Malu Punya Rektor Al Makin

3240
Sumber foto: kpi.go.id

Sebagai mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, saya malu punya Rektor seperti Al Makin

Menjelang akhir masa jabatannya sebagai rektor UIN Sunan Kalijaga, tindakan Al Makin semakin ugal-ugalan. Ia baru saja melarang forum diskusi bertajuk “Festival Keadilan” yang rencananya diselenggarakan di lapangan tenis kampus pada Ahad malam, 10 Desember 2023. Pelarangan ini kembali menunjukkan wajah Rektor Al Makin yang anti demokrasi sekaligus menambah daftar panjang pemberangusan kebebasan akademik di UIN Sunan Kalijaga.

Dalam tangkapan layar berisi pesan WhatsApp yang beredar, Al Makin menginstruksikan kepala Pusat Pengembangan Bisnis kampus untuk membatalkan diskusi dengan alasan diskusi tersebut adalah acara politik dan “seluruh acara politik gak boleh” diselenggarakan di kampus. “Bahaya,” katanya. 

Saya tidak mengerti apa yang dimaksud “bahaya” dalam pikiran Al Makin. Apakah dia takut dapat intervensi dari pihak lain yang membenci bibit-bibit perlawanan di kampus? Entahlah…

Lagipula, apa yang mau diharapkan dari seorang rektor yang juga bagian dari perangkat negara? Berharap dia progresif dan berpihak kepada mahasiswa? Oh my god, saya lebih percaya Billie Eilish orang Nganjuk!

Kepada tempo, Bivitri Susanti yang merupakan salah satu pembicara dalam acara tersebut, mengatakan, pelarangan terhadap acara yang mendatangkan aktivis dan intelektual yang kerap mengkritik pemerintah, serupa dengan situasi yang terjadi semasa orde baru. 

Di masa orde baru, Mendikbud Daoed Joesoef mengeluarkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Kebijakan ini dibentuk untuk membersihkan kampus dari segala macam aktivitas politik di masa pemerintahan diktator Soeharto.

Menurut Daoed Joesoef, mahasiswa tak seharusnya berpolitik di lingkungan kampus. Kewajiban mahasiswa di kampus hanyalah belajar, belajar dan belajar. Nantinya, berkat NKK/BKK juga Dewan Mahasiswa di seluruh universitas dibubarkan dan terjadilah proyek depolitiasi mahasiswa besar-besaran.

Bivitri, yang juga dosen hukum tata negara di Sekolah Tinggi Hukum Jentera itu menjelaskan, pelarangan diskusi di kampus kerap terjadi karena pemerintah sering mengintervensi birokrasi kampus, salah satunya, dengan cara menelpon pihak kampus untuk segera membatalkan diskusi yang mengkritik kinerja pemerintah. Seorang anak (UIN Sunan Kalijaga) tidak boleh membangkang perintah orang tua (pemerintah). Bisa-bisa dikutuk menjadi batu seperti Malin Kundang.

Pada akhirnya, acara yang digagas organisasi Social Movement Institute ini terpaksa pindah ke kedai Bento Kopi Godean. Dalam forum tersebut, hadir Fatia-Haris, Rocky Gerung, Bivitri Susanti, Muhammad Isnur, Eko Prasetyo, beserta musisi Kepal SPI dan Farida Music.

Di tengah forum, Fatia Maulidiyanti, mantan Koordinator KontraS, merespons ulah Al Makin dengan melabelinya sebagai oligarki kecil. Wah, Al Makin semakin mirip saja dengan Jokowi. 

Mengapa saya bisa katakan Al Makin mirip Jokowi? Jokowi juga berulah sebelum lengser. Ia membangun dinasti politik dengan memilih Gibran untuk dicalonkan sebagai  wakil presiden dengan cara mengobrak-abrik konstitusi.

Memang, tindakan Al Makin mencekal diskusi publik tidak sebombastis tindakan Jokowi membangun mengobrak-abrik konstitusi. Tapi, perintah pencekalan dari Al Makin turut memperburuk kondisi demokrasi di UIN Sunan Kalijaga. Mahasiswa dilarang menuntut ilmu di luar bangku perkuliahan. Mahasiswa dilarang mengkritisi kaum elite yang tidak pro-rakyat.

Kondisi demokrasi UIN Sunan Kalijaga di masa Rezim Al Makin

Al Makin menjabat sebagai rektor UIN Sunan Kalijaga periode 2020-2024. Pada saat dia menjabat, terdapat beberapa kasus pemanggilan mahasiswa yang mengkritik kebijakan kampus oleh pihak rektorat atau dekanat. Selain pemanggilan, masih segar di ingatan kita, pelaksanaan Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) tahun 2022 dibubarkan secara sepihak oleh pihak rektorat dengan alasan kelewat konyol. Katanya, pertimbangan membubarkan PBAK ia peroleh setelah  salat Istikarah.

Sebelum saya memaparkan kondisi demokrasi di kampus yang kalian cintai itu, ternyata rektor satu ini pernah menulis tentang demokrasi. Dalam artikelnya yang berjudul Adakah Demokrasi di Islam?, Al Makin berusaha untuk mencari akar terbentuknya konsep demokrasi dalam Islam. Ia memaparkan juga bentuk usaha para cendekiawan Muslim dalam merumuskan konsep demokrasi yang sesuai dengan Al-quran dan Hadis.

Para cendekiawan Muslim itu berupaya mendefinisikan demokrasi dengan membaca Al-quran dan Hadis secara tekun dan meneliti keseharian masyarakat Madinah di bawah kepimpinan Muhammad SAW. Pada akhirnya, mereka menemukan nilai-nilai demokrasi dalam Islam: keadilan, musyawarah, kesejahteraan rakyat, perdamaian, hak-hak manusia, dan kebebasan warga. Hmmm…. Kebebasan warga.

Di akhir artikelnya Al Makin membandingkan kondisi demokrasi di beberapa negara. Ia menulis kondisi demokrasi di Indonesia lebih buruk ketimbang Malaysia, dan kondisi demokrasi di Indonesia masih lebih baik daripada negara-negara di Afrika, Asia Tengah dan Timur Tengah. Dengan acuan itu, ia menutup artikel dengan kalimat yang menggelitik: “Indonesia cukup menggembirakan, bukan?”

Saya menyarankan Al Makin agar membaca survei dari Indikator Politik Indonesia, The Economist Intellegence Unit atau sering-seringlah buka Google. Agaknya tak sulit untuk melihat bahwa kondisi demokrasi di Indonesia era Jokowi tidak cukup menggembirakan seperti yang Anda pikir. 

Al Makin terlalu fokus memikirkan kondisi demokrasi di belahan dunia lain sampai lupa bahwa kondisi demokrasi di lingkup kekuasaannya semakin buruk saja. Kita bisa mengeceknya dengan menengok liputan dari Lembaga Pers Mahasiswa Rhetor dan Arena mengenai bentuk pelanggaran demokrasi yang terjadi pada masa rezim Al Makin.

Pada tahun 2021, Ainun, seorang mahasiswi pascasarjana, mengkritik kinerja beberapa dosen saat kampus masih memberlakukan pembelajaran daring. Kritik itu ia sampaikan di Facebook. Ia mengatakan banyak dosen yang seenaknya mengubah jadwal hingga membebani mahasiswa untuk berlangganan akun YouTube miliknya.

Ternyata, postingan tersebut menuai respons negatif dari beberapa dosen. Bahkan, Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam (FUPI), Inayah Rohmaniyah, menelpon diri Ainun dan mencecarnya banyak pertanyaan, seperti: “kamu ngomong apa di Facebook?, kamu maunya apa?, dan pertanyaan lainnya yang menyudutkan Ainun. Inayah juga mengatakan tindakan mahasiswi itu “ngejatuhin UIN, secara enggak langsung ngejelek-jelekin UIN”.

Kejadian serupa juga dialami Anam, mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam. Saat itu ia perlu mendapatkan tanda tangan Wakil Dekan bidang akademik untuk keperluan administrasi beasiswa Djarum. Ia mendatangi ruang Tata Usaha hingga dua kali. Tapi, Wakil Dekan sedang berada di luar kota. Sementara Anam tidak punya waktu lagi untuk menunggu. Akhirnya ia dinyatakan tidak lolos.

Anam geram. Ia mengungkapkan kekesalannya di status WhatsApp. Tak lama, tangkapan layar statusnya menyebar luas dan sampai di dosen. Berikutnya, Anam dipanggil pihak dekanat.

Pihak dekanat mengecap Anam sebagai mahasiswa yang tidak sopan. Padahal, Anam hanya ingin menumpahkan kekesalannya karena peristiwa itu menggagalkan langkahnya mendaftar beasiswa.

Setahun setelahnya, ada kasus pemanggilan terhadap Putri, wartawan LPM Rhetor, oleh pihak dekanat Fakultas Dakwah dan Komunikasi karena meliput aksi demonstrasi mahasiswa baru pada PBAK 2022. Pajar Hatma Indrajaya, Wakil Dekan III FDK, menyuruh Putri dan kawan-kawan untuk memberitakan hal baik tentang kampus. Ia juga meminta LPM Rhetor agar menurunkan video liputannya.

Pajar mendapatkan instruksi langsung dari Abdur Rozaki, Wakil Rektor III, yang melihat video liputan LPM Rhetor. Rozaki menganggap, video itu bisa mencemari “nama baik kampus”.

Ketua Dema UIN dan ketua komisariat PMII UIN juga turut mendapatkan tekanan dari pihak kampus. Orang tua mereka dipanggil pihak rektorat atas dugaan keterlibatan mereka dalam aksi PBAK 2022. Tapi, surat itu sarat akan kejanggalan. Mereka menduga rektorat ingin memberi mereka tekanan mental.

Berdasarkan beberapa peristiwa di atas, dapat dilihat bahwa kampus sedang melancarkan praktik politik bahasa penguasa. Menurut Lewuk (dalam Anshori, 2008) terdapat empat kategori ideologi kebahasaan penguasa: bahasa berdimensi satu, orwelianisme bahasa, jaringan bahasa takut-takut, dan bahasa menyembunyikan pikiran. Saya ingin membaca sedikit statement kampus dalam kasus di atas menggunakan empat kategori yang dirumuskan Lewuk.

Misalnya perkataan Inayah kepada Ainun: “Kamu ngomong apa di Facebook? Ini sekarang nama kamu jadi obrolan di rektorat pasca. Kamu ini kok ngejatuhin UIN, kamu secara enggak langsung ini ngejelek-jelekin UIN lho, nduk. Kamu maunya apa? Kamu enggak menghargai kita yang akreditasi. Ini nama baikmu dicoret ini di pasca,”

Inayah menuturkan bahasa berdimensi satu. Seorang penutur menyatakan sikap atau pernyataan yang sama (satu) dengan kemauan penguasa. Kalimat “kamu ini kok ngejatuhin UIN” adalah bentuk kesepakatan bersama penguasa (pihak rektorat). Inayah hanya menyampaikan ulang. Lalu, pada kalimat “kamu enggak menghargai kita yang akreditasi. Ini nama baikmu dicoret ini di pasca”, Inayah melakukan labelling kepada Ainun dengan label “mahasiswa tanpa nama baik”. Menurut Lewuk, perkataan Inayah termasuk kategori bahasa takut-takut.

Pada zaman orde baru, Suharto menyebut orang-orang pembenci proyek pembangunan a la orba dengan label “anti-pembangunan” atau “anti-Pancasila”. Apakah UIN Sunan Kalijaga kesurupan orba sehingga menyebut para mahasiswa yang kritis dengan label “anti-nama-baik-kampus”, “anti-akreditasi”, atau sekalian “anti-UIN Sunan Kalijaga”?

Teruslah mengganggu Rezim Al-Makin

Syarif Maulana, dosen filsafat Universitas Parahyangan, pernah menulis artikel berjudul Tiga Tesis tentang Orang-orang Menyebalkan. Menurutnya, filsafat, kapitalisme, dan demokrasi melahirkan orang-orang menyebalkan. Mari perhatikan tesis ketiga dari tulisan Syarif: demokrasi melahirkan orang-orang menyebalkan.

Argumen Syarif didasarkan pada pemikiran Chantal Mouffe, Ernesto Laclau dan Jacques Rancière tentang demokrasi radikal. Dalam pemikiran demokrasi radikal Rancière, demokrasi bukanlah mencari kesepahaman, melainkan justru ketidaksepahaman atau dissensus

Demokrasi radikal bertujuan untuk menampakkan segala perbedaan. Menurut Syarif, konsekuensi dari demokrasi radikal adalah memunculkan orang-orang menyebalkan, yang akan terus bersuara dan berusaha agar suara mereka didengar oleh banyak orang. Maka dari itu, definisi politik menurut Rancière adalah “perselisihan antara pihak-pihak yang berbicara”.

Jika Al Makin takut “politik” masuk kampus, sebenarnya dialah pencipta iklim “politis” di kampus. Ia telah berbicara  acara “Festival Keadilan” adalah acara “politik” yang “bahaya”. Al Makin memicu banyak pihak untuk berbicara, salah satunya saya. Saya dan Al Makin tidak sepaham mengenai acara “Festival Keadilan”. Menurut saya, dan barangkali teman-teman, acara ini adalah wadah bagi anak muda untuk menyalurkan pemikiran-pemikiran kritisnya yang mungkin diberangus di tempat lain, salah satunya kampus.

Terjadi ketidaksepahaman antara saya dengan Al Makin. Saya di mata Al Makin mungkin makhluk yang menyebalkan. Tapi, dalam kerangka pemikiran demokrasi radikal Rancière, orang-orang seperti saya harus diterima karena bagaimanapun saya adalah bagian dari demokrasi. Wajar saja jika saya berbicara berdasarkan pikiran saya sendiri.

Rancière merumuskan konsep “yang lain” (the other). Ada empat hal yang berkaitan dengan “yang lain”: mereka yang tidak memiliki kepentingan dalam tatanan sosial dominan, mereka yang keberadaannya akan merusak stabilitas tatanan sosial dominan, mereka yang tidak mampu untuk berbicara dan mereka yang belum termasuk dalam tatanan sosial dominan.

“Yang lain” berusaha untuk, dalam istilah Rancière, memverifikasi kesetaraan dalam tatanan sosial dominan. Mereka bertekad untuk menampakkan diri. Tidak ada lagi perlakuan diskriminatif terhadap mereka. Lalu, Rancière memunculkan satu konsep lagi, yaitu demos. Demos adalah mereka yang paham dirinya hidup dalam tatatan sosial dominan dan ingin terverifikasi kesetaraannya. Demokrasi menurut pandangan Rancière adalah proses dialog terus-menerus antara tatanan sosial dominan dan demos. Hal ini bersifat politis.

Dialog yang diharapkan Rancière tampak sangat sulit dilakukan. Al Makin saat ini sedang ngamen di Jakarta. Ia didapuk sebagai panelis debat Pilpres 2024 dengan tema hukum, HAM, dan korupsi. Kalau ia sedang berada di Jogja, ia sibuk ngoceh soal kondisi demokrasi di planet Mars, Merkurius, atau ia sedang mempersiapkan naskah tentang konsep demokrasi a la masyarakat Matahari (bukan nama pusat perbelanjaan). Begitu sulit berdialog dengan Al-Makin.

Jika jalur dialog pun susah untuk ditempuh, bolehlah kita melalui jalur mengganggu. Kita harus tetap berbicara. Lantangkan! Ciptakanlah kondisi berisik bagi penguasa. Jika Al-Makin bebal dan memilih untuk menjadi penguasa ugal-ugalan, berbicaralah lebih nyaring. Suara pada hakikatnya tidak bisa diredam, karena di sana bersemayam kemerdekaan. Berisiklah! Ganggulah Al Makin.

Hifzha Aulia Azka, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang malu punya Rektor seperti Al Makin

Editor: M. Hasbi Kamil

You may also like

Gerakan Sosial Islam pada Masa Kolonialisme

Gerakan kolonialisme Belanda di Indonesia adalah ekspansi kapitalisme;