Lihatkah? Aku pucat pasi Sembilu hisapi jemari Setiap ku peluk dan Menangisi hijau pucatnya cemara Yang sedih aku letih Dengarkah? Jantungku menyerah terbelah di tanah yang merah Gelisah dan hanya suka bertanya pada musim kering Melemah dan melemah Hujan, hujan jangan marah (Efek Rumah Kaca, Hujan Jangan Marah)
Siapa tak rindu hujan?
Beberapa saat lalu, ia membuat gelisah manusia. Ia juga nampak marah, hingga baru menyapa bumi di awal November ini, pun sekarang belum menyapa lagi.
Saya akui, sebagai orang yang tinggal di Kalimantan dengan air yang melimpah, lagu Efek Rumah Kaca itu hanyalah sambil lalu. Namun, sejak dua tahun ini ketika saya menginjakkan kaki di tanah Jawa, lagu itu mengalun dengan makna yang dalam.
Berlarilah ke Gunung Kidul, kalau kau tak percaya betapa susah air itu didapat. Itu hanya contoh kecil. Kekurangan air di Pulau Jawa bahkan sudah menjadi jajanan di setiap tahunnya. Tak sedikit pula media yang memberitakan kekeringan di mana-mana.
Air yang menjadi sumber kehidupan tiba-tiba tidak menghidupi, aduh tentu miris sekali. Ya, meskipun bukan berarti air telah berubah menjadi batu, tetapi jumlahnya masih kurang untuk mencukupi setiap kepala.
Bukankah bumi dipenuhi dengan air?
Bumi memiliki lebih banyak air daripada daratan, bahkan 2/3 dari permukaan bumi adalah air. Namun, 97 persennya berupa air laut. Tentu saja berupa air asin yang tidak bisa digunakan untuk kehidupan sehari-hari. Hanya tiga (3) persen sisanya yang merupakan air tawar, itupun sebagian besar ada di kutub.
Lantas berapa jumlah air yang sebenarnya bisa dipakai? Ya, hanya sekitar 0.7 persen. Jumlah tersebut merupakan air tanah.
Dari mana air tanah ini berasal?
Kita mengenal siklus hidrologi. Setiap harinya air laut akan menguap, uap naik menjadi awan, awan bertemu dengan temperatur yang lebih rendah, lalu mengembun, kemudian titik-titik embun yang sudah terakumulasi ditarik oleh gravitasi bumi, dan terjadilah hujan.
Air hujan sebagian mengalir dipermukaan bumi melalui sungai dan lain sebagainya. Sebagian yang lain terserap oleh tanah dan batuan lalu menjadi air tanah.
Siklus hidrologi ini memang berulang dari waktu ke waktu, meskipun ada berbagai pergeseran waktu dan intensitasnya, jumlah air tanah secara total tetaplah sama: 0.7 persen.
Secara teori, jika melihat siklus tersebut, air tanah tidak akan habis. Namun, kenapa pemerintah dengan lancangnya menyebut Pulau Jawa akan kehilangan sumber air bersih pada tahun 2040?
Faktor Krisis Air di Pulau Jawa
Indonesia merupakan salah satu negara dengan sumber daya air terkaya karena menyimpan enam (6) persen potensi air dunia. Sumber air di Indonesia yang melimpah juga tercantum dalam laporan badan kerja sama lintas negara, Water Environment Partnership in Asia (WEPA).
Lalu kenapa bisa Pulau Jawa yang menjadi sorotan?
Pulau Jawa merupakan salah satu pulau besar di Indonesia. Meskipun demikian, Pulau Jawa tetap lebih kecil jika dibandingkan dengan Pulau Kalimantan dan Sumatra. Permasalahannya adalah pulau yang tidak terlalu besar itu ditempati lebih lebih dari 50 persen penduduk Indonesia.
Kepadatan penduduk di Pulau Jawa terus saja meningkat, sementara volume air bernilai tetap. Ketidakseimbangan antara sumber daya dan kebutuhan itulah yang kemudian melatarbelakangi krisis air.
“Krisis air terjadi, saat kebutuhan atas sumber daya ini lebih tinggi dibanding tingkat ketersediaannya,” kata peneliti senior di Pusat Geoteknologi LIPI, Rachmat Fajar Lubis, dilansir dari bbc.com.
Eksploitasi air yang berlebihan turut memperparah keadaan. Tak hanya itu, tingginya urbanisasi di Pulau Jawa yang berdampak pada pembangunan juga membuat daerah resapan air berkurang secara signifikan. Bangunan, jalan, dan infrastruktur fisik lainnya mempercepat air kembali ke laut serta mengurangi cadangan air tanah.
Geografis dan geologis
Bisakah kita memanfaatkan perbedaan karakteristik wilayah untuk membantu tempat lain yang sedang dilanda kekeringan? Kondisi geografis dan geologis yang berbeda pasti akan menentukan perbedaan intensitas kekeringan yang terjadi. Lantas, apakah hal itu bisa dimanfaatkan?
Seperti yang kita ketahui bahwa kedalaman air di setiap wilayah, khususnya di Pulau Jawa berbeda-beda. Dataran tinggi dan dataran rendah jelaslah tak sama.
Hakikatnya, air mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah. Kenyataan tersebut membuat wilayah di dataran tinggi jauh lebih sulit mendapatkan air bersih atau air tanah dan lebih mudah mengalami kekeringan.
Contohnya saja di Parangtritis, kita hanya perlu menggali tiga (3) meter untuk menemukan air bersih. Sedangkan di Pakem, kita perlu tenaga ekstra, bahkan perlu menggali 30 meter hingga air itu terlihat mata.
Meskipun demikian, bukan berarti air yang berada di hilir bisa dieksploitasi. Pakar Hidrogeologi, Prof. Dr. Ir. Sari Bahagiarti Kusumayudha , M.Sc., juga melarang tindakan pengambilan air di wilayah hilir secara berlebihan.
“Air bersih yang ada di pantai itu jangan diambil secara berlebihan. Kalau diambil secara berlebihan nanti air laut yang akan menggantikannya. Kita kenal dengan interuksi air laut.” Tuturnya, dalam acara Green Corner 3 yang diadakan Greenpeace Youth Yogyakarta, Jum’at (15/11/2019).
Lalu upaya apa yang bisa kita lakukan guna mencegah krisis air?
Kekeringan adalah bencana alam. Pencegahannya dapat dilakukan dengan melakukan efisiensi penggunaan air dan membuat sumur-sumur atau penampungan air. ‘
Namun, realitanya tidak semudah itu. Upaya untuk mencegah krisis air, terdapat banyak tantangan, seperti: pembangunan infrastruktur, urbanisasi, pencemaran air, perubahan iklim alih fungsi lahan, dan kegiatan pertanian.
Pada tahun 2018 lalu, pemerintah telah membangun sebanyak 65 bendungan, beberapa di antaranya berada di Pulau Jawa. Satu hal yang bisa kita sepakati bersama adalah bendungan atau waduk itu berguna untuk meng-collect air hujan dan dapat mengganti air tanah.
Namun, apakah itu cukup? Saya rasa tidak. Curah hujan di Pulau jawa tidak meningkat, justru mengalami penurunan. Heru Santoso seorang peneliti senior di Pusat Geoteknologi bahkan telah menyebut bahwa curah hujan di Jawa cenderung terus berkurang sekitar 3 persen.
Dengan demikian, yang harus ditingkatkan adalah pengoptimal sumber air yang telah ada. Sumber air juga perlu dikelola dengan baik agar tidak terjadi pencemaran dan eksploitasi. Memiliki cadangan air sangatlah penting dan bisa menjadi buffer jika musim kemarau itu tiba.
Air tidaklah menyangkut satu aspek. Banyak aspek yang membutuhkan air. Menurut saya hal pertama dan paling sederhana yang bisa kita lakukan untuk mencegah krisis air ini adalah mandi sewajarnya.
Salam.
Eko Wahyudi, Anggota Magang LPM Rhetor, Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga.