Ruang yang Berubah, Keyakinan yang Berganti

352

Suatu kebenaran pahit harus diketahui dan dihadapi. Hasrat manusia dalam dunia digital hanya akan berujung pada kepalsuan belaka. Dengan dunia digital, seseorang membikin skenario takdirnya sendiri dalam realitas semu, membagi hidupnya menjadi yang nyata dengan yang disunting. Persoalan ini yang menjadi narasi besar “Wajah Diri Terbelah” dalam pentas teater Tiga Bayangan yang diselenggarakan oleh Teater Eska di gelanggang mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Sabtu (09/09/2023).

“Kita membuat tim yang akhirnya mencapai kesepakatan untuk mengangkat tema digitalitas. Kita merasa kalau banyak yang ketergantungan dengan sesuatu yang bernama sosial media, gawai dan sebagainya,” ujar Khuluqul Karim, selaku salah satu penulis naskah.

Mengangkat “digitalitas profetik” sebagai tema, Teater Eska menyajikan 3 babak pertunjukan teater, yaitu “Hel: Os Des”, “Panta Rhei” dan “Wajah Diri Terbelah”. Teater Eska menganggap bahwa isu digital merupakan suatu problem penting yang dekat dengan kehidupan sehari-hari dan perlu untuk disuarakan.

Khuluq sebagai penulis naskah “Wajah Diri Terbelah” menuangkan pembacaannya mengenai kehidupan sosial yang semakin bergantung dengan gawai.

Pada naskah yang ia tulis, diperlihatkan manusia yang tidak bisa tidur karena kehilangan gawainya.

Khuluq sendiri mengaku bahwa perilaku tersebut tidak jauh dari kehidupan manusia di era digital ini, “Kehidupan digital itu, kita menganggapnya sebagai sebuah candu,” terangnya.

Selain meresahkan sulitnya lepas dengan gawai, Khuluq juga menarik problem kehidupan digital dengan masalah yang lebih kompleks,

“Bahkan manusia kehilangan diri sejatinya. Maksudnya kemudian dia terus-menerus menjadi anonim gitu lho! Kita semua anonim di hadapan gawai kita. Tak bernama! Kita selalu bisa menjadi siapa saja,” imbuhnya.

Dalam beberapa dialog “Wajah Diri Terbelah”, istilah “simulacra” beberapa kali diucapkan.  Hal ini menunjukkan bahwa Khuluq ingin mencoba menyinggung realitas semu yang dibangun manusia melalui konten di media sosial.

Simulacra merupakan suatu kebohongan berupa tanda, atau image yang dibangun seseorang yang memiliki sifat pada konten yang jauh dari realitas asli orang tersebut.

Seorang filsuf kontemporer asal Perancis, Jean Baudrillard, pernah menawarkan sebuah Istilah bernama “simulacra”. Istilah ini mengungkap hadirnya zaman baru, di mana dunia digital memiliki sifat viral dan endemik namun diliputi dengan kronik kehadiran yang mengkhawatirkan.

Di lain hal, Teater Eska menggunakan seni profetik sebagai landasan dalam mengemas teater ini. Tujuannya, untuk menemukan kesinambungan antara problem digital dengan dan melalui landasan Islam.

Sebagaimana yang digagas Kuntowijoyo, bahwa seni harus memiliki tiga unsur, yaitu humanisasi, liberasI, dan transendental, yang disebutnya Visi Profetik; yaitu tugas kenabian (prophetic) dan kemanusaan.

Pada pentas ini, salah satu sisi profetik yang menonjol adalah mengenai “keyakinan”. Hal ini secara langsung mempertanyakan keyakinan manusia pada Tuhannya. Sebab kehadiran dunia digital menggiring manusia untuk mengikuti arus realitas semu yang tak terbendung.

Pada akhirnya manusia menaruh keyakinan pada realitas semu tersebut, bahkan pada titik melupakan Tuhannya.

“Setiap orang bisa membicarakan digitalitas, tapi apakah semua orang juga membicarakan terkait profetiknya digital? Apakah semua orang membicarakan transendensinya digital?” Pungkas Khuluq. []

Reporter: Naufal Zabidi

Editor: Hifzha Aulia Azka

You may also like

Mahasiswa Menginginkan ‘Dialog Terbuka’ Bersama Bakal Calon Rektor

lpmrhetor.com –  Masa jabatan Al Makin sebagai Rektor