Simposium Pendidikan: Mungkinkah Pendidikan Gratis?

345
Foto/ Naufal Zabidi

Pendidikan gratis telah menjadi wacana yang umum dan belum juga menemui titik terang. Salah satu penyebabnya adalah pemerintah tidak memiliki kehendak dalam mewujudkan pendidikan gratis tersebut. Dengan latar belakang itu, Aliansi Pendidikan Gratis (APATIS) menggelar simposium yang bertajuk “Simposium Pendidikan: Darurat Biaya Pendidikan di Yogyakarta” di kantor aula ISDB UNY, Kamis (01/08/2023).

“Masalah pendidikan ini intragenerasi dan makin tidak tercapai, butuh tabungan selama 17 tahun untuk biaya pendidikan,” terang Bima Yudhistira, direktur Center Of Eonomic and Law Studies (CELIOS).

Berdasarkan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), salah satunya mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka ditulis pula sebuah ketentuan dalam Pasal 31 ayat (1) UUD 1945, berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”

Dapat dimengerti bahwa landasan yuridis tersebut menerangkan bahwa seluruh masyarakat berhak memiliki akses pendidikan. Karena pendidikan merupakan hak asasi manusia, maka sudah menjadi kewajiban negara untuk menghormati dan memenuhi hak sosial dan ekonomi masyarakat, yakni dengan mengadakan aturan pendidikan gratis.

Pada kenyataannya, UU Sisdiknas dan UU Pendidikan Tinggi masih mewajibkan peserta didik menanggung biaya pendidikan. Bahkan, tidak jarang masyarakat mengeluh akibat kewajiban membayar pendidikan tersebut. Survei biaya kuliah mahasiswa Yogyakarta yang dirilis oleh Project Multatuli menemukan bahwa sebanyak 74,22 persen responden merasa biaya kuliah dapat mempengaruhi kondisi fisik dan mental mereka.

Selain aturan wajib membayar, tingginya nominal biaya pendidikan juga menjadi problem yang tak kalah penting. Biaya kuliah jurusan Kedokteran di UII Yogyakarta minimum mengeluarkan Rp316,6 juta dan total maksimum Rp391,6 juta. Di Fakultas Pendidikan Kedokteran UGM mengeluarkan biaya sebesar Rp24,7 juta pada kategori UKT Pendidikan Unggul. Pengeluaran ini belum termasuk pungutan lain dan biaya hidup sehari-hari.

Hasil riset Litbang Kompas pada tahun 2022 lalu, menyebutkan biaya kuliah diprediksi akan naik 6,03 persen per tahunnya. Dengan artian, tingginya nominal biaya yang dikeluarkanuntuk pendidikan berpotensi memburuk tiap tahunnya. Litbang Kompas juga menyebutkan, “Hasil menabung selama 18 tahun pun tak akan cukup untuk menutup biaya kuliah dari semester pertama hingga semester delapan”.

Masalah-masalah tersebut akan menemui titik terang bila pemerintah menerapkan aturan pendidikan gratis yang sudah semestinya menjadi hak asasi manusia. Caranya, dengan mengalokasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menggratiskan pendidikan. Negara seringkali berdalih bahwa hambatan keuangan negara menjadi penyebab kemungkinan itu terjadi, namun dalih ini dapat dilawan dengan bukti tingginya anggaran belanja dan angka korupsi.

Center of Economic and Law Studies (CELIOS) pernah mengemukakan pada 2020, bahwa dana yang dibutuhkan untuk menggratiskan UKT seluruh mahasiswa di PTN dan PTS adalah Rp64,3 triliun, atau paling besar Rp95,5 triliun. Angka tersebut dikatakan kecil dibanding dengan laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), bahwa kerugian negara karena korupsi berjumlah Rp42,7 triliun di tahun 2022 dan sebesar Rp62,9 triliun di tahun 2021.

“Uangnya ada tapi salah alokasi, banyak kementerian yang boros pembiayaan. Di Chile itu gratis karena dihubungkan antara pajak orang kaya bagi penggratisan pendidikan. Tapi tidak mungkin dalam kondisi kebijakan politik pembiayaan yang terjadi saat ini,” imbuh Bima.

Di samping permasalahan di atas, ketiadaan rancangan dan rencana pemerintah dalam membangun potensi sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi melalui pendidikan juga menjadi penyebab pendidikan masih berbayar. Padahal, banyak riset yang mengatakan bahwa naiknya kualitas pendidikan akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi.

Qi, dkk. dalam risetnya menjelaskan tentang analisis empiris atas implikasi pendidikan tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi di Tiongkok. Risetnya menemukan bahwa semakin banyak tenaga kerja lulusan perguruan tinggi mendorong pertumbuhan ekonomi.

“Mungkin ada yang khawatir bahwa kebijakan pendidikan gratis akan membuat anggaran negara menjadi boros, tidak efisien. Di satu sisi, iya, tentu aturan pendidikan gratis akan memerlukan belanja negara dalam jumlah besar. Akan tetapi belanja itu akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi pula pada gilirannya,” pungkas Bima. []

Reporter: Naufal Zabidi

Editor: Ruhana Maysarotul Muwafaqoh

You may also like

Mahasiswa Menginginkan ‘Dialog Terbuka’ Bersama Bakal Calon Rektor

lpmrhetor.com –  Masa jabatan Al Makin sebagai Rektor