“…jadi dulu itu dikejar-kejar sama security gak boleh jualan. Bapak masuk lagi terus keluar lagi, seperti mainan bola pingpong.”
lpmrhetor.com- Para PKL (Pedagang Kaki Lima) di kampus timur UIN Sunan Kalijaga sudah tak pernah terlihat beberapa bulan terakhir. Mereka tak lagi diberikan tempat berjualan oleh kampus lewat teguran yang dilayangkan pada Jumat, 30 September 2022. Teguran tersebut disampaikan oleh satpam berupa larangan berjualan di area parkir Gedung Prof. Amin Abdullah (Multi Purpose) dengan alasan mengganggu ketertiban dan keindahan.
Para pekerja di sektor informal itu kembali diselimuti rasa khawatir. Mereka mengingat masa-masa awal mengais rezeki di kampus putih ini. Sejak dulu, pedagang kaki lima di UIN sering keluar masuk kampus dikejar satpam sebab tidak memperoleh izin berjualan. Hal itu dirasakan salah satunya oleh Bagyo, pedagang es cincau yang biasa mangkal di depan MP. Ia adalah PKL pertama yang memulai jualan di UIN sejak 2010.
“Bapak yang jualan pertama kali di sini. Jadi dulu belum terorganisasi atau belum ada grup. Dulu itu perangnya sama security [satpam]. Jadi dulu itu dikejar-kejar sama security gak boleh jualan. Bapak masuk lagi terus keluar lagi, seperti mainan bola pingpong,” ujar Bagyo.
Walau keadaan saat itu tidak ramah, Bagyo tetap memaksa berjualan di area kampus. Ia tak punya banyak pilihan. Keluarganya butuh makan.
Bersamaan dengan Bagyo, ada beberapa pedagang lain yang juga ikut berjualan di sekitar kampus. Salah satunya Tukiyanto yang berjualan siomay dengan gerobak khas warna coklatnya. Tukiyanto juga mengalami hal serupa dengan Bagyo, pernah diusir atas nama ketertiban dan keindahan.
“Pernah dua kali. Pertama depan MP [Multi Perpose] di bawah beringin itu. Kemudian dipindah lagi ke parkiran MP. Terus sekarang di jalan arah GOR [Gelanggang Olahraga UIN Sunan Kalijaga],” ungkap Bagyo.
Perjuangan PKL dari Masa ke Masa
Para pedagang kaki lima tak pernah meminta apa-apa ke kampus. Mereka hanya ingin bisa berjualan dengan tenang dan aman. Namun ternyata hal ini tak pernah sederhana. Keinginan mereka untuk bisa berjualan dengan tenang tak lebih dari mimpi di siang bolong.
Mereka yang berjualan hanya untuk mencari penghidupan, sejak dulu terus dianggap sebagai parasit yang mengganggu tubuh elok kampus. Perjuangan PKL untuk mendapatkan kehidupan yang layak terhalang oleh sebuah kebijakan.
Sejak 2012, para PKL membentuk paguyuban untuk bisa memperoleh izin berjualan. Paguyuban tersebut diinisiasi oleh Broto yang merupakan mahasiswa penjual es kencur bersama tujuh pedagang lain . Broto juga bagian dari organisasi Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi (KMPD).
Paguyuban PKL itu dinamai Kawulo Alit Sukijo. Nama yang terkesan lekat sekali dengan UIN Sunan Kalijaga yang kerap disingkat UIN Sukijo.
Selain digunakan untuk berserikat, paguyuban Kawulo Alit Sukijo juga menjadi ruang untuk pedagang kaki lima saling berkomunikasi dan bersilaturahim.
“Terbentuknya setelah adanya audiensi itu, masih banyak PKL yang tercecer akhirnya punya organisasi yang pertama untuk silaturahmi, komunikasi dan disiplin. Dibentuk tahun 2012 dengan nama Paguyuban Kawulo Alit Sukijo,” jelas Broto saat diwawancarai via WhatsApp.
Setelah melewati berbagai macam perjuangan, akhirnya mereka disahkan menjadi bagian dari UIN Sunan Kalijaga di tahun 2012 dengan penandatanganan surat izin berjualan tanpa ada batas waktu. Hasil tersebut sekaligus memberi ketenangan para pedagang untuk menghidupi anak dan istrinya. Bagyo, PKL yang dianggap sudah lama berjualan diamanatkan sebagai ketua dan memegang surat izin itu.

Beberapa tahun berlalu, mereka tertib menjalankan kesepakatan yang telah ditandatangani bersama pada surat izin itu. Namun, kini ketenangan yang para PKL rasakan direnggut kembali oleh pihak kampus. Tepatnya pada Jumat 30 September 2022, satpam dengan motor trail plat merahnya, menegur para PKL untuk tidak berjualan di kampus atas dasar instruksi bagian ketertiban dan keamanan universitas.
Siang itu, menjelang adzan sholat Jumat berkumandang, Tukiyanto dan kawan-kawan PKL lain sibuk membereskan barang-barang dagangannya. Ia tengah membereskan piring yang dilumuri sambal kacang sambil memastikan garpu dan sendoknya tidak tertinggal.
Saat terjadi pelarangan berjualan, kebetulan Bagyo sedang tidak berada di lokasi. Pemegang surat izin berjualan itu datang setelah para PKL mendapatkan teguran. Maka, Teguran itu meluncur tepat ke Tukiyanto yang berjualan mengenakan seragam PKL UIN SUNAN KALIJAGA. Ia memang rutin menggunakan baju itu.
Atas teguran tersebut, Tukiyanto langsung membantah berbekal surat penandatangan izin berjualan beberapa tahun lalu. Namun, satpam atas instruksi pimpinan berkata lain. “Formasi kampus telah berubah dan surat tersebut tidak berpengaruh apa-apa. Karena beda pimpinan beda kebijakan,” ucapnya.
Peristiwa hari itu sama sekali tidak diinginkan oleh Tukiyanto dan kawan-kawan. Jumat yang berkah seperti berbalik arah. Dagangan yang sudah disiapkan untuk berjualan, terpaksa dibawa kembali ke rumah.
Begitu mendapatkan kabar pelarangan dari Tukiyanto, Bagyo langsung menyambung komunikasi dengan Broto, yang saat ini sudah berada di kampung halamannya di Cilacap. Broto lalu berkomunikasi dengan Wisnu, ketua KMPD sekarang, dan menyampaikan masalah yang sedang dihadapi para PKL.
Tak butuh banyak waktu. Mendengar hal itu, Wisnu bersama teman-temannya langsung menghampiri para PKL untuk melakukan lobi dengan rektorat.
Tiga hari berikutnya, 03 Oktober 2022 para pedagang kaki lima didampingi KMPD, melakukan audiensi dengan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat Pengembangan Bisnis (PPB). Audiensi itu tak membuahkan hasil yang berarti, karena UPT PPB tak mempunyai wewenang untuk membuat keputusan.
Izin berjualan yang dibutuhkan pedagang baru bisa keluar setelah diputuskan tiga lembaga, yaitu UPT PPB, bagian Keamanan dan Ketertiban, dan Biro Administrasi Umum dan Keuangan (AUK).
Tanggal 07 Oktober 2022, pedagang bersama KMPD kembali melakukan audiensi di ruang rapat lantai 1 Pusat Administrasi Umum. Kali ini, UPT PPB tak sendiri. Kepala Biro AUK, Kasubbag Ketertiban dan Keamanan, dan perwakilan satpam turut hadir dalam audiensi.
Audiensi tersebut menyepakati bahwa PKL bisa berjualan kembali di kampus dengan lokasi yang berbeda. Yaitu di lembah turunan yang tidak jauh dari Gedung Student Center.
“Hasil kesepakatannya boleh berjualan di bagian timur turunan, dan pembayaran retribusi yang tidak merugikan salah satu pihak,” ujar Wisnu selaku ketua KMPD.

Setelah berjalan beberapa hari, para PKL kembali mendapatkan teguran, kali ini dari Administrasi Akademik, Kemahasiswaan dan Kerja-sama (AAKK). Sekitar pukul 16:00 WIB satpam kembali menegur PKL dan mengatakan bahwa lingkungan kampus harus steril dari PKL.
“Setelah beres audiensi dengan pihak rektorat, masalah baru muncul dari BIRO AAKK. Waktu itu saya pulang lebih awal, Pak Arifin yang jualan bakso itu dapet teguran kalo di area sini harus steril dari PKL”
Dengan begitu para pedagang masih belum dapat berjualan dengan tenang. Mereka masih menerima teguran dan pengusiran dengan alasan tidak ada surat. Surat yang dimaksud adalah surat hasil audiensi tanggal 07 Oktober. Jalur untuk mendapatkan izin tersebut terus ditempuh.
Selang beberapa waktu, persyaratan yang harus ada telah rampung. PKL telah mengirimkan nama anggota paguyuban berikut dengan jenis dagangan. Namun sampai sekarang surat tersebut belum juga dikeluarkan. Para PKL di UIN masih berjuang untuk mendapatkan kesempatan berjualan.
Para pedagang sudah melakukan segala hal untuk bisa berjualan di UIN, mulai dari audiensi, bersolidaritas, dan melakukan lobi hingga menuruti permintaan dari kampus untuk melengkapi administrasi.
Kini kehidupan mereka mulai terancam akibat larangan tersebut. Buntut dari semua itu para pedagang harus meraba-raba jenis pekerjaan ataupun tempat berjualan baru. Namun, mencari pekerjaan atau mencari lokasi yang strategis bukanlah hal yang mudah. Bagi mereka ini bukanlah kekalahan, mereka masih memperjuangkan agar bisa berjualan kembali di area kampus.
Saat ini Tukiyanto berjualan di luar kampus. Ia harus memarkirkan grobak siomaynya di tepi jalan Timoho dekat halte Trans Jogja. Lain cerita dengan Bagyo penjual es cincau, ia beralih menjadi kuli dan supir tembak. Arifin bahkan tidak lagi berjualan bakso kuah, ia hanya berjualan mainan anak-anak di hari sabtu dan minggu. Sedangkan Tarwanto yang berjualan buah pulang kampung untuk membesuk istrinya.
UIN Sebaiknya Menerapkan Ekonomi Kerakyatan
Menanggapi silang sengkarut masalah yang dihadapi pedagang kaki lima, Abdul Qoyyum, Kaprodi Ekonomi Syariah menilai bahwa kampus sudah seharusnya menerapkan konsep ekonomi kerakyatan. Qoyyum mengatakan konsep ekonomi kerakyatan merupakan amanat Undang-Undang dan spirit bernegara kita.
“Saya kira kampus UIN Suka, maupun kampus secara umum, ya, suka tidak suka memang harusnya menjadi salah satu promotor dalam mengimplementasikan konsep-konsep ekonomi kerakyatan. Karena ekonomi kerakyatan itu sistem ekonomi yang menjadi spirit bernegara kita,” ujar Qoyyum.
Dr. Revrisond Baswir dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada menjelaskan bahwa sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang demokratis dan berkeadilan yang mendorong keikutsertaan rakyat banyak sebagai pemilik modal dan pengendali jalannya roda perekonomian. Maka tujuan ekonomi kerakyatan untuk membebaskan rakyat dari penindasan para oligarki pemilik modal, menjadikan rakyat sebagai subjek perekonomian.
Pada Sistem Ekonomi Kerakyatan, masyarakatlah yang memegang aktif dalam kegiatan ekonomi, sedangkan pemerintah menciptakan iklim yang sehat bagi pertumbuhan dan perkembangan dunia usaha.
Menurut Arini Nurmala Sari, sebagaimana dikutip Wahyu Bhudianto dalam makalahnya, sistem Ekonomi Kerakyatan mempunyai ciri-ciri berikut. Pertama, bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan sehat; kedua, memperhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai keadilan, kepentingan sosial ,dan kualitas hidup; ketiga, mampu mewujudkan pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan; keempat, menjamin kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja; dan kelima, adanya perlindungan hak-hak konsumen dan perlakuan yang adil bagi seluruh rakyat.
Sejalan dengan hal itu sistem ekonomi kerakyatan berfungsi untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam kepemilikan modal, mengendalikan jalannya roda perekonomian, dan meningkatkan kegotongroyongan dalam penyelenggaraan perekonomian. Itu diatur dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan konsep ekonomi kerakyatan, lanjut Qoyyum, tujuan bisnis di kampus tidak hanya terfokus pada profit, tapi kesejahteraan masyarakat secara umum. Lebih lanjut ia menambahkan, perlu ada kolaborasi yang sinergis antar pihak terkait sehingga memberikan kemungkinan konsep itu bisa dijalankan.
“Jadi tujuan bisnis sekarang itu bukan hanya pure profit oriented, tapi juga ada aspek sosial bahkan aspek lingkungan. Jadi bagaimana UIN Suka ini memberikan dampak yang nyata terhadap pelestarian lingkungan, kemudian ekonomi masyarakat sekitar,” lanjutnya.
Ia juga menegaskan bahwa ekonomi kerakyatan bukan tanpa aturan. Karena dalam hal ini kampus bukan sebagai pasar, maka aturan itu ditujukan untuk mengatur jalannya bisnis di kampus yang sesuai dan tidak memberatkan PKL.
“Menurut saya estetika itu penting. Ekonomi kerakyatan itu bukan kemudian terus tanpa aturan juga. Karena kita visinya UIN untuk bangsa ya, saya kira cari harga yang reasonable. UIN juga spiritnya untuk kebangsaan. Dicarikan harga yang seefisien mungkin. Tidak memberatkan mereka dan bisa mengcover biaya perawatan,” imbuh Qoyyum.
Ia meyakini bahwa UIN memiliki spirit membantu dan memudahkan para PKL. Namun, yang belum nampak adalah kebijakan nyatanya. Bagi Qoyyum, jika sudah diperbolehkan berjualan dan PKL menyepakati uang sewa, para PKL harus ditempatkan di lokasi yang bagus dan aksesibel.
“Jika mereka mau ditempatkan saya kira [tempatnya, red] harus bagus, kemudian aksesibel juga enak gitu. Kemudian uang sewanya juga masuk akal sesuai dengan potensi market yang mereka punya. Kalo semisal disemrawutkan gak elok juga,” pungkas Qoyyum. []
Reporter : M. Jia Ulhaq
Editor : Muhammad Rizki Yusrial