
Mendatangi Yogyakarta pada Oktober 2021, sebagai pribadi yang masih bisa dibilang suci dan naif – aku mungkin sangat antusias juga sedikit kolot dengan kehidupan perkuliahan. Mengelilingi gedung kampus UIN Sunan Kalijaga, mempelajari setiap detail tempat, parkiran, gedung, anak tangga, hingga rak-rak buku.
Walau hawa pembelajaran dalam jaringan masih sangat kental, sedikit demi sedikit para staff, juga dosen dan tendik kampus mulai menunjukkan semangatnya. Perlahan tapi pasti, pedagang kaki lima yang biasanya berjualan di sekitar UIN Sunan Kalijaga juga mulai mendapat embun segar, merangkak naik lagi, menampakkan batang hidungnya, ikut menyambut mahasiswa dengan hajat yang harusnya mulia: perkuliahan tatap muka.
Termasuk pedagang siomay ‘legend’ yang menarik perhatianku sore itu (16/02). Tukianto nama beliau, usianya 40 tahun. Sempat sungkan juga memanggil beliau ‘pak’ karena sungguh, dimataku beliau tampak berumur 28 tahun, binar matanya terus menyala, bersamaan dengan ceritanya yang mengalir.
Dari ceritanya, ternyata Tukianto sempat bekerja di Bandung sebagai buruh pabrik. Selama di Bandung, untuk mengisi waktu senggangnya, ia belajar membuat siomay dan meracik bumbu yang enak dan pas. Hingga akhirnya di tahun 2012 hati Tukianto mantap membuka usaha dagang siomay sendiri, ditempat asalnya, daerah Gunung Kidul.
Membuka usaha, masih pemula pula, tentu bukanlah hal yang mudah. Untuk beberapa saat yang lama, siomay dagangannya tidak begitu laku dikampung halamannya sendiri. Tukianto merasa harus mencoba berpindah, hijrah, mencari peruntungan baru di kota, kota Yogyakarta.
Begitu sampai di kota, ia masih menjadi pedagang kaki lima keliling. Pergi dari satu pangkalan ke pangkalan lain, dari satu komplek ke komplek lain, hingga ia tertarik untuk mangkal di pinggiran jalan, tepat di depan gerbang kampus timur UIN Sunan Kalijaga, di sana juga ada beberapa pedagang kaki lima lain yang dengan senang hati menyambut Tukianto.
Namun, untuk bisa berjualan di depan Gedung Multi Purpose (MP) Tukianto dan pedagang lainnya harus mengantongi izin dari pihak UIN. Menurut Tukianto dalam proses perizinan dagang lumayan ribet dan ketat. Ia menambahkan, peran KMPD (Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi) dan LPM Arena sangatlah membantu, mereka menjadi penyambung lidah bagi Tukianto juga kawan-kawan pedagang lainnya.
“Untung saja dibolehin, asal enggak di pinggir jalan gini mbak, karena bikin macet, disuruh di dalam, disuruh jaga kebersihan, banyak lah pokoknya,” imbuhnya.
Berjualan di spot tersebut memang meraup untung banyak, dibandingkan dengan tempat-tempat lain, terutama ketika sebelum pandemi Covid-19.
“Dulu saya awalnya enggak disini. Di dalem, di parkiran MP situ,” jelas Tukianto.
Semilir angin sore itu menenangkan terik yang aku rasakan. Agak bingung juga sebenarnya, kenapa sekarang pak Tukianto tampak leluasa berjualan dipinggiran jalan ini?
“Dulu kami berempat. Ada yang jualan es kopi, es cincau, lutis buah, sedangkan saya sendiri, siomay. Karena covid kan, hancur semuanya. Di dalam kampus nggga ada orang toh, kampus juga ditutup. Untuk bertahan, ya jualannya di luar. Kalau temen-temen yang lain, ada yang kadang jualan, kadang enggak, saya ya bertahan disini. Berapapun dapetnya, saya tetap disini,” jelas Tukianto, lugas, dan dapat kudengar nada penuh kepasrahan yang harus tetap dibalut oleh kecintaannya terhadap pekerjaan sendiri. Juga tuntutan hidup.
Covid-19 memang mewabah dengan cepat kala itu dan setiap kelas masyarakat, tentu merasakan dampaknya. Terutama mereka dengan ekonomi menengah ke bawah, rasanya hidup dari ke hari hanya dapat mengharap keberuntungan. Keberuntungan yang sayangnya, sedikit banyak, ditentukan oleh pemerintah dengan corak kapitalistik.
“Ya sebelum pandemi lumayan lah ya dapetnya. Cuma sekarang, mentok-mentok empat ratus ribu, dengan modal tiga ratus ribu. Dulu malah waktu pendemi enggak balik modal. Belanja tiga ratus, dapetnya cuma seratus. Kalo kayak gitu ya saya akalinnya belanja bahan, buat dua hari,”
Tukianto menguraikan, banyak sekali kemalangan yang ia dapat selama pandemi. Sepi pembeli, tak dapat untung, bahkan merugi. Mendengar penuturan darinya, aku dapat membayangkan bagaimana sulitnya hidup di awal-awal pandemi merebak, hingga suatu ketika, Tukianto tertimpa musibah, celaka ditabrak mobil dengan pengemudi yang tak tahu diri.
Sebagai korban tabrak lari, Tukianto hampir putus asa melihat gerobaknya ditabrak sampai rusak hampir terbelah dua, sebagian dagangan siomay-nya tampak tumpah di jalanan. Untung sekali, pada saat itu, banyak saksi yang melihat dan sempat mengejar si penabrak.
Penabrak pun mau memberikan uang ganti rugi, juga yang luar biasanya, banyak mahasiswa yang tergerak hatinya untuk menggalang dana. Dikoordinir oleh dosen dari FEBI, pula. Sungguh beruntung!
Pelanggan setia Tukianto memang tak terhitung. Pembeli juga datang silih berganti, selama sesi ngobrolku dengannya, ada sekitar sembilan orang yang datang dan memesan. Semua satpam sudah kenal, dosen-dosen juga banyak yang berlangganan, dan wow bahkan ada yang semenjak semester satu hingga lulus dan menjadi dosen di UIN, masih menjaga komunikasi dengan Tukianto.
Fakta ini sedikit membuka pandanganku, memang relasi bisa tumbuh dimana saja. Bahwa setiap jiwa dan sisi masyarakat mempunyai ceritanya sendiri-sendiri yang unik, juga terkadang berbahaya.
Obrolan santai kami sore itu ditutup dengan aku membeli seporsi siomay, dengan harga lima ribu.
“Kalau sudah, saya mau sholat ashar dulu mbak, abis itu tak langsung pulang aja,” ujar Tukianto.
Entah omzet hari ini sudah tercapai apa belum, atau mungkin ada urusan mendadak, Tukianto pamit undur diri. Kulihat ia mendorong gerobaknya, tidak dengan susah payah, tapi setiap langkahnya sarat dengan pengharapan. Atas hidup, yang semoga saja, terus membaik. Amin!
Penulis: Clarissa, Jurnalis LPM Rhetor dan Mahasiswa FEBI, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Editor: Lutfiana Rizqi S