Ide untuk meliput tentang lika-liku mahasiswa difabel Tuli ketika mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM) di kelas datang dari rekan saya sesama wartawan Rhetor, Aida. Berangkat dari rasa penasaran, Aida ingin menuliskannya dalam bentuk feature. Kemudian, pemimpin redaksi kami bilang bahwa jangan hanya menuliskan kisah, paparkan masalah-masalah yang dialami mahasiswa difabel Tuli ketika belajar di kelas. Begitu anjurannya.
Tak lama kemudian, saya dan Aida melangsungkan wawancara dengan dua mahasiswa difabel Tuli. Karena kami tidak menguasai bahasa isyarat, kami dan kedua narasumber duduk berhadap-hadapan dan sibuk dengan gawai masing-masing.
Wawancara kami lakukan via WhatsApp. Walaupun begitu, kami dan kedua narasumber bisa saling melihat mimik wajah, gestur tubuh serta emosi yang tampak.
Melakukan wawancara dengan difabel Tuli adalah hal baru bagi saya. Saya berinteraksi, berbincang dan juga berseloroh secara langsung dengan mereka tanpa adanya batas. Selama ini, saya hanya mengetahui keberadaan difabel dari media.
Saya melihat mereka dari menara gading yang kemudian muncul bermacam-macam anggapan tentang mereka. Balik lagi, pandangan saya terhadap difabel dibentuk dari media yang meliput difabel. Representasi difabel di media tak selamanya baik.
Takut Keliru dalam Meliput Isu Difabel
Roy Thaniago, seorang pengamat media, di dalam esainya yang berjudul Bolehkah Saya Menjumpai Difabel di Media dengan Layak? berpendapat bahwa ada dua masalah yang ada pada media arus utama ketika memberitakan soal difabel. Kedua masalah itu adalah underrepresentation dan misrepresentation.
Hal demikianlah yang mengaburkan pandangan kita tentang realitas kehidupan difabel. Kurangnya porsi pemberitaan difabel dan kekeliruan dalam meliput persoalan difabel yang dilakukan oleh media, mengakibatkan para pembaca tidak memahami secara lebih mendalam mengenai kehidupan difabel. Bahkan, pandangan-pandangan buruk kita acapkali dialamatkan kepada mereka.
Selain itu, media juga membentuk stereotip-stereotip yang keliru kepada difabel. Difabel kerap kali dipandang sebagai objek; objek inspirasi dan objek yang perlu dikasihani. Setelah saya mendengar cerita mahasiswa difabel Tuli, mereka menjalani kehidupan sama seperti orang-orang non-difabel. Mereka juga nongkrong, bergaul secara luwes dengan siapa saja, menonton film, membaca buku dan melakukan beragam aktivitas lainnya.
Saya sempat deg-degan ketika hendak meliput mahasiswa difabel. Saya takut membebek cara-cara media arus utama dalam meliput isu tersebut. Maka, untuk menghapus pengaruh-pengaruh itu, saya membaca literatur-literatur tentang difabel dan juga liputan-liputan alternatif selain yang ada di media arus utama terlebih dahulu.
Regulasi yang membahas mengenai permasalahan-permasalahan difabel (UU Nomor 8 tahun 2016 dan PP No.13 tahun 2020) dan Pedoman Pemberitaan Ramah Disabilitas yang dirumuskan oleh Dewan Pers juga tak boleh saya lewatkan.
Proses membacanya cukup lama. Saya tidak ingin lpmrhetor justru memproduksi liputan-liputan yang merugikan difabel. Pemberitaan ramah difabel menjadi goals saya setelah liputan saya terbit. Apalagi, saya belum lama menjadi wartawan. Saya perlu hati-hati dan cermat. Namun, apabila pembaca menemukan sebuah kekeliruan dalam liputan tersebut, lewat tulisan ini saya menyatakan permohonan maaf.
Cerita ketika Belajar di Kelas
Menempatkan difabel sebagai subjek berarti melakukan proses humanisasi. Saya dan Aida mendengarkan cerita mereka penuh perhatian. Kami memosisikan narasumber kami sebagai teman ngobrol. Apapun yang mereka bicarakan kami dengar hingga selesai dan kemudian kami menimpalinya.
Mereka bercerita mengenai kehidupannya saat menjadi mahasiswa, berkisah tentang hobi-hobi mereka dengan raut wajah yang antusias, membagikan rekomendasi film dan buku, menantang kami bermain catur dan tertawa bersama-sama.
Ketika mereka bercerita saat belajar di kelas, mereka mengaku mengalami beragam kesulitan. Mulai dari tidak paham materi perkuliahan karena tidak didampingi oleh juru catat, hingga teman-temannya yang non-difabel menjauhi mereka (dalam konteks KBM). Keterbatasan kemampuan komunikasi atau mungkin saja memang tak ingin membantu kawan difabel yang kadang membuat narasumber saya merasa sendiri.
Menyoal kesendirian mereka ketika di kelas, para juru catat dari PLD setelah kami telusuri memang acap kali berhalangan untuk memberikan pendampingan. Alasannya beragam. Namun, saya rasa, beragam alasan itu tidak boleh menghambat proses berjalannya KBM di kelas bagi mahasiswa difabel.
Akibatnya, mereka menjadi malas dan nekat bolos. Buat apa masuk kelas jika mereka tidak paham akan materi perkuliahan? Lingkungan akademik yang belum paham akan inklusivitas mengakibatkan mereka tertinggal secara akademik dari teman-teman sekelas mereka. Mereka tak bisa berbuat banyak. Bahkan, salah satu dari narasumber kami berkata, “Saya tenang. Diam.”
Kampus Masih Punya PR
Cerita kedua mahasiswa difabel Tuli menyadarkan saya bahwa UIN Sunan Kalijaga memang masih memiliki masalah terkait inklusivitas. UIN tidak boleh merasa sudah mengatasi semua masalah mahasiswa difabel sehingga ketika ditunjukkan masalah-masalah yang baru, UIN justru tutup kuping dan tidak segera berbenah.
Mengapa saya bisa menganggap demikian? Berdasarkan pernyataan Siti Aminah, staff Pusat Layanan Difabel (PLD), ia menganggap bahwa masalah-masalah teknis menyangkut mahasiswa difabel telah selesai sejak lama. Masalah-masalah baru dimanfaatkan oleh PLD untuk belajar dan menyerap ilmu baru.
Namun, PLD tidak memangkas akar permasalahan yang menghambat proses akademis mahasiswa difabel. Mereka cenderung menunggu datangnya masalah, baru kemudian bertindak untuk mengatasi masalah. Mengacu kepada perkataan Aminah: “Masalah adalah tantangan.”
Padahal, tujuan UIN membentuk PLD adalah untuk mengurangi hambatan akademis mahasiswa difabel sehingga mereka bisa memiliki kesempatan dan tingkat partisipasi yang sama dengan mahasiswa non-difabel. Apakah UIN melalui PLD masing mengingat tujuannya? Atau justru lupa dan merugikan mahasiswa-mahasiswa difabel?
Perjalanan akademik kedua mahasiswa difabel Tuli yang menjadi narasumber kami ternyata berliku dan tidak mudah untuk ditempuh. UIN seharusnya selain mencetak kader relawan yang jumlahnya banyak juga perlu menciptakan kultur akademik yang inklusif. Mengingat juga, banyaknya jumlah relawan tidak menjamin terbangunnya kesadaran inklusivitas warga UIN non-difabel.
Salah satu relawan yang menjadi narasumber kami ikut merasakan kesulitan ketika melakukan kewajibannya sebagai juru catat. Ia memiliki jadwal kuliahnya sendiri. Ketika ia dibutuhkan, justru ia sedang mengikuti KBM di kelasnya sendiri. Lagi-lagi, yang terkena imbasnya adalah mahasiswa difabel Tuli.
Ketidakmampuan dan keterbatasan mahasiswa difabel seharusnya dilihat dari konstruksi sosial dan lingkungan kebijakan yang tidak inklusif. Tidak adanya juru catat yang mendampingi mahasiswa difabel Tuli di kelaslah yang menjadikan mereka difabel.
Diskriminasi dan sikap tak acuh teman sekelas atau bahkan dosen terhadap mahasiswa difabel juga menjadikan mereka difabel. Meminjam perkataan Roy bahwa kita sebenarnya terjebak ke dalam paradigma “disabilitas yang menubuh.” Mahasiswa difabel harus dilihat terpisah dari individu.
Begitulah perjalanan saya dan Aida ketika meliput soal mahasiswa difabel Tuli. Dengan terbitnya laporan dari kami, kami berharap UIN setidaknya bisa membaca. Kalau memang ingin berbenah, kami sangat senang dan begitu bersyukur.
Mengutip perkataan Suharto, direktur eksekutif Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB), masalah difabel adalah masalah struktural dan sistematis. UIN sebagai pemegang kuasa sistem dan pemangku jabatan struktural pasti bisa mengubahnya. Semoga saja. []
Penulis : Hifzha Aulia Azka
Editor : Muhammad Rizki Yusrial