Tiada suara apalagi heboh, Pemilwa tahun ini terdengar sayup seperti bisikan.
Pekan lalu, telah diumumkan empat partai yang akan berkontestasi di Pemilwa. Artinya pesta demokrasi yang ditunggu semakin dekat. Ada yang menunggunya demi memilih pemimpin, ada juga yang tidak sabar meledeki ritus tahunan tersebut atau bahkan tidak peduli. Namun, terbesit juga sekelumit angan mahasiswa pada pemimpin yang kompeten, bertanggung jawab dan kriteria lainnya yang perlu dipenuhi seorang pemimpin.
Dalam ajang pemilihan yang dijalani tiap tahun, saya mengamati beberapa tren yang terus terulang. Tren tersebut muncul dan terbagi dua sisi, yakni, ‘para pencari kekuasaan’ dan ‘para korban kekuasaan’. Melalui pengamatan yang bisa dibaca dalam kurun waktu tiga menit ini, saya membagikan tentang tren-tren yang muncul saat Pemilwa.
Coba tebak, apa saja gestur mas-mas penguasa ini saat Pemilwa? Pasti kalian menerka-nerka dengan jawaban foto berpeci, tangan kiri mengepal dan lain-lain. Itu memang benar, tapi saya lebih menyoroti sejumlah kata-kata bijak di sekitar foto tersebut.
Layaknya setiap orang yang mencalonkan diri sebagai penguasa, kata bijak memang selalu menjadi ciri khas untuk menarik hati para audiens. Sebut saja di akun instagram @dppprmuinsk, ada seuntai kalimat manis yang mengundang saya untuk melepas tawa.
“Tidak penting selambat apa kamu berjalan, asalkan terus melakukan pergerakan.” Ya bukannya gimana-gimana, mungkin yang dimaksud ‘pergerakan’ oleh mas atau mbak ini yaitu bergerak ke toilet karena kebelet, atau mungkin bergerak ke Warmindo untuk makan.
Saya merasa yang dimaksud ‘pergerakan’ ini entah ke mana arahnya. Sebab, selama ini pergerakan yang saya lihat, ya sekedar seminar-seminar untuk beberapa orang yang memang membutuhkannya. Partai yang mengeluarkan kalimat itupun –bersama partai-partai lain- setelah pagelaran Pemilwa selesai, juga tak tau di mana rimbanya.
Kemudian, jika munculnya tren dari ‘para pencari kekuasaan’ bersifat promosi atau persuasif, berbeda dengan tren yang terjadi di sisi ‘korban kekuasaan’. Tren ini berupa kalimat singkat yang multitafsir dan ambigu untuk dijelaskan, yakni kalimat “sebelum-sebelumnya.”
Nah, saya merasa kalimat tersebut muncul dari dua sebab. Pertama, demi melanjutkan kiprah dan perjuangan pemimpin sebelum-sebelumnya, mahasiswa punya harapan penuh pada pemimpin yang akan terpilih. Dalam konteks ini mahasiswa tidak membanding-bandingkan dengan tanpa alasan.
Bentuk presiden mahasiswa yang ideal hanya bersifat utopis. Kemungkinan ini sekaligus menjadi prasangka yang kedua, bahwa mahasiswa sama sekali tidak membayangkan hal indah pada pemimpin yang akan datang. Hal ini disebabkan pemimpin yang terpilih tidak bisa menyalurkan kepentingan mahasiswa, sehingga kalimat “sebelum-sebelumnya” akan berevolusi menjadi “percuma memilih pemimpin kalau sama seperti sebelum-sebelumnya.”
Saya sebagai mahasiswa low-class tidak mendapatkan apapun semasa jabatan mas-mas high-class ini pada periode lalu. Meskipun dalam visi-misinya tercantum janji “memfasilitasi mahasiswa untuk meningkatkan dan mengembangkan intelektual dan skill secara inklusif” tapi secara realita perkembangan intelektual terlihat sangat terbatas ruang dan waktu. Untuk itu saya sarankan kalimat “percuma memilih pemimpin kalau seperti sebelum-sebelumnya.”
Bentuk ideal mungkin bisa ditangkap ketika tingkat keinginan sesuai dengan tingkat usaha yang dilakukan. Meskipun sifatnya utopis—bayangan tentang tempat indah, tapi tak mungkin tergapai—setidaknya pemaksimalan usaha dapat memberi secercah harapan mengenai bentuk ideal tersebut. Masalahnya ketika usaha tersebut disebut minim, bahkan tidak ada. Agaknya berlebihan jika menuntut orang lain menganggap kepimimpinan periode ini berjalan baik.
Tren Ghosting Kritik
Perlu diketahui, taburan kritik mahasiswa terhadap laju Pemilwa maupun kedudukan para pemimpin—dari tingkat prodi hingga kampus—sudah lama diungkapkan. Entah memang acuh, atau tidak paham, saya lebih cenderung menganggap bahasa mahasiswa terlalu tinggi. Jadi, perlu juga mahasiswa menurunkan IQ 2 level ke bawah demi menyesuaikan pemahaman mereka.
Karena kepo, saya mencoba merangkum kritikan-kritikan tersebut, dari kritik sederhana di kolom komentar di IG, hingga hasil liputan yang ditelisik Pers Mahasiswa (Persma) di UIN. Kolom komentar di IG, misal, ada seorang mahasiswa yang memberanikan diri menyentil postingan di IG @sema_uinyk dengan frasa ‘nepotisme’.
Sekelumit kata ini terucap karena praktik nepotisme yang berkelindan sepanjang Pemilwa berjalan. Alih-alih memberikan argumen, akun tersebut sekedar memberi beberapa kalimat dan emoticon tertawa.
Bau busuk nepotisme sempat tercium lpmrhetor di edisi Pemilwa tahun lalu. Ada sederet pejabat Dema terpilih menjadi anggota Panwaslu. Artinya, Panwaslu berpotensi memberikan keuntungan kepada calon presiden yang pernah menjadi ‘saudaranya’. Sebab, Panwaslu punya peran penting dalam pelaksanaan Pemilwa ini. Hal ini melengkapi kolom kritik yang diberikan Persma di setiap jalannya Pemilwa.
Satu-satunya alasan praktik tersebut tetap dijalankan adalah karena tidak ada regulasi yang mengatur hal itu. Cukup politis, tapi menelanjangi ranah intelektual yang selalu menjadi misi saat kampanye Pemilwa. “Menciptakan mahasiswa yang berintelektual blablablabla fafifu wasweswos…” padahal minim penerapan. Sebagai contohnya, dalam perkara ini berfikir saya tidak mau.
Boleh dan tibak boleh hanya dipandang melalui regulasi semata. Padahal harusnya, mereka dan kita semua bisa berfikir bahwa pejabat yang mau diganti tidak etis bila turut campur terhadap proses pergantiannya. Yakali wakilnya Pak Ganjar jadi petugas KPU. Hanya karena Sema luput tidak memasukkan hal tersebut dalam Undang-Undang Pemilwa, praktik semacam tadi sah-sah saja dilakukan. Nalar kritisnya mana!?
Lebih jauh lagi kita mendalami, lebih jauh juga kita kecewa. Lembaga Pers Mahasiswa yang aktif di UIN, seperti LPM Rhetor dan Arena—kalau boleh meminjam lirik lagu Ida Layla—“sudah berulang-ulang kali” menegur kalangan elite mahasiswa tersebut. Kemudian, layaknya sepasang kekasih yang LDR, teguran tersebut berujung dighosting.
Namanya juga sedang LDR. Ada proses-proses dalam upaya peng-ghostingan tersebut. Jika langsung ditinggalkan kang ghosting takut aibnya tersebar. Untuk itu ada sekelumit tanggapan dari ‘chat’ yang selama ini terpendam, seperti pada catatan kaki lpmarena.com yang berjudul “Bantahan Terhadap LPM Arena dalam Menilai UU Pemilwa”. Artikel itu ibarat kepanikan seorang kekasih yang disebarkan aibnya oleh sang ‘mantan’.
Kalau dipikir-pikir, apakah mereka mempraktikkan gagasan Niccolo Machiavelli, bahwa “pemimpin yang ditakuti lebih baik dibanding yang disayangi.” Sebab, semakin kesini suara mahasiswa tak terdengar di telinganya. Yah, cukuplah, itu hanya lamunan tabu saya.
Kami sangat menyayangkan siklus-siklus seperti ini. Ada baiknya pembaca memperhitungkan pilihannya sebelum masuk bilik suara. Saya sendiri tidak bisa mempromosikan golput. Tapi kalau mau, ya boleh-boleh saja. Yang terpenting Anda mau memahami kondisi Pemilwa dan para pemimpin ini.
Dari sini bisa kita ambil konklusi? Tentu belum. Tulisan ini hanya pendahuluan sekaligus teguran bagi kita semua menjelang berjalannya Pemilwa. Konklusi bisa diambil jika kalimat-kalimat receh ini betul-betul dipikirkan. Sehingga, tidak terdengar lagi kalimat “sebelum-sebelumnya” yang pada dasarnya bentuk kritik bagi para pemegang jabatan terdahulu.
Terakhir, menurut nenek moyang saya “Kabeh tugas kuwi gampang, yen ora dilakoni” (Semua pekerjaan itu mudah, kalau tidak dikerjakan). Selamat menikmati kontestasi Pemilwa di tahun ini. []
Moh Naufal Zabidi, Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Editor: Muhammad Rizki Yusrial