Seorang Kakek yang Merindukan Mantan Istrinya

940
tribun

“Melakukan dosa dapat membuatmu bahagia,” ucap kakekku.

“Dosa apa yang telah Kakek perbuat dahulu? Kakek tidak takut akan azab Tuhan? Atau jangan-jangan, Kakek tidak percaya akan azab? Jangan sombong, Kek. Kakek hanyalah makhluk yang terbuat dari cairan hina. Kakek pasti sudah tahu, cairan itu keluar dari kemaluan lelaki yang sedang berahi. Untuk menyalurkan berahinya, ia mendatangi seorang wanita. Lelaki dan wanita itu akan bermain kelamin hingga mendesah begitu nyaring dan membuat burung-burung yang sedang asyik bertengger pada pohon cemara merasa terusik keasyikannya. Dalam waktu dekat, wanita itu akan memiliki perut yang besar. Permainan kelamin yang asyik masyuk berbuah anak yang lucu berlendir. Ah, sepertinya tidak perlu kujelaskan lebih lanjut tentang ini. Kakek pasti sudah tahu. Tidak mungkin seorang profesor tidak mengerti tentang permainan kelamin,”

Setelah mendengar tanggapanku, tetiba kakek tertawa terbahak-bahak hingga terbatuk-batuk. Ia seperti tidak ingat dengan penyakitnya. Penyakit paru-paru basah yang menyiksa. Untung saja ketika ia batuk tidak mengeluarkan darah.

“Kamu tahu apa tentang azab? Umurmu belum menginjak tujuh belas tahun. Keluar sperma pun belum. Atau mungkin sudah. Aku tidak tahu. Aku tidak ingin berurusan dengan kelaminmu. Begini, anak lugu, perkara azab yang kamu bicarakan tadi adalah hal yang sia-sia untuk dibicarakan. Azab tidak akan datang dalam waktu dekat. Butuh mati dahulu untuk merasakan azab. Memang, sih, ada buku yang menyebutkan bahwa azab bisa datang ketika kita masih bernyawa. Tetapi aku belum pernah merasakannya. Jadi, aku tidak percaya dengan buku itu. Aku bakar buku itu dan aku sebar abunya di gunung. Aku percaya bahwa aku tidak akan mati dalam waktu dekat. Paru-paruku masih sehat. Tidak basah seperti yang dikatakan dokter. Perkataan dokter itu hanyalah bualan belaka. Tidak mungkin seorang aku mengalami penyakit paru-paru basah. Aku akan buktikan itu, wahai cucuku. Aku akan tetap hidup!”

“Kakek tidak menjawab seluruh pertanyaanku. Tolong jawab pertanyaan-pertanyaanku. Jawabanmu itu sangat berarti bagiku. Ada apa denganmu, Kek? Apakah Kakek sedang mabuk? Atau Kakek sudah gila?”

Tawa kakek semakin menggelegar. Semenjak terserang paru-paru basah, ia lebih sering tertawa. Entah apa sebabnya. Barangkali ia melakukannya untuk sejenak melupakan rasa sakitnya. Tentu membosankan memiliki penyakit seperti itu di masa tua. Energinya sudah banyak dimakan usia dan penyakit membuatnya semakin tak berdaya. Namun, bagaimana pun tawanya terdengar membosankan. Ingin sekali aku menyumpal mulutnya dengan celana dalamnya yang jumbo itu. Tetapi, aku urung melakukannya. Aku takut ia mati tersedak celana dalam jumbo. Lebih baik aku sabar mendengar tertawaannya.

“Dahulu, aku sering membeli berbotol-botol alkohol dan tentu saja meminumnya dengan penuh kebahagiaan. Setelah itu aku akan teler, berjalan sempoyongan, meracau, mencium sembarang gadis, atau yang paling parah memutilasi seorang lelaki uzur yang sedang memandang bintang di teras rumahnya pada tengah malam. Setan-setan akan berpesta pora karena mereka berhasil merekrut anggota baru calon penghuni neraka. Manusia-manusia bejat dan setan-setan brengsek berbondong-bondong menuju neraka untuk menikmati keindahan azab Tuhan. Ditusuk trisula melalui anus, memakai sendal besi panas yang bisa membuat otak mendidih, lidah terpotong, atau meminum nanah-nanah istimewa yang telah dipersiapkan Tuhan. Mereka akan menjerit bahagia ketika merasakan azab itu. Tidak ada penyesalan dalam diri mereka. Mereka kecanduan azab sama seperti kecanduan alkohol ketika di dunia. Begitulah yang kubaca dari sebuah buku. Entah apa judulnya, aku sudah lupa,”

“Betapa berdosanya, engkau!” Ya, aku menggunakan diksi “engkau” ketika itu. Aku merasa sangat marah padanya. Bagaimana mungkin seorang manusia berkata seperti itu dengan angkuhnya!

Padahal, orang tua kakekku adalah sosok guru yang religius. Apakah kedua orang tuanya tidak pernah mengajarinya ilmu agama? Apakah mereka sibuk mengajari anak orang lain sehingga lupa dengan anaknya sendiri? Itu sangat kejam. Orang tua macam apa yang tidak peduli dengan anaknya. Mereka membuat kakekku terombang-ambing dalam ombak kemaksiatan yang melenakan. Air keruh dosa telah masuk melalui mulut kakekku. Hatinya telah dibanjiri air keruh dosa. Akibatnya, ia enggan melakukan aktivitas terpuji. Ia lebih memilih meminum miras ketimbang melakukan sembahyang lima waktu.

“Hentikan obrolan ini, anak muda. Malam sudah sempurna. Mari kita istirahat. Aku lelah. Aku sudah tidak kuat menahan kantuk. Umurku sudah 80 tahun. Aku ingin hidup 10 tahun lagi,” Kakek memutuskan untuk istirahat. Kasihan. Di umurnya yang 80 tahun, ia dipaksa mendengar celotehanku hingga larut malam.

Maka aku persilakan kakek untuk istirahat. Aku pun merasa tidak tega melihat kakek merana karena celotehanku yang terlampau bising tersebut.

Kakek berjalan tertatih-tatih menuju kamar tidurnya. Aku membantunya agar tidak terjatuh. Kamar kakek terletak di lantai dua rumahku. Memang, sejak kakek bercerai dengan nenek 10 tahun yang lalu, orang tuaku menampung kakek di rumah ini. Mereka enggan memboyong kakek menuju panti jompo. Entah mengapa, kedua orang tuaku sangat sayang kepada kakekku. Padahal, kakekku lah penyebab terjadinya perceraian itu. Nenek yang sudah tidak tahan dengan kelakuan kakek yang gemar mabuk itu akhirnya meminta cerai kepada kakek. Kakek tidak terkejut. Bahkan ia mengabulkan permintaan nenek hanya dalam waktu dua hari. Ia pun meminta sidang perceraian dipercepat dan tidak bertele-tele. Kakek yang aneh.

Kamar kakek kecil saja. Dinding kamarnya dihiasi poster tokoh-tokoh favoritnya: Marilyn Monroe, Whitney Houston, Lady Gaga, dan Rosa Luxemburg. Di pojok kamar terdapat mesin tik tua yang sudah berdebu. Aku mengusulkan agar ia membuangnya. Pikiranku berkata bahwa benda usang itulah penyebab kakek terserang penyakit mengerikan. Tetapi kakek menolak. Baginya, mesin tua itu adalah barang yang berharga. Itu adalah mesin tik pertamanya. Untuk mendapatkannya, Kakek harus mencari uang dengan berdarah-darah.

Kakek gemar menulis. Menulis apa saja. Ia pernah menerbitkan novel pertamanya. Walaupun novel itu sedikit saja peminatnya, kakek tetap menulis. Ia tak peduli orang lain menganggap tulisannya buruk. Yang terpenting, ia bisa menulis. Suatu waktu kakek bicara padaku bahwa andai saja Tuhan menciptakan manusia untuk menulis saja, tidak melakukan kegiatan selain menulis, mungkin kakek akan patuh kepada Tuhan. Ia tidak akan mabuk. Ia hanya akan menulis hingga akhir hayat. Tidak peduli akan maut yang menerornya seperti saat ini.

“Ingatlah selalu perkataan ini, cucuku,” pesan Kakek suatu sore, “Menulis dapat mengabadikanmu. Suaramu akan tetap terdengar nyaring walau maut menjemput. Kata-katamu akan terus didaras banyak orang. Namamu akan terukir abadi dalam benak setiap manusia di dunia. Segala sesuatu tentang dirimu menjadi berharga untuk dikenang. Seluruh manusia di muka bumi bahkan lupa untuk melupakanmu. Tidak ada kegiatan yang mulia selain menulis. Manusia berilmu pasti menulis,” lanjutnya.

Aku selalu mengingat pesan itu, saat itu usiaku baru 8 tahun. Aku memang selalu berada di pangkuan kakek untuk mendengar kisah-kisahnya. Ia adalah penutur yang baik. Kisah-kisah yang disampaikan padaku begitu menakjubkan. Aku mengira keahliannya berkisah berawal dari banyaknya buku yang ia lahap dan kegemarannya dalam menulis. Pada setiap untaian katanya terselip nasihat-nasihat yang menyejukan. Nasihat-nasihat yang akan menyelamatkanku dari sikap keji manusia-manusia bumi. Aku sangat sayang kakekku.

Di pojok kamar kakek berkibar bendera Meksiko. Aku tidak tahu mengapa ada bendera Meksiko di kamarnya. Apakah ia memiliki kenangan indah saat tinggal di Meksiko? Atau jangan-jangan kakek mempunyai seorang kekasih berkebangsaan Meksiko yang membuatnya tidak keberatan ketika nenek meminta cerai? Apakah kekasih itu mengandung anak kakek? Pikiranku menjadi liar. Tidak, tidak mungkin kakek tega kepada nenek. Nenek meminta cerai karena tidak tahan melihat suaminya mabuk setiap hari. Nenek menyayangi suaminya. Ia khawatir dengan kesahatan kakek yang hari demi hari terus memburuk. Tetapi lelaki tua itu tidak peduli. Ia tetap mabuk dan selalu mabuk. Tak tahan dengan itu semua, Nenek memilih pergi.

Aku ingin sekali bertanya langsung mengapa di kamar kakek berkibar bendera Meksiko. Mungkin suatu hari nanti, jika Tuhan masih memberiku kesempatan untuk menghirup oksigen kuat-kuat dan menghembuskan karbon dioksida. Kakek tidak memiliki darah Meksiko. Ibu dan bapaknya berasal dari Jawa Barat. Aku bingung.

Setelah mengantar kakek sampai kamarnya, aku mengucapkan selamat malam dan bergegas menuju kamar tidurku. Rasa bingung ini dengan cepat berubah menjadi kantuk. Otakku merengek meminta istirahat panjang. Aku ingin rebah dalam sekejap tanpa memikirkan kakekku yang gemar mabuk dan tidak takut azab Tuhan itu. Aku prihatin. Aku takut kakek disiksa di neraka. Aku tidak ingin kakek menderita di akhirat nanti. Aku sayang kakek. Bahkan, aku lebih meyayanginya daripada kedua orang tuaku sendiri.

Orang tuaku adalah dua manusia yang sibuk mencari duit. Alasannya agar aku dan kakek bisa tetap hidup. Tidak akan hidup seseorang jika ia tidak memiliki uang, katanya. Sempat aku mendebat pernyataan kedua orang tuaku. Menurutku, cintalah yang membuat manusia tetap hidup. Uang tanpa cinta membuat manusia mati sebelum waktunya. Mati saat menjalani kehidupan.

Cinta menciptakan empati. Empati menimbulkan suasana damai. Dan kedamaian akan membuatmu senantiasa hidup. Sebaliknya, uang adalah pangkal kejahatan. Seorang pencopet mengincar pelbagai dompet untuk mengambil berlembar-lembar uang di dalamnya. Seorang maling yang mengambil televisi pun bahkan menginginkan uang setelah ia mencuri televisi. Aku yakin, alasan ia mencuri televisi bukan karena ingin menonton siaran langsung pertunjukan dangdut yang menampilkan seorang penyanyi wanita yang aduhai itu, tetapi ia akan menjualnya ke pasar loak dan akan mendapatkan berlembar-lembar uang. Uang itu ia gunakan untuk makan selama satu bulan. Jika sudah habis, ia akan mencuri barang berharga lainnya.

Uang,uang, dan uang. Itulah obsesi terbesar umat manusia. Aku pernah membaca novel karya George Orwell yang berjudul Keep the Aspidistra Flying yang mengisahkan seorang lelaki bernama Gordon Comstock. Gordon Comstock menyatakan perang terhadap uang. Ia menolak bekerja di sebuah perusahaan periklanan yang menjanjikan gaji besar. Ia lebih memilih bekerja di salah satu toko buku yang menjual buku-buku kualitas rendahan dan menurutnya tidak layak dibaca.

Ia mengerjakan segalanya, dari mulai pembayaran, penghitungan uang, membersihkan toko, menjaga buku-buku agar tidak dicuri, dan mematikan lampu toko ketika jam operasional usai. Gaji yang ia terima terlampau kecil. Tidak cukup untuk membiayai kebutuhan hidupnya. Tetapi, ia merasa nyaman hidup dengan sedikit uang.

Hingga suatu hari ia bertemu seorang wanita yang cantik. Ia mencintai wanita tersebut dan berniat melakukan permainan kelamin dengannya. Tetapi ia tidak percaya diri karena tidak memiliki uang. Wanita cantik, pikirnya, hanya ingin bercinta dengan lelaki yang mempunyai uang jika nantinya ia hamil. Untuk melahirkan seorang manusia membutuhkan banyak uang. Si lelaki takut mengajak kekasihnya bercinta. Maka dari itu, ia menyudahi perangnya terhadap uang demi kekasihnya. Ia memutuskan untuk meninggalkan toko buku dan bertolak menuju perusahaan periklanan untuk melamar pekerjaan. Akhirnya, ia bekerja di perusahaan tersebut dan memiliki banyak uang.

Gordon Comstock menyerah kepada uang. Ia ingin sekali hidup bersama kekasihnya untuk selamanya. Tentu saja, ia membutuhkan uang. Comstock akhirnya tersadar, menjalani hidup tanpa uang hanya menyiksa dirinya. Siksaan yang abadi. Rasa cinta saja tidak cukup untuk membahagiakan seorang wanita. Uang menerbitkan cinta. Cinta abadi karena uang.

Setelah membaca novel itu aku termenung. Ada benarnya juga, pikirku. Apakah memang kedua orang tuaku tidak mencintaiku seutuhnya? Apa yang terjadi jika kami jatuh miskin? Apakah aku akan dicintai oleh kedua orang tuaku? Apakah keluargaku akan dicintai oleh masyarakat? Aku ingin tetap dicintai oleh siapapun. Kebencian tidak boleh ada dalam hidupku. Aku tidak ingin memiliki musuh. Semua manusia adalah teman. Tak boleh seorang pun menyakitiku.

Nyatanya, keinginanku tak akan pernah terwujud. Kejahatan merajalela. Ini semua karena uang. Orang-orang miskin maupun kaya berlomba-lomba mengais uang sebanyak-banyaknya. Orang-orang kaya dengan rakusnya mencuri jatah uang orang-orang miskin. Orang-orang kaya menggusur rumah orang-orang miskin. Orang-orang miskin dianggap sebagai kelompok masyarakat bebal yang seenaknya membangun rumah. Mereka disalahkan karena dinilai merusak pemandangan kota dengan menciptakan suasana kumuh yang mengerikan.

Rumah mereka diberi label “rumah liar” oleh orang-orang kaya itu. Orang-orang miskin lantas memuncak amarahnya. Mereka bersatu melawan orang kaya bajingan dengan melakukan demonstrasi. Mereka menolak keras rencana penggusuran tanah. Mereka berteriak lantang hingga menggetarkan langit. Tetapi, orang kaya tidak bisa mendengarkan teriakan mereka. Telinga mereka selalu tuli. Mereka tidak peduli dengan keadaan orang-orang miskin yang sebatang kara. Yang terpenting, mereka bahagia karena mendapatkan banyak uang.

Orang-orang miskin pun berambisi untuk mendapatkan uang. Mereka berbondong-bondong pergi ke pabrik yang sedang membutuhkan tenaga kerja. Tak masalah disuruh kerja hingga larut malam yang terpenting, mereka bisa makan dan bertahan hidup. Mereka tidak ingin menjadi manusia yang menyerah kepada hidup. Bagaimana pun hidup terasa kejam, mereka akan bertekad untuk menaklukkan hari esok. Segala daya upaya mereka kerahkan untuk berperang melawan kehidupan. Tentu saja dengan bantuan uang.

Tak heran, mental mereka adalah mental seorang manusia tangguh. Mereka sebisanya menempuh jalur yang “halal” menurut agama mereka. Tidak seperti orang-orang kaya yang seenaknya menggusur rumah mereka. Berkat uang yang melimpah, seseorang akan memiliki kuasa. Kuasa untuk menindas. Orang-orang miskin yang terusir hanya bisa berdoa agar orang-orang kaya rakus mendapatkan siksaan yang kekal di akhirat kelak.

***

Aku hampir terlelap ketika tiba-tiba mendengar kakek mengigau. Ia menyebut nama nenek. Mungkin ia sedang bermimpi menemuinya. Memang, kakek pernah berkata bahwa dirinya rindu kepada mantan istrinya. Ia sempat berencana untuk mengunjungi rumah nenek. Tapi ibuku melarangnya. “Rumah nenek jauh, Pak,” kata ibu sekali waktu. Kakek terlihat sebal ketika ibu melarangnya pergi menemui perempuan yang dicintainya. Sudah lama kakek tidak bertemu mantan istrinya tersebut.

Dengan sempoyongan, aku memaksa kakiku berjalan menuju kamar kakek. Aku mengetuk pintu kamarnya. Tidak terdengar sahutan atau igauan. Aku mengetuknya lagi. Tetap sunyi. Karena penasaran, aku nekat membuka pintu kamar kakek.

Aku terkejut melihat kakek sedang berdiri di samping ranjang sambil menggenggam kapak dan sebuah album foto. Wajah tuanya terlihat sedih. Air mata menghiasi wajahnya yang layu. Lendir-lendir bergelayutan pada hidung kakek. Kakek terlihat dilanda kerinduan kepada nenek.

“Aku ingin bertemu dengan mantan istriku!” ia menoleh sambil berteriak.

Aku bergidik ngeri. Badanku bergetar. Air hangat langsung mengucur dari alat kelaminku. Aku ketakutan. Teriakan itu menyerupai suara monster yang sedang marah.

“Tenang, Kek! Tunggu ibu dan ayahku datang. Kita bicarakan nanti pagi. Sekarang, Kakek lanjutkan tidurnya. Ayo, segera tidur kemba…”

“Bajingan, kau, makhluk menjijikan! Aku ingin bertemu mantan istriku sekarang! Jika tidak, aku akan menebas leherku!”

Aku menggigil. Makian kakek terdengar mengerikan.

“Tapi, Kek, malam sudah terlalu larut. Di luar sana gelap gulita. Terlebih, aku belum bisa menyetir. Aku tidak ingin nanti terjadi kecelakaan. Bagaimana jika Kakek bersabar terlebih dahulu menunggu matahari terbit?”

Kakek diam saja. Ia berhenti menggeram. Sekonyong-konyong ia berlari ke arahku dengan menenteng kapak itu. Aku segera saja berlari sambil menjerit. Lampu-lampu tetangga tetiba menyala serempak. Mereka sadar sedang ada bahaya yang melanda rumahku. Terdengar teriakan seorang lelaki menanyakan apa yang sedang terjadi. Aku tidak menghiraukan pertanyaan lelaki itu. Kakek masih mengejarku. Jantungku berdegup sekencang-kencangnya. Cairan hangat dari kemaluanku tak henti-hentinya keluar. Lantai rumah menjadi licin karena air kencingku.

Kakek sempat terpeleset. “Keparat!” teriaknya nyaring. Jarak antara aku dengan kakek cukup jauh. Aku berlari cepat hingga hilang akal. Mendengar makian kakek, lantas segera aku berbalik arah untuk melihat kondisi kakek. Ia tampaknya begitu kesakitan. Sulit bagi dia untuk berdiri dengan cepat. “Ini waktu yang tepat untuk menghubungi kedua orang tuaku,” aku membatin.

Tanpa berpikir lama, aku segera menuju ruang keluarga untuk menghubungi kedua orang tuaku. Telepon rumah terletak di atas meja kecil di sudut ruangan. Aku menekan tombol angka pada telepon dengan tergesa-gesa. Akibatnya, beberapa kali salah sambung. Keringat kembali bercucuran. Tanganku bergetar hebat. Kakiku kembali terasa hangat. Sial. Mengapa semua ini terasa sulit? Padahal aku sedang berada dalam kondisi gawat. Bajingan.

Akhirnya, aku berhasil menghubungi kedua orang tuaku.

“Ayah! Ibu! Segera kembali! Kakek mengamuk. Ia ingin bertemu dengan nenek sekarang juga. Aku bingung. Ia mengejarku sambil menenteng kapak. Aku akan dibunuh jika tidak mengabulkan permintaannya. Segeralah kembali. Aku takut. Terlampau takut,” aku bicara dengan cepat. Khawatir kakek sudah bisa berdiri dan berlari menuju ruang keluarga. Tak bisa kubayangkan jika kapak itu melayang tepat ke leherku. Kepalaku akan menggelinding. Mataku mungkin akan melotot. Mulutku menganga lebar. Ya Tuhan, aku belum siap mati.

“Tenang, Nak. Untuk saat ini, kami belum bisa pulang cepat. Masih banyak urusan yang harus kami selesaikan. Baik, untuk saat ini, kamu telepon polisi. Kami yakin polisi akan segera datang ke rumah. Sekarang, kamu ambil kertas dan pensil untuk mencatat nomor polisi,” mereka menanggapi ketakutanku dengan santai.

Nomor polisi selesai kutulis. Aku ragu, akankah polisi percaya perkataan anak kecil yang bahkan belum pernah mimpi basah? Peduli setan! Aku akan menghubungi mereka.

Berhasil tersambung. Aku gelisah. Keringat kembali bercucuran. Tangan pun kembali bergetar. Aku cemas. Baru kali ini aku akan berbincang dengan polisi. Yang aku tahu polisi adalah ras terseram yang pernah dimiliki bumi. Mereka gemar menendang, menghardik, membual, berkelakar menjijikan, bahkan mereka tidak segan-segan untuk membunuh. Hal itu aku mengetahuinya setelah teman-temanku bercerita saat jam makan siang di sekolah. Kala itu aku hanya bisa mengangguk pelan dan langsung memercayai perkataan temanku itu.

Perkataan temanku begitu mengubah pandanganku mengenai polisi. Aku sangat takut ketika polisi hadir di tengah lautan kendaraan untuk mengatur arus lalu lintas. Entah mengapa raut wajah seram melekat erat pada wajah si polisi itu. Padahal ia tidak sedang menendang, menghardik, membual, atau membunuh. Aku mendapatkan trauma. Trauma polisi. Memang, tidak seluruh anggota kepolisian seram, tetapi karena banyak oknum melakukan tindakan keji, seluruh anggota kepolisian mendapatkan label sebagai manusia terseram di bumi.

Setelah menunggu beberapa detik, terdengar suara “Halo” yang keras. Aku terkejut. Terdengar tidak ramah. Aku terdiam selama lima detik.

“Halo! Ada apa menghubungi kami tengah malam begini, hah? Kamu ingin mempermainkan kami, ya? Lancang sekali, kau! Cepat bicara! Atau saya tutup telepon ini sekarang juga,” Ia menuduhku sedang mempermainkannya.

“Halo, iya, pak polisi. Begini, saat ini aku sedang dalam bahaya. Kakekku ingin membunuhku dengan kapak. Ia mengejarku seperti kerasukan setan. Saat ini, ia sedang terduduk kesakitan karena barusan saja terpeleset. Aku tidak sedang mengarang cerita. Ini sungguhan. Cepat kemari. Aku sangat takut.”

Pak polisi hanya tertawa setelah mendengar aduanku. Ia menganggapku konyol, “Bagaimana mungkin seorang kakek kuat berlari mengejarmu tengah malam begini? Sepertinya kamu cocok menjadi seorang pengarang. Ceritamu itu sungguh aneh. Maaf, Nak, aku tidak bisa memercayaimu. Lagipula suaramu juga terdengar seperti anak kecil. Tidurlah, Ibumu akan marah kalau tahu anaknya membuat masalah,”

“Anjing! Polisi tidak becus! Aku harap kau di nera….”

“Berisik, kau, keparat!” Kakek berteriak. Suara itu terdengar dari arah dapur.

Dor!

Aku segera membanting gagang telepon dan berlari menuju dapur. Apa yang sedang kakek perbuat? Apakah ia bunuh diri? Benar saja. Ketika sampai di muka dapur, terlihat badan kakek terbujur kaku. Jarak antara tubuh kakek dengan diriku cukup jauh. Aku tidak dapat melihat bagian tubuh mana yang berlubang sehingga membawa kakek pada kematian. Aku mendekat, di tangan kanannya terdapat sepucuk pistol yang entah ia peroleh dari mana. Di tangan kirinya tergenggam kapak. Ternyata, dahi kakek yang berlubang. Tepat di bagian pelipis. Saat itu aku gemetar dengan hebat. Hal yang membuatku bingung adalah, di atas dada kakek terdapat dua buah kertas dan di setiap kertas terdapat tulisan buruk yang sulit dibaca. Mungkin kakek menulisnya dengan tergesa-gesa. Aku berusaha membaca kata demi kata dan berhasil selesai dalam beberapa menit. Semacam surat wasiat.

Kertas pertama bertuliskan:

Untuk cucuku

Maaf, tengah malam ini aku harus mati. Aku tidak tahan merindu. Aku rindu kepada mantan istriku nun jauh di sana. Tetapi ibumu, bajingan itu, selalu melarangku untuk menemui pujaan hatiku. Memang, aku adalah penyebab mengapa aku dan mantan istriku bercerai. Aku acapkali pergi ke bar untuk minum alkohol segila-gilanya. Uangku cepat habis. Mantan istriku merasa ditelantarkan olehku. Saat aku kecanduan alkohol, tubuh istriku begitu kurus. Aku sampai ngeri melihatnya. Ia seperti monster yang menyeramkan. Aku tidak memiliki nafsu kepadanya. Meski begitu, aku tidak pernah berselingkuh atau pergi ke rumah pelacuran. Aku selalu berusaha menjadi laki-laki yang setia. Selama hidupku, hanya mantan istrikulah yang menjadi pasanganku. Satu-satunya. Tetapi, karena alkohol keparat itu aku harus meninggalkannya.

Aku sering menulis surat kepada mantan istriku. Namun surat itu tak pernah berbalas. Mungkin, ia langsung membakarnya ke perapian. Sepertinya ia begitu membenciku. Sedangkan aku begitu mencintainya. Ketika ia meminta cerai, aku hanya tertunduk pasrah. Aku hanya ingin membuatnya selalu bahagia. Aku kabulkan keinginannya dengan hati yang lapang. Bahkan, ketika ia angkat kaki dari rumah yang kami bangun 20 tahun silam, aku turut membantunya dengan senyum di bibir. Tidak ada dendam kepadanya.

Kini aku merindukannya. Kata penulis Eka Kurniawan “Seperti dendam, rindu harus dibayar tuntas”.

Apakah aku dendam kepadanya? Kurasa tidak, tidak sama sekali. Aku hanya rindu kepadanya. Apa mungkin ini yang disebut dendam jika merujuk ke perkataan Eka Kurniawan itu? Aku tak yakin. Aku juga teringat perkataan seorang tokoh film remaja yang sedang menjalani kehidupan percintaan saat SMA. Katanya, “Jangan rindu! Berat. Kamu tidak akan kuat, biar aku saja”.

Aku membayangkan tokoh tersebut berbicara kepadaku. Aku tidak sanggup merindu dan menuntaskan dendam. Tidak pernah aku dendam kepada siapapun. Atau memang aku hanyalah seorang pengecut pecandu alkohol? Entahlah.

Maka, kuputuskan saja untuk mati. Biar kutuntaskan rindu ini dalam kematian yang perih.

Kertas kedua:

Aku yakin kau pasti bingung mengapa bendera Meksiko berkibar di pojok kamarku. Maafkan aku karena selama ini aku tidak berterus terang kepadamu. Aku malu untuk bercerita. Maka dari itu, untuk memusnahkan rasa bingung dalam kepalamu, aku menyalin seluruh surat yang telah kukirim kepada mantan istriku agar kelak dapat dibaca olehmu. Surat-surat itu berada di bawah ranjang. Tidak sulit untuk menemukannya. Setelah kau menemukannya, ambil dan bacalah.

Air mataku jatuh membasahi kedua kertas itu. Kini, tulisan-tulisan itu luntur. Kurasa ia menggunakan tinta kualitas rendah untuk menulis surat ini. Rasa rindu yang dimiliki kakek begitu besar. Aku tak menyangka begundal sepertinya kalah oleh rasa rindu. Kakek mati dalam keadaan merindu. Aku yakin, jiwa kakek masih merindukan tubuh nenek. Rasa rindu kekal abadi.

Aku meremas kedua kertas itu dan kumasukan ke dalam mulut. Dengan rasa geram, aku kunyah remasan kertas itu dan kutelan bulat-bulat. Aku tak peduli kalaupun nanti akan timbul penyakit setelah pencernaanku bertemu zat-zat dari kertas tadi. Tulisan kakek telah kutelan. Aku berharap tulisan-tulisan kakek dapat diedarkan ke hati agar aku selalu mengingat nasihatnya perihal tulis-menulis.

Setelah melumat kertas itu, aku berjalan menuju kamar kakek. Pintu kamarnya tertutup sempurna. Pikiranku melayang jauh saat pertama kali kakek tidur di kamar itu. Sepanjang hari ia mengurung diri di dalam kamar. Waktu pertama kali datang ke rumahku kakek sudah berumur 75 tahun. Ia enggan keluar kamar. Bahkan ketika ibuku mengajaknya untuk makan bersama di meja makan, ia menolak. Makanan dan minuman selalu diantar pembantu, laksana raja yang nyaman di singgasananya.

Kata ibuku, kakek tidak ingin keluar kamar karena ia sedang merampungkan novelnya yang pertama. Novel itu tak kunjung selesai ditulisnya. Sejak berumur 20 tahun hingga menginjak umur 79 tahun, novel itu seperti enggan untuk diselesaikan. Aku pernah berpikiran bahwa novel itu tak kunjung selesai karena kakek sedang asyik di dalam dunia permabukan. Fokus utama kakek hanyalah sebotol wine, whiskey, ataupun arak. Tetapi, pikiranku ternyata salah. Pada saat ia berumur 80 tahun, kakek menerbitkan novel pertamanya. Mengapa ia tidak menerbitkan novel itu saat ia berumur 79 tahun? Ia beralasan, jika novelnya ingin laris, tidak boleh langsung diserahkan ke penerbit. Setidaknya manuskrip novel itu harus disimpan selama setahun.

Novel pertama kakek sangat tebal. Novel itu terbit dalam 9 jilid. Kata yang dituliskan kakek lebih banyak dari kata yang dituliskan Marcel Proust dalam novel In Search of Lost Time.  Benar saja apa yang telah dikatakan oleh kakek, novel itu laris. Kakek sempat digadang-gadang menjadi peraih Nobel Sastra. Tetapi, masuk nominasi pun tidak. Kakek tidak mempermasalahkan hal itu. Yang terpenting kakek bisa menulis selama itu karena jika kakek tidak menulis, katanya jiwanya akan tersiksa.

Rampungnya novel itu juga mengeluarkan kakek dari kurungan kamarnya. Ia seperti merasa merdeka setelah lima tahun mendekam dalam kamar dan menulis sepanjang waktu. Aku begitu mengagumi daya tahan kakek ketika menulis. Aku berharap mempunyai daya tahan yang ciamik sepertinya. Atau melebihi daya tahan kakek. Aku akan menulis novel hingga 10 jilid.

Aku membuka kamar kakek. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Aku ingat-ingat peristiwa apa yang terjadi di kamar ini. Aku masih melihat bendera Meksiko berkibar di pojok kamar kakek. Mesin tik tua kakek tampak rapuh dimakan usia. Seprai di atas kasur tampak berantakan. Aroma tubuh kakek yang dilumuri minyak gosok itu masih menyengat ketika aku masuk ke dalam kamar kakek. Aku begitu rindu ketika setiap hari kubangunkan kakek jam 4 pagi agar ia bisa melaksanakan sembahyang subuh.

Kakek akan menggeliat kecil tanda enggan untuk bangun dengan cepat. Kasur dan seprainya yang halus itu seperti memberikan kenyamanan yang dahsyat sehingga ia tidak ingin beranjak dari kasurnya. Lantas, aku goyangkan badannya agar ia cepat bangun dan kuingatkan untuk sembahyang subuh. Kakek mengangguk lemah. Rasa kantuk belum hilang secara sempurna. Masih memberati kedua kelopak matanya. Tetapi, kewajiban harus dilaksanakan. Terlebih kewajiban agama agar dapat masuk surga.

Tak perlu waktu lama untuk menemukan salinan surat-surat itu. Aku kira kakek telah menuliskan banyak surat, ternyata aku hanya menemukan 2 saja. Mengapa kakek bilang ada banyak surat di bawah ranjangnya? Dasar pembohong.

Aku baca kedua surat itu. Tentu terlebih dahulu aku membuka surat pertama. Di dalamnya tertulis:

Kepada mantan istriku yang cantik. Aku masih mencintaimu

 

Apa kabar? Aku yakin kau masih bugar. Kudengar kau sering berolahraga di taman kota. Paru-parumu mungkin tetap baik dan tidak menghitam. Indahnya mempunyai paru-sehat. Sedang punyaku, kata dokter, sudah berubah hitam pekat. Maukah kau memberikan sebelah paru-parumu kepadaku? Agar aku mempunyai paru sehat sekaligus paru mengerikan. Ha! Ha! Ha! Leluconku sungguh berkelas, bukan? Aku mempelajari lelucon-lelucon indah dari televisi. Akhirnya, aku bisa menuliskan salah satu lelucon yang telah kupelajari pada surat ini. Aku harap engkau dapat meluangkan waktu untuk membaca suratku ini.

Aku begitu merindukanmu. Merindukan rumah kita yang telah kubakar pada malam Jumat yang sunyi. Polisi menangkapku dan aku dikerangkeng selama 10 bulan. Sangat sebentar bagiku. Sebab, penjara adalah tempat yang nyaman untuk merenung. Merenungkan dosa-dosa yang kuperbuat kepadamu, kepada diriku sendiri, dan kepada Tuhan. Dosaku menggunung. Tetapi, bukankah gunung dapat dihancurkan dalam sekejap dengan dinamit? Dengan porsi dinamit yang cukup, gunung bisa hancur berkeping-keping. Dan aku yakin dosaku bisa hancur dalam sekejap. Suatu hari nanti pasti akan hancur.

Mengapa kau tidak menjenguk tatkala aku mendekam di penjara? Apakah kau masih membenciku? Apakah kebencianmu telah kekal abadi di dalam hatimu? Bukankah agama kita melarang untuk membenci seseorang dalam waktu yang lama? Cepat tanggalkan rasa bencimu itu. Kehidupan damai akan kau peroleh ketika kau menanggalkan seluruh rasa benci kepada manusia. Rasa benci akan tergantikan oleh rasa cinta. Dunia akan lebih indah jika diliputi oleh cinta.

Semua terserah padamu. Aku tidak memaksa. Aku hanya menasihatimu. Lagipula kau punya akal dan perasaan. Kau tahu benar dan salah. Kau mengetahui ihwal dosa. Kau adalah wanita terpandai yang pernah aku kenal. Kedua orang tuamu adalah seorang ilmuwan hebat yang aku kagumi. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Aku mencintai wanita pandai sepertimu.

Surat ini akan kuakhiri. Aku harap kau membalasnya. Atau paling tidak membacanya. Jangan kau bakar surat ini. Terima kasih

 

Mantan suamimu

Anderson

Surat pertama yang indah. Tetapi aku belum menemukan alasan mengapa ada bendera Meksiko di kamar kakek. Mungkin ia menuliskan di surat kedua.

Surat kedua:

Untuk mantan istriku yang cantik. Aku masih mencintaimu

 

Halo. Maaf jika aku mengganggumu. Apakah kau sudah membaca surat pertamaku? Apakah surat itu sampai kepadamu? Kuharap sampai. Aku tidak mau suratku dibaca oleh tukang pos. Aku khawatir ia akan tersipu malu setelah membaca surat itu. Ha! Ha! Ha!

Bagaimana kabarmu? Rasa rindu ini semakin besar saja. Aku ingin lekas bertemu denganmu. Tetapi, anak kita yang perempuan itu melarang aku untuk menemuimu. Ia takut aku akan membunuhmu. Alasan yang konyol sekaligus tolol. Bagaimana mungkin aku membunuh seorang wanita sepandai dan sejelita dirimu. Ya, walaupun di dunia ini jumlah wanita begitu banyak, tetapi sulit bagiku untuk menemukan wanita persis sepertimu. Tampaknya hanya kau seorang makhluk istimewa yang pernah diciptakan Tuhan. Kecantikan dan kepandaianmu menjadi dua unsur yang mewah bagiku. Dan aku tidak menyangka bahwa aku pernah memilikimu.

Aku dan kamu menikah pada usia muda. Sebelumnya, kau sempat tidak ingin menikah karena merasa belum cukup umur. Aku setuju denganmu. Tetapi orang tuaku dan orang tuamu memaksa kita menikah pada usia muda. Aku pasrah, dan sepertinya kamu melakukan hal yang sama. Kau takut karena khawatir tidak bisa melayaniku dengan sempurna. Aku takut tidak dapat membantumu dalam bertahan hidup. Dan aku takut tidak dapat mempertahankan pernikahan ini. Kita takut. Pernikahan muda ini menciptakan rasa takut yang belum pernah kubayangkan sebelumnya. Kita bersama-sama berperang melawan rasa takut. Hingga aku terluka di medan perang dan mulai meminum alkohol. Aku kecanduan. Ketakutanku terwujud dan berbagai masalah mulai datang. Kita memutuskan untuk bercerai. Kau benci dengan tingkah lakuku. Kau kelaparan. Kau menderita. Sementara aku menghabiskan uang untuk mabuk. Lelaki macam apa aku ini.

Sekadar memberikan informasi, bahwa aku telah membeli tiang bendera dan bendera Meksiko. Meksiko adalah negara yang sungguh berjasa bagiku. Di negara itu, kita bertemu untuk bertama kali. Kita bermain cinta, bergulingan di taman kota, dan menulis puisi bersama di hotel tua berhantu. Kita menerbitkan puisi-puisi yang telah kita ciptakan bersama. Tingkat penjualannya begitu tinggi. Kita dikenal sebagai penulis puisi hebat pada masa itu. Kita bergelimang harta. Kita berbelanja barang-barang dengan harga tinggi sepuasnya. Kita tidak peduli uang kita akan habis. Bahkan, kau pernah menyarankan untuk membeli saja Meksiko. Negara itu menjadi milik kita selamanya setelah kita membelinya. Kita menjadi penguasa Meksiko. Aku menanggapi saranmu dengan tawa terbahak-bahak. Kita tertawa terbahak-bahak. Semua rakyat Meksiko tertawa terbahak-bahak setelah mendengar idemu. Tidak apa-apa. Setidaknya kau telah menghibur seisi negara dengan saranmu.

Meksiko mengingatkanku kepada paras wajahmu. Setiap kali aku memandang bendera Meksiko, aku mengingatmu. Kau dan Meksiko adalah pelipur hatiku yang runyam seperti ini. Terima kasih. Terima kasih. Terima kasih. Aku mencintaimu. Aku mencintai ayahmu. Aku mencintai ibumu. Aku mencintai Meksiko.

 

Mantan suamimu

Anderson

Tetiba, terdengan raungan sirine yang memekakan telinga. Mungkin polisi. Aku berlari menuju pintu utama rumahku untuk menyambut polisi-polisi itu. Ketika aku membuka pintu, mereka menembakku. Kakiku berlubang. Mereka menuduhku sebagai pembunuh kakek. Entahlah. Membuat kebencianku kepada polisi makin menggila.

Hifzha, Jurnalis LPM Rhetor dan mahasiswa AFI, UIN Sunan Kalijaga.

You may also like

Mengutuk Buku Itu

“Pokoknya semester depan aku mau bantu bapak di