masing aktivis bisa saling berkomunikasi, berbagi pendapat, dan berdiskusi tentang keadaan masa itu. Sneevliet yang juga seorang penyunting memanfaatkan kondisi itu.
Namun demikian, sungguh disayangkan bahwa tokoh yang memiliki andil besar dalam pembenihan bibit pergerakan ini tak dianggap oleh tokoh revolusioner, pemerintah, bahkan benar-benar dicoret dari bangsa kita. Nyatanya, tak banyak orang mengenal nama Sneevliet. Hingga kini di Indonesia, buku-buku yang secara khusus membahasnya masih sangat jarang.
Boleh jadi, minimnya literatur perihal jejaknya Sneevliet lantaran keinginan menyembunyikan segala sesuatu bekas Belanda di tanah air meskipun itu bermanfaat? Bisa jadi, persoalan tersebut disinggung dalam buku ini. Tapi apakah kita ingin melupakan ide-ide cemerlangnya begitu saja? Jangan sampai.
Membangun Fondasi Komunisme
Dialah salah satu sosok pembawa kabar menyenangkan sekaligus mendebarkan hati. Kabar berisi harapan akan kemenangan, namun perlu dibayar dengan keringat dan darah. Sneevliet, bagaimanapun kita menilai, upayanya perlu diperhitungkan dalam sejarah pergerakan. Sebab, ia turut urun rembug terhadap kaum buruh yang melawan, memberi harapan baru untuk para pejuang kemerdekaan bangsa.
Kali pertama Sneevliet menginjakkan kaki di Indonesia pada 23 Maret 1913 di Tanjung Priok, Batavia. Tidak lama kemudian ia menuju Surabaya, sebab telah mendapat izin tinggal yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kotamadya Surabaya. Ia kemudian mendapat pekerjaan di keredaksian surat kabar corong Sindikasi Pengusaha Gula sebagai staff penyunting.
Sejak saat itu, Sneevliet kerap bertemu dan bergaul dengan orang-orang sosialis Belanda di Indonesia. Mereka telah mendirikan serikat buruh, bahkan sebelum para revolusionis dan evolusionis berselisih paham dan membuat perbedaan tajam di antara mereka pada Kongres Internationale 1907.
Namun, Sneevliet tak betah berlama-lama kerja di Surabaya. Ia merasa menyia-nyiakan minat bakatnya saat tinggal di sana. Alhasil, Sneevliet pindah ke Semarang karena mendapatkan tawaran pekerjaan yang cukup menjanjikan. Kesibukannya mulai mencuri perhatian, Sneevliet lantas memperoleh hubungan hangat dengan pimpinan kongsi dagangnya.
Kota Semarang kala itu memiliki atmosfer liberal dibanding kota-kota besar lain di Pulau Jawa. Hal ini dikarenakan Semarang adalah pusat perdagangan kaum Eropa yang berharap dapat mengembangkan pasar di Jawa, dan sangat mendukung tujuan kebijakan Politik Etis yang akan meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia. (hlm. 33)
Mendapati kondisi yang demikian, Sneevliet tak ambil diam—selain bekerja di perusahaan dagang—ia bergabung dengan Vereeniging Spoor en Tramweg Personel (VSTP). Sebenarnya, kongsi dagang tidak mempermasalahkan sikap politiknya yang amat sosialis. Perusahaan itu hanya mewanti-wanti agar Sneevliet tidak terlibat aktivitas pengorganisiran revolusioner. Padahal, itulah yang tengah dia lakukan.
Sneevliet tertarik bergabung dengan VSTP lantaran serikat ini, yang pada masa itu didominasi orang-orang Eropa, terbuka bagi orang-orang Indonesia. Meskipun begitu, para pemimpin serikat ini bisa dikatakan sama sekali tidak bersuara untuk membantu anggota-anggota Bumiputera.
Sneevliet masih optimis dapat mengubah kondisi tersebut. Perlahan, prinsip Marxisme secara mendalam turut memengaruhi pendekatannya terhadap VSTP. Menurutnya, serikat buruh di Jawa harus benar-benar multirasial, bahkan bekerja demi kepentingan mayoritas buruh Indonesia yang berupah rendah.
Prosesnya di VSTP membuahkan hasil. Sneevliet makin didengar suaranya di dalam serikat. Di bawah pengaruhnya, VSTP akhirnya menjadikan pekerja Jawa sebagai fokus perjuangan dan mewakili kepentingan serikat. Bahkan, di Kongres 1914, tidak hanya serikat yang dijalani, melainkan menjadikan pemogokan sebagai senjata perang memperjuangkan buruh.
Jumlah anggota VSTP berkembang pesat, banyak kalangan Bumiputera turut bergabung dalam serikat tersebut. Akan tetapi, bagi Sneevliet usaha ini belum cukup untuk menciptakan masyarakat sosialis. Usaha menyadarkan rakyat akan ketertindasannya pun tidak akan maksimal bila hanya dilakukan melalui propaganda di dalam pertemuan dan media massa suatu serikat buruh.
Bagi Sneevliet, hanya melalui persatuan yang kuat dari pelbagai elemen tertindas, maka kaum pemodal dapat dihadapi dan dipaksa untuk menerima tuntutan-tuntutan rakyat dan buruh. Namun, rakyat dan buruh hanya dapat dipersatukan ketika mereka menyadari ketertindasannya. Selama mereka belum sadar, maka semua usaha akan gagal.
Demi terwujudnya cita-cita itu, sejak 1914 Sneevliet mulai sibuk mempelajari bahasa Melayu pasar dan bahasa Jawa untuk mengomunikasikan kepercayaannya kepada penduduk lokal. Yang paling penting, melalui inisiatif Sneevliet, terkumpul 60 anggota pada pertemuan yang membahas serikat baru di Surabaya 9 Mei 1914. Terbentuklah Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), yang kelak berganti nama menjadi PKI.
Tak butuh waktu lama bagi Sneevliet untuk menjadi lebih populer di kalangan Bumiputera. Ketika berorasi di pertemuan-pertemuan propaganda, dia senantiasa mengangkat isu yang menjadi perhatian kebanyakan buruh Bumiputera, yaitu penindasan dan penghisapan buruh oleh kapitalis. Dan lebih spesifik lagi, terkait kemiskinan orang-orang Jawa dan jutaan keuntungan perusahaan asing. (hlm. 43)
ISDV dengan ide radikalnya, masih belum memiliki pengaruh kuat. Pada saat terbentuknya serikat tersebut hingga beberapa waktu, jumlah anggota tidak bertambah secara signifikan. Fondasi gerakan, akhirnya mendapatkan momentum besar saat wartawan garda depan, Mas Marco Kartodikromo, dengan lantang menyerang pemerintah melalui surat kabar Doenia Bergerak.
Momentum tersebut membuat ISDV menjalin hubungan dengan Insulinde, yang di dalamnya terdapat tokoh seperti Tjipto Mangoenkoesoemo dan Douwes Dekker. Dua serikat tersebut mebangun aliansi untuk membela kasus Mas Marco pada isu kebebasan pers. Seiring berjalannya waktu, berbagai dinamika dan perbedaan pandangan terjadi. Aliansi tersebut tak bertahan lama. Pada kongres Juni 1916, ISDV memutuskan mengakhiri semua kerja sama politik dengan Insulinde.
Terputusnya hubungan politik tersebut tak membuat Sneevliet gusar. Justru di tahun yang sama, Sneevliet memperoleh keberuntungan. Yakni organisasi Sarekat Islam (SI) menjadi demikian besar. Sneevliet telah lama memikirkan SI untuk dijadikan pendamping yang kuat. Hasilnya, ia menarik anggota muda SI yang berbakat dan radikal untuk bergabung di ISDV.
Sejumlah nama berhasil ia temui di SI, seperti; Semaoen, Mohammad Joesoef, Soekarno, Alimin, Musso, Abikusno, dan Tjokroaminoto. Di sini kehebatan Sneevliet membimbing kader tak perlu diragukan. Bagaimana tidak, dua sosok kawakan seperti Semaoen dan Joesoef, secara sadar mengakui bahwa telah terkesima dan mencontoh langkah Sneevliet.
ISDV menjadi momok yang menakutkan bagi pemerintah karena pergerakan dan ide-ide radikalnya. Kemunculan Semaoen di panggung pergerakan misalnya, menunjukkan keberhasilan Sneevliet mencetak jenis baru pemimpin pergerakan. Pada saat yang sama, melabeli Sneevliet sebagai aktor penting dalam terbangunnya fondasi komunisme adalah suatu hal yang pantas.
Ingatan Mengenai Sneevliet
Lantaran tak henti nyocot lewat “Zegepraal”-nya dan membuat onar kekuasaan, sosok ini dibuang. Lantaran konfliknya dengan Semaoen, kadernya sendiri, nama Sneevliet dihapus dari PKI. Kehidupan Sneevliet di Hindia Belanda begitu kompleks. Kehadirannya mengancam sekaligus diancam, membela sekaligus dibela, hingga menentang dan ditentang.
Nama Sneevliet benar-benar dicoret dari daftar revolusioner Indonesia sejak konflik dengan PKI. Padahal, ia adalah seorang yang menginginkan dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, bahkan sebelum menginjakkan kakinya di Surabaya.
Sejak disingkirkan oleh PKI, jejak Sneevliet kian hilang dari sejarah pergerakan Indonesia. Dia hanya dianggap (sedikit) orang-orang Indonesia sebagai salah seorang pelopor komunis. Selebihnya, tidak. Sekalipun oleh orang-orang kiri yang pro gerakan kiri. PKI pasca-kemerdekaan bahkan tidak menganggap orang-orang Belanda itu sebagai pendiri partainya dahulu. (hlm. 244)
Barangkali PKI pasca-kemerdekaan memilih 1920 sebagai kelahiran “resmi”, sebab saat-saat sebelumnya pucuk kepemimpinan ISDV/PKI berada di tangan orang Belanda. Entahlah. Namun, jika benar begitu alasannya, maka PKI pasca-kemerdekaan memilih alasan itu karena terpengaruh euforia revolusi kemerdekaan yang cenderung nativistik. Menganggap semua hal berbau Barat, terutama Belanda, sebagai hal buruk dan perlu dibuang jauh-jauh.
Hal serupa terjadi pada ungkapan Soekarno dalam pidatonya di depan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) pada 1966. Di situ dengan jelas Soekarno menganggap Sneevliet adalah “elek-elek” tanpa menyebutkan “yang baik” dari Sneevliet. Soekarno memang tidak menjelaskan mengapa Sneevliet itu elek, tetapi yang paling mungkin penyebabnya adalah karena Sneevliet orang Belanda.
Semangat yang nativistik pasca-kemerdekaan itu, yang ingin memenuhi sejarah dengan peristiwa-peristiwa heroik dan kisah tentang pahlawan Bumiputera—tetapi tak jarang bersifat narsistik—berusaha dipertahankan dan digembar-gemborkan oleh Orde Baru.
Dalam hal ini, Orde Baru, pada batas tertentu, boleh dikatakan sukses dalam menciptakan, mengendalikan, dan mengkoordinasi kebenaran dan ingatan tentang masa lalu yang tidak bertentangan atau malah mendukung pemerintahan militernya. Di era Orde Baru, semua yang memiliki embel-embel komunis hanya berarti subversif, pembantai jenderal-jenderal Indonesia, anti-Tuhan, dan bahaya laten yang haram untuk dikenang. Dengan begitu, semua dinamika, kompleksitas, dan warna-warni pergerakan di Indonesia pada masa itu, secara praktis dilupakan begitu saja.
Sampai di sini, perlu dipahami pula bahwa, melebih-lebihkan sosok Sneevliet sebab keberhasilannya menumbuhkan benih sosialisme tanpa memperhitungkan faktor-faktor lain, juga merupakan hal yang keliru. Penindasan, rasisme, dan buruknya kondisi sosial-ekonomi yang diderita mayoritas Bumiputera, memudahkan rakyat menerima ide yang sosialistis, menyatakan bahwa penderitaan mereka disebabkan oleh penghisapan kapitalisme melalui pemerintahan kolonial. (hlm. 248)
Buku yang ditulis oleh Kalam Jauhari ini, berupaya mengembalikan ingatan kita pada seorang sosok tanpa keinginan melebih-lebihkan. Kita diajak melihat bagaimana perjalanan politik dan pengaruh Sneevliet dalam dunia pergerakan, serta tanggapan masyarakat dan pemerintah terhadapnya, juga tidak mengesampingkan keadaan-keadaan yang memengaruhi sepak terjangnya dalam gelanggang pergerakan politik di Indonesia.
Belanda, seperti kita kenal dalam buku sejarah versi tertentu, layaknya burung hitam di langit putih, aib yang perlu segera dilupakan. Belanda memanglah negara penjajah tanah air. Namun, tak mungkin rasanya melupakan peran mereka membangun ide yang radikal dan revolusioner. Sneevliet, sangat patut dikenal dan diperbincangkan. Seorang yang dengan tenang mengorganisir massa. Dengan ganas menulis surat kabar. Begitulah perangainya.[]
Naufal Zabidi, Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga
Editor: Ruhana Maysarotul Muwafaqoh