lpmrhetor.com – Dalam memperingati Hari Tani Nasional 2025, ratusan massa aksi yang tergabung dalam aliansi Gerakan Nasional Pendidikan (GNP) melakukan demonstrasi di Nol Kilometer Malioboro, Rabu (24/09/2025). GNP membawa lima belas poin tuntutan* untuk mendesak pemerintah yang telah merampas ruang hidup rakyat secara ugal-ugalan agar bertanggung jawab atas hak konstitusionalnya.
GNP menolak upaya penggusuran rakyat di Jogja dengan kedok warisan budaya (world heritage) yang ditetapkan oleh UNESCO. Seperti yang telah terjadi dari tahun ke tahun. Mulai dari penggusuran di Kulon Progo hingga PKL Malioboro. Menurut Zakwan, salah satu massa aksi, hal ini mencerminkan kegagalan suatu negara beserta pemda dalam menjalankan tugasnya untuk mensejahterakan rakyatnya.
Secara ekonomi, dampak dari penggusuran cukup jelas. Seperti yang dialami oleh PKL Malioboro pasca relokasi. Pendapatan mereka berkurang atau bahkan tidak ada.
“Secara tidak langsung, proyek penggusuran yang terjadi di sepanjang jalan Malioboro, dari Tugu sampai Panggung Krapyak, itu semua didanai atau dapat dukungan dari UNESCO itu sendiri. Akibatnya, parkiran Abu Bakar Ali dan para PKL digusur dari tempat mata pencahariannya sendiri tanpa adanya solusi yang berpihak pada mereka,” ujar Zakwan.
Menanggapi persoalan penggusuran, Vara selaku Humas Aksi GNP menyebut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan regulasi yang memperkuat kesultanan melalui klaim-klaim tanah Sultanaat Ground (SG) dan Pakualamanat Ground (PAG). Secara garis besar masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tidak memiliki hak atas tanahnya karena sudah diatur dalam UU keistimewaan tersebut.
“Logika penguasa, dia akan sepakat dengan kepentingan elit nasional dan elit global demi keuntungan kapital. Salah satu kasusnya Bandara Yogyakarta International Airport (YIA) di Kulon Progo. Sultan punya hak untuk penggusuran tanah petani atas klaim tanah milik sultan,” jelas Vara.
Hal inilah yang harus disoroti negara bahwa sesuatu yang dirawatnya menjadi semakin parah yaitu konsentrasi kepemilikan tanah.
Oleh karenanya, pada Hari Tani 2025, melalui Vara GNP berharap pemerintah mencabut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dalam program legislasi nasional. Karena UU tersebut menjadi tembok terakhir masyarakat miskin dalam mempertahankan tanahnya. GNP juga berharap agar negara mencabut SG/PAG serta UU keistimewaan yang menjadi legitimasi kuat dalam mempertahankan kekuasan tanah atas klaim tanah milik sultan.[]
(*) Berikut 15 poin tuntutan aksi tersebut.
- Cabut UUPA dari Prolegnas dan laksanakan reforma agraria beserta program penunjang.
- Hapuskan SG dan PAG serta Undang-undang Keistimewaan Tanah untuk rakyat.
- Tolak segala upaya penggusuran rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan kedok World Heritage UNESCO.
- Tolak food estate dan segala program PSN.
- Hentikan semua aktivitas industri ekstraktif yang merugikan rakyat.
- Tolak impor pertanian serta mewujudkan stabilitas harga komoditas pertanian.
- Cabut Undang-undang TNI dan kembalikan militer ke barak.
- Bebaskan seluruh massa aksi yang ditahan oleh Kepolisian Republik Indonesia tanpa proses hukum yang jelas.
- Sahkan RUU Perampasan Aset.
- Sahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
- Reformasi Kepolisian Republik Indonesia, copot Kapolri dan adili aparat pembunuh rakyat.
- Reformasi kebijakan fiskal yang berkeadilan, mensejahterakan rakyat dan terapkan pajak progresif untuk orang kaya.
- Bentuk Undang-undang Ketenagakerjaan yang baru tanpa Omnibus Law.
- Tolak efisiensi anggaran pendidikan, wujudkan pendidikan gratis, ilmiah, demokratis dan bervisi kerakyatan.
- Tarik militer dan hentikan seluruh kekerasan.
Reporter : Abdul Kadir
Editor : Ruhana Maysarotul Muwafaqoh