Akibat Kekerasan Budaya Orde Baru: PKI Dicap Iblis dan Rakyat Indonesia Alergi Komunisme

763
Ilustrasi/Alifia Maharani

Sepertinya rakyat Indonesia masih alergi terhadap ideologi komunisme. Menjelang 30 September setiap tahunnya – pasca peristiwa Gestok – ribut-ribut soal bangkitnya PKI muncul ke permukaan. Dengan memaparkan mitos-mitos yang tidak berdasarkan fakta ilmiah, mereka para pembenci PKI sekaligus ideologi komunisme berusaha untuk mengingatkan kembali rakyat Indonesia akan peristiwa penculikan dan pembunuhan tujuh jenderal Angkatan Darat yang terjadi pada 1 Oktober 1965 dini hari.

Tepat pada tanggal 30 September, setahun sebelum runtuhnya orde baru, pemerintah menganjurkan agar institusi-institusi pendidikan di seluruh Indonesia untuk memutarkan film hasil kolaborasi Nugroho Notosutanto (penulis naskah film dan Kepala Pusat Sejarah ABRI), G. Dwipayana (asisten pribadi Soeharto), dan Arifin C. Noer (sutradara) yang berjudul Pengkhianatan G30S/PKI.

Berkat film yang dianggap melakukan manipulasi sejarah, para siswa yang telah menonton film jelek tersebut menjadi benci kepada PKI dan komunisme. Memang, selain melakukan manipulasi sejarah, film itu juga menonjolkan sifat bengis kaum komunis tatkala menyiksa jendral-jendral. Pertunjukan kekejaman seorang putra bangsa yang komunis itu dalam film tersebut memberikan dampak psikologis yang sangat besar kepada siswa dan siswi sehingga menghasilkan rasa marah yang berkobar-kobar.

Untungnya, saya tidak hidup pada tahun 80-an. Saya tidak harus terus-terusan dipaksa oleh guru saya untuk menonton film buruk setiap tahun. Walaupun, pada saat ini juga TVOne masih menayangkan film berdurasi 4 jam 31 menit, saya tidak pernah menonton hingga akhir film karena selain membosankan, film itu juga memperkenalkan perilaku keji seorang manusia kepada saya. Saya membenci orang jahat. Dan mereka dengan teganya menstigma kaum komunis sebagai orang jahat.

Saat saya mengenyam pendidikan di pesantren, para ustaz memaksa para santrinya untuk menonton Pengkhianatan G30/S PKI. Pihak pesantren ternyata menggandeng tentara desa untuk menemani para santri ketika menonton. Seingat saya, ada sekitar lima prajurit tentara desa yang bersama-sama menyaksikan film jelek. Apa yang dilakukan oleh saya ketika film itu berjalan? Saya tidur. Sebelum saya tertidur, saya sesekali menonton secara serius dan pada akhirnya rasa kantuk menyerang. Ketika saya jatuh tidur, terdengar suara rentetan tembakan senjata yang memekakan telinga. Saya kaget. Bajingan, mereka mempercepat film itu kepada adegan ketika pengawal Cakrabirawa menembak beberapa jendral di rumahnya. Akhirnya, saya terjaga dan melanjutkan menonton. Sial.

Beberapa hari setelah acara indoktrinasi ideologi anti-komunisme yang diselenggarakan oleh pesantren saya dan didukung penuh oleh tentara desa usai, saya menemukan satu buku yang bikin saya kaget. Saya menemukan buku itu ketika saya sedang mengikuti kelas mata pelajaran komputer. Karena pengajar belum datang, saya iseng buka situs salah satu penerbit bernama Marjin Kiri. Saya melihat wajah sampul buku berwarna merah yang menampilkan seorang lelaki sedang berpidato. Terdapat tulisan Congress for Cultural Freedom pada wajah sampul buku tersebut. Buku itu mempunyai judul Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme melalui Sastra dan Film. Saya langsung tertarik karena ada kata “sastra” – saya menggemari sastra semenjak tahun pertama menjadi santri – dan kata “film” – beberapa hari yang lalu saya menonton film produksi rezim orde baru. Pas!

Sebenarnya, saya sempat membaca buku ini saat menjadi santri. Tepatnya pada tahun 2019. Tetapi, karena saya tidak sempat merampungkan buku ini, saya berkeinginan untuk membaca ulang hingga tamat pada tahun 2023. Buku ini tamat dibaca dan saya akan menuliskan hasil bacaan saya atas karya keren ini.

Buku karya Wijaya Herlambang ini ingin membuktikan bahwa rezim Orde Baru ingin membentuk wacana anti-komunisme dalam kehidupan bangsa Indonesia. Cara-cara yang ditempuh oleh para kroni Orde baru adalah dengan menuliskan sejarah peristiwa yang menewaskan ketujuh jenderal secara serampangan yang bertujuan untuk mengkambinghitamkan kaum komunis sebagai dalang di balik terjadinya peristiwa tersebut. Melalui sastra dan film, para budayawan anti-komunisme yang berpaham liberal menuliskan narasi-narasi yang menyerang kaum komunis dan menstigma kaum komunis sebagai manusia yang keji.

Buku ini jmembongkar karya-karya sastra seperti cerpen dan novel beserta film Pengkhianatan G30/S PKI ternyata memilik muatan ideologis yang melegitimasi pembantaian yang menimpa kaum komunis pada tahun 1965/1966 dan pada akhirnya membentuk wacana anti-komunis di Indonesia.

“Buku ini menyajikan sebuah analisis atas upaya pemerintahan Orde Baru beserta agen-agen kebudayaannya dalam memanfaatkan produk-produk budaya sebagai bagian dari strategi mereka untuk melegitimasi pembantaian 1965-1966” (hlm. 1)

Tentunya, usaha-usaha untuk menyingkirkan PKI dan ideologi komunisnya dari panggung sejarah Indonesia adalah dampak dari Perang Dingin antara Amerika dan Uni Soviet. Kejayaan PKI di Indonesia membikin berang Amerika. Terlebih presiden Soekarno cenderung mendekat kepada poros kiri. Hal itu yang membuat Amerika untuk segera menyingkirkan pengaruh komunisme di Indonesia dan segera menyusupkan ideologi liberalisme dalam bidang ekonomi, budaya, dan politik.

Karena buku ini lebih menyoroti pengaruh liberalisme terhadap budaya, Herlambang menunjukkan bukti-bukti yang kuat bahwa memang Amerika hendak menyusun satu senjata ideologis yang ampuh untuk menghancurkan pengaruh komunisme di seluruh dunia. Lembaga kebudayaan bentukan AS untuk mempromosikan liberalisme adalah Congress for Cultural Freedom yang mendapatkan guyuran dana dari CIA.

CCF menjalin hubungan yang mesra dengan simpatisan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang juga menginginkan hancurnya dominasi PKI. CCF berperan penting untuk “menciptakan lahan subur bagi kaum intelektual untuk merengkuh idealisme Amerika tentang “kebebasan” intelektual dan artistik (hlm. 69).

Ideologi khas Amerika ini nantinya yang akan menjadi kerangka dasar para seniman dan budayawan anti-komunisme dalam memproduksi karya sastra yang melegitimasi genosida 1965-1966 yang mengakibatkan pandangan masyarakat terhadap peristiwa itu sebagai hal yang normal dan alamiah.

Buku ini menampilkan contoh-contoh karya sastra yang melegitimasi kekerasan 1965-1966, seperti: Pada Titik Kulminasi karya Satyagraha Hoerip, Maka Sempurnalah Penderitaan Saya di Muka Bumi karya Zulidahlan, Perang dan Kemanusiaan karya Usamah, dan beberapa contoh karya sastra lainnya.

Menurut Herlambang, karya sastra yang telah disebutkan di atas memiliki dasar ideologis yang sama, yaitu: Humanisme Universal. Para sastrawan anti-komunis berusaha untuk memanipulasi sejarah dan menjungkirbalikkan makna humanisme itu sendiri. Hal utama yang ditonjolkan oleh para sastrawan ini adalah konflik psikologis si tokoh utama yang juga seorang yang juga seorang anti-komunis.

Dalam cerita pendek berjudul Pada Titik Kulminasi, Hoerip memaparkan cerita tentang seorang anti-komunis yang diberikan beban untuk membunuh iparnya yang setuju akan ide komunisme. Rasa dilema sekonyong-konyong menyerang si tokoh utama kita ini. Ia takut jika ia membunuh iparnya sendiri maka ia akan dibenci sanak keluarganya. Di sinilah konflik psikologis terjadi. Di dalam cerita itu jelas bahwa simpati pembaca akan mengarah kepada tokoh utama yang mengalami dilema, bukan kepada iparnya yang komunis yang hendak dibunuh itu. Walaupun pada akhirnya si tokoh utama tidak membunuh iparnya menggunakan tangannya sendiri, toh di akhir cerita iparnya tetap dibunuh oleh tentara.

“Hal-hal inilah yang menyebabkan bahwa sebenarnya karya-karya ini tidak pernah dimaksudkan untuk mengungkap kekerasan terhadap kaum komunis, namun sebaliknya justru untuk mengafirmasi dan mendukung pembantaian massal 1965-1966” (hlm. 135)

Keberhasilan Orde Baru dalam menormalisasi genosida 1965-1966 mencapai titik puncaknya ketika meluncurkan film Pengkhianatan G30/S PKI. Tentu media film lebih efisien untuk menanamkan wacana anti-komunis kepada rakyat Indonesia. Apalagi film ini ditujukkan kepada para siswa-siswi yang belum matang pemikirannya. Kalau boleh saya bilang, Pengkhianatan G30/S PKI adalah alat cuci otak yang ampuh agar bisa melanggengkan ideologi anti-komunis di Indonesia.

Herlambang memandang bahwa hal-hal yang dilakukan oleh Orde Baru beserta agen-agen kebudayaannya untuk melakukan legitimasi atas pembantaian 1965-1966 dan membentuk wacana anti-komunis adalah bentuk konkret dari kekerasan budaya. Definisi kekerasan budaya sendiri berasal dari esai yang ditulis Johan Galtung yang berjudul Cultural Violence.

“Di dalam esai ini Galtung menjelaskan bagaimana produk-produk budaya seperti ideologi, bahasa, agama, seni dan pengetahuan dapat digunakan untuk melegitimasi praktik kekerasan baik yang dilakukan secara langsung (fisik) maupun struktural (sistem sosial). (hlm. 35)

Maka, tak  perlu heran lagi mengapa rakyat Indonesia masih membenci ideologi komunisme hingga sekarang. Ketakutan akan bangkitnya PKI seperti menjadi ritual tahunan menjelang 30 September. Padahal hingga saat ini PKI tidak kunjung bangkit. Sebenarnya saya menunggu PKI bangkit. Hehehe. []

Penulis: Hifzha Aulia Azka

Editor: Naufal Zabidi

 

You may also like

Negara Lepas Tangan soal Pendidikan, Biaya Pendidikan Semakin Meningkat

lpmrhetor.com- “Alasan [biaya] UKT meningkat, dikarenakan dana APBN