Judul : Pendidikan Kaum Tertindas / Pedagogy of the Oppressed (Judul Asli)
Penerbit : Pusaka LP3ES Indonesia
Penulis : Paulo Freire
Tebal : xxxvii + 221 Halaman
Cetakan : Ketujuh, Oktober 2021
ISBN : 978-979-3330-70-9
Dilema untuk hadir atau absen kala mendekati jadwal mata kuliah kerap kali membawaku pada kegiatan menimbang-nimbang. Mengapa aku harus menghadiri kelas? Apa yang sebenarnya aku cari di kelas? Dan apa yang harus aku bawa ke kelas? Agak ragu sebetulnya ketika menyebut “kegiatan menimbang-nimbang” di awal kalimat, karena apapun hasil pertimbangan tersebut, baik pergi ke kampus atau diam di kamar, aku selalu dipentokkan dengan sebuah realita yang memaksaku mau tidak mau pergi ke kampus.
Realita ini hadir dalam bentuk yang kesannya sederhana. Namun, dapat mengakibatkan mahasiswa masuk pada jurang yang dalam. Yaitu larangan mengikuti UAS bagi mereka yang akumulasi kehadirannya tidak tercukupi. Ini menjadi tidak sesederhana kesannya ketika diketahui bahwa tanpa ada nilai UAS yang tinggi, nilai Indeks Prestasi (IP) akan menjadi rendah.
Rendahnya nilai IP mengakibatkan jumlah kredit mata kuliah, melalui sistem SKS tidak bisa masuk dalam sistem. Dampaknya, tanpa pendapatan SKS yang sesuai permintaan, mahasiswa tidak dapat diluluskan. Hingga tragisnya, bila terus-terusa mengulang untuk memenuhi kredit tersebut, mahasiswa terancam dikeluarkan (Drop Out).
Hadir yang “mau tidak mau” ini selanjutnya membawa mahasiswa untuk mengecap pengetahuan yang “mau tidak mau” juga harus ditelan. Ini tentu tidak lahir begitu saja. Dikotomi kegiatan guru-murid dan keterpisahan mereka dari realitas yang disebut Freire sebagai banking concept of education (pendidikan gaya bank) membuat kelas tidak menantang dan sepi akan dialog. Akibatnya, kelas tak ubahnya seperti suasana waktu khutbah sholat Jumat, banyak para jamaah yang menguap dan tertidur pulas diiringi suara monolog penceramah.
Situasi kelas yang tidak melibatkan mahasiswa sebagai subjek bersama dengan dosen dalam mengkritisi dan memproduksi ilmu pengetahuan ini mengotori cita-cita luhur pendidikan. Sebagai contoh, termaktub dalam Statuta UIN Sunan Kalijaga di pasal 5 poin c bahwa salah satu tujuan universitas adalah menghasilkan sarjana yang menghargai dan menjiwai nilai-nilai keilmuan dan kemanusiaan.
Nilai-nilai keilmuan dan kemanusiaan seperti apa yang diharapkan dari kelas yang memaksa mahasiswanya untuk masuk ke kelas dan secara fatalis menerima bulat-bulat apa yang disampaikan dosen?
Freire tidak menerima begitu saja. Baginya, tugas utama pendidikan adalah mengantarkan murid menjadi subjek. Artinya, guru yang bertugas sebagai fasilitator harus terlibat bersama murid dalam mengkritisi dan memproduksi ilmu pengetahuan. Bukan semata memandang murid sebagai bejana kosong yang perlu diisi. Dalam hubungan ini, refleksi sejati pun terwujud, di mana dunia tidak “mengada” sebagai entitas yang terpisah dari manusia.
The Banking Concept of Education
Fakta bahwa model pendidikan tertentu dapat menjadi roda penggerak humanisasi. Model Pendidikan yang lain dapat menjadi meriam penghancur humanisasi. Ditunjang realitas latar belakang kehidupan dan perjuangan yang mengalami ketertindasan, Freire yakin bahwa pendidikan seharusnya berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan.
Freire melihat hal yang menjadi pembeda antara manusia dengan binatang adalah sikap meragu (sikap skeptis). Sikap ini adalah bukti konkret dari akal manusia yang berfungsi. Manusia yang tak memiliki sikap ini dipastikan sedang terancam kemanusiaannya. Gejala ini membawa Freire pada sebuah pertanyaan besar, apa, siapa atau di mana dehumanisasi besar-besaran ini bermula?
Tampak sekilas tidak ada masalah dalam relasi guru-murid sebagai subjek-objek. Guru mengisi bejana kosong murid, seperti yang umum terjadi bahkan di taraf sekelas perguruan tinggi di Indonesia. Namun Freire memandang model pendidikan seperti ini membuat dosen dan mahasiswa, tanpa mereka sadari, tidak memahami bahwa pengetahuan yang mereka tanamkan itu bersifat kontradiksi dengan realitas.
Pendekatan gaya bank dalam pendidikan tidak menyarankan kepada mahasiswa untuk melihat realitas secara kritis. Hasilnya, pendekatan gaya bank ini mengalihkan manusia dari fitrah ontologis mereka sebagai manusia seutuhnya menjadi benda terkendali. Di sini lah dehumanisai terjadi.
Ciri utama dari pendidikan gaya bank adalah tiadanya dialog, sebuah gejala manusiawi, yang tercipta di kelas. Hal-hal yang menggerakkan dialog, berupa cinta, kerendahan hati, kepercayaan terhadap sesama, harapan, dan pemikiran kritis, seperti tidak ada. Ketiadaan dialog ini sekaligus mengebiri daya kreatif mahasiswa, untuk menjadi patuh seribu persen terhadap apa pun yang disabdakan oleh dosen di kelas.
Refleksi Pendidikan di Kampus
Dehumanisasi yang terjadi dalam dunia pendidikan kita tentu ada yang mempengaruhi dan tidak bebas nilai; baik kepentingan penguasa pasar, politik, maupun ideologi. Mahasiswa ditumpulkan daya kritisnya, sehingga tidak mampu mengganggu kepentingan-kepentingan mereka yang berkuasa.
Semangat pengebirian daya kritis ini berlangsung parah hingga seperti orang kesurupan di kampus putih sejak masa pandemi. Mulai dari kapitalisasi pendidikan, pemujaan terhadap akreditasi, ditelantarkannya mahasiswa-mahasiswa luar negeri yang mendapatkan beasiswa, layanan difabel yang kurang diperhatikan, pembatasan jam malam kampus, isu kekerasan seksual, hingga monopoli predikat prestasi hanya bagi mereka yang menang lomba saja.
Mahasiswa, yang katanya sebagai agen perubahan, harus kompeten dalam menyinergikan verbalisme dalam merefleksikan realitas dengan tindakan. Tanpa tindakan, refleksi hanya sebuah omong kosong belaka. Pun, sebaliknya, tindakan yang tidak dibumbui refleksi hanya perilaku aktivisme hampa. Dan tanpa ini semua, kredo mahasiswa sebagai agent of change sudah tak pantas lagi keluar dari mulut. Biarlah itu hanya ada pada buku kisah sejarah pergerakan rakyat dan mahasiswa yang mampu menggulingkan Soekarno dan rezim Orde Baru.
Di satu sisi, tentu kita tidak memungkiri bahwa memang ada beberapa dosen yang benar-benar mengupayakan adanya dialog di ruang-ruang kelas. Akan tetapi, hal ini tidak cukup. Pembicaraan tentang sistem pendidikan kita yang melulu bermasalah, baik dalam regulasi ataupun pelaksanaannya di lapangan.
Terkait permasalahan tersebut, ini bukanlah pembicaraan tentang satu atau dua variabel. Akan tetapi pembicaraan tentang suatu hal yang masif, terstruktur, dan fundamental. Sehingga tidak bisa dilihat melalui satu dua variabel saja, tapi pengaruh apa yang membuat sistem ini bekerja.
Freire sendiri mencari peruntungan melalui parlemen, hingga kemudian dijadikan Menteri Pendidikan dan namanya dijadikan nama sebuah universitas di Brazil. Lantas, apakah satu-satunya jalan keluar dalam menghadapi soal “pengebirian” daya kritis di kampus ini hanya melalui jalur parlementer? Tentu tidak.
Penajaman kembali daya kritis dan kreatifitas bersama guna terciptanya paradigma kritis yang bermuara pada perubahan sosial dapat digali melalui keterlibatan dalam organisasi. Tinggal kemudian organisasi seperti apa yang layak dirujuk.
Aco, selaku bagian dari Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) menengarai, organisasi yang menggunakan paradigma kritis dan bermuara pada berubahan sosial adalah pendidikan yang berbasis kerakyatan. Mewaspadai organisasi-organisasi yang gencar melancarkan manuver politik di bawah identitas partai tertentu pun agaknya menjadi pertimbangan baik.
Sebab, praktik politik di negeri ini menurut Yudi Latif dalam bukunya yang berjudul Negara Paripurna, telah direduksi sekedar menjadi perjuangan dominasi kuasa, ketimbang sebagai proses pencapaian kebajikan bersama. Dan kampus sebagai miniatur negeri ini pun tak banyak perbedaan, sering terjadi di mana politik dan etika terpisah seperti terpisahnya air dan minyak. []
Misbahul Khoir, Mahasiswa Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Editor: Muhammad Rizki Yusrial