PTN-BH: Berlomba-lomba Membangun Iklim Isapan Jempol

462
Ilustrasi/Nizar

Pada September 2022 lalu, UIN Sunan Kalijaga memberitakan lewat laman resminya mengenai rencana penggunaan sistem Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum PTN-BH. Dalam berita tersebut UIN berkunjung kepada beberapa kampus yang telah menganut sistem PTN-BH, salah satunya Universitas Brawijaya (UB). 

Disebutkan juga diskusi mereka ihwal elemen yang harus dipersiapkan sebelum menggunakan sistem tersebut. Menariknya, berita itu menyebutkan potensi keuntungan yang akan didapatkan ketika sistem PTN-BH resmi digunakan, “mahasiswa untung, negara juga untung.”

Jika bicara potensi, agaknya kabar itu kurang menyeluruh, sebab menyebutkan positifnya saja. Positifnya; mahasiswa dimungkinkan memperoleh fasilitas lebih baik, negara tidak perlu repot-repot turun gunung untuk meladeni hukum, keuangan, dan hingar-bingar kehidupan kampus. Nah, kira-kira apa negatifnya? Sebentar…

Kita berkaca dulu ke kampus tetangga, UGM yang dari tahun 2013 sudah menganut sistem PTN-BH. Kini, sistem itu telah melahirkan aturan uang pangkal yang lumayan memantik polemik. Meskipun UGM memiliki pondasi pendanaan –mitra bisnis– yang kuat, efek pengukuhan hak otonom ini tetap membawa mereka untuk merogoh saku mahasiswanya. Pada akhirnya yang diprediksi benar-benar terjadi, beberapa minggu lalu mahasiswa UGM turun aksi untuk menolak aturan yang merugikan mereka.

Sekarang beranjak ke UIN. Coba bayangkan, ketika UIN memiliki hak otonom penuh dalam mengelola keuangan, hukum, dan sebagainya, apa yang terjadi? Kemajuan? Entah dengan alasan apa orang tak curiga, transparansi keuangan UIN masih sangat layak dipertanyakan. Data terakhir yang  ditemukan, UIN hanya memamerkan dapur mewahnya pada tahun 2020, sisanya tenggelam entah kemana. 

UIN gagal memahamkan mahasiswanya untuk mengerti bahwa mereka tidak bermain api. Buktinya, transparansi dana yang terus ditagih tidak kunjung dibuktikan. Belum lagi transparansi dana yang pernah mereka bubuhkan masih banyak celah, bermacam detail yang dikeluarkan tidak mewakili bahwa anggaran dana ini benar-benar digunakan sebaik-baiknya. 

Sedikit catatan tersebut mewakili ketidaksesuaian kultur dan struktur kita untuk berinovasi. Lalu bagaimana ketika dihadapkan dengan sistem yang menyeluruh? Disinilah “Quo Vadis” berlaku untuk UIN.

“Quo Vadis” Hilirisasi Inovasi Kampus

PTN-BH selalu dielu-elukan berbagai macam pihak. Dengan digunakannya sistem ini, sebuah PTN dianggap memiliki status dan kualitas yang mumpuni dalam mengelola pendidikan. Kemandirian tersebut memperluas kewenangan kampus untuk menarik pungutan-pungutan selain UKT. Itulah yang seharusnya kita khawatirkan.

Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH), secara definisi, merupakan perguruan tinggi negeri yang didirikan oleh pemerintah dengan status berbadan hukum yang otonom. Dan hingga saat ini, 21 kampus negeri di Indonesia menyandang status badan hukum tersebut.

Untuk merubah status kampus menjadi PTN-BH, UIN harus memenuhi regulasi yang ditentukan oleh pemerintah. Sebagaimana dijelaskan dalam UU no 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi pada Pasal 66 ayat (2) bahwa statuta PTN-BH ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Artinya tiap PTN memiliki regulasi atau peraturan pemerintah yang berbeda. 

Inti dari segala perubahan ini, tidak lain untuk memajukan perguruan tinggi ke kancah internasional atau biasa kita sebut “berinovasi”. Tentu orang-orang yang malas mengkaji, tidak skeptis, bahkan tidak melakukan upaya apapun seperti saya, akan rentan tergiur dan membiarkan sistem ini berlaku.

Akhirnya saya bertanya pada saya, “untuk apa pendidikan?” Saya lalu berbisik, “pendidikan bukan hanya soal inovasi, mendunia, apalagi soal bisnis.” Kemudian melanjutkan, “pendidikan punya banyak cara, banyak tujuan, bahkan jika boleh ditarik ke bawah tanah dan menggali realitas, pendidikan kita punya banyak masalah”. Di situlah letak berbelitnya pikiran saya.

Namun, apa boleh buat. Di tengah keruncingan “pendidikan” yang belum selesai sedari awal, isu pendidikan di UIN mencuat. UIN mencoba memantaskan diri untuk ikut serta berlari merebut kaliber “mendunia”. Saya tidak merasa cakap berkomentar, hanya saja selalu merasa ingin menanggalkan pertanyaan. Apakah keputusannya untuk “mendunia” ini dibarengi dengan kesiapan? 

Kita mulai dari sistem subsidi. Dalam UU Pendidikan Tinggi Pasal 19 Ayat (48) Tahun 2022, BKT dan proporsi maksimal jalur mandiri PTN ditetapkan oleh Mendikbud Ristek tanpa melihat bentuk PTN. Pengaturan paling sedikit 20 persen dari mahasiswa baru PTN berasal dari kategori kurang mampu tetap dipertahankan. Selain itu, PTN tidak diperkenankan mempertimbangkan kemampuan ekonomi mahasiswa dalam penerimaan mahasiswa baru.

Artinya, tidak serta merta PTN bisa meloloskan para calon mahasiswa dari keluarga berada dan menggugurkan mahasiswa yang berasal dari keluarga kurang mampu. Lalu, ketika PTN tidak memasukkan mahasiswa dari keluarga berada sebagai penyokong dana, lalu darimana uangnya? Mengandalkan pemerintah? katanya sistem mandiri?

Yang kedua, perubahan PTN menjadi PTN-BH memang tidak mengurangi subsidi pemerintah terhadap berjalannya PTN, ini sedikit menjawab soal pertama. Namun, itu saja belum cukup. Berdasarkan penghitungan yang beredar, subsidi BOPTN hanya mampu menutupi beberapa persen biaya pendidikan seperti gaji dosen dan biaya operasional lain. Sisanya bersandar pada pengelolaan aset kampus.

Sesuai aturan yang terurai dalam Pasal 1 ayat (3) PP Nomor 58 Tahun 2013, PTN-BH harus menjadi subyek hukum yang otonom serta mandiri. Beberapa bentuk otonomi yang diberikan yakni, setiap PTN harus memiliki pondasi-pondasi yang kuat di sektor keuangan, wewenang mendirikan badan usaha. Bahkan “PTN bisa” mengelola dana secara mandiri, transparan dan akuntabel.

Sayangnya, di segi keuangan UIN belum elok dilabeli sebagai perguruan tinggi yang mandiri. Dikutip dari pusatbisnis.uin-suka.ac.id, meskipun memiliki usaha mandiri seperti hotel, penyewaan gedung MP, dan unit lainnya, UIN tidak banyak menjalin mitra dengan komponen yang dapat setidaknya menutupi lubang anggaran dana. Boleh saja Anda komparasikan dengan kampus-kampus lain yang telah berstatus Badan Hukum seperti UGM atau UNY.

Dari liputan lpmrhetor yang berjudul “Kisah Mahasiswa Baru: Gembira Saat Pengumuman Kelulusan, Kini Dipatahkan dengan Besaran UKT yang Harus Mereka Bayar” kita bisa belajar, sebelum PTN-BH diresmikan, beberapa mahasiswa sudah megap-megap menghadapi pembayaran UKT yang baginya tidak sesuai, apalagi ketika nantinya diresmikan. 

Begitu juga pada penurunan UKT. Dalam status BLU, prosedur penurunan UKT sangat sulit, UKT bisa turun hanya dalam beberapa kondisi, seperti kemalangan yang menimpa mahasiswa. Tidak mungkin ketika mahasiswa ingin melakukan banding UKT dengan alasan sebenarnya adalah perekonomian harus menunggu datangnya kemalangan menimpa mereka.

Akhirnya, kita dilatih untuk tetap waspada terhadap wewenang penuh UIN terhadap pengelolaan pendidikan ini dengan cara apapun. Salah satu jalannya yaitu, menanam kecurigaan sepenuhnya terhadap sesuatu yang sifatnya kekuasaan, bahkan sampai resiko terburuk. 

Kembali ke “pendidikan”. Coba renungkan, mungkin ketidakpahaman saya terhadap realita pendidikan hari ini yang semakin berbau pengelolaan keuangan, inovasi, dan sebagainya, itu semua sebuah keharusan. Atau sebaliknya, ternyata pendidikan menjadi sebuah stereotip yang mengharuskan kita untuk melembaga, sehingga mempersempit gerak, wawasan, dan dinamika kita dalam mencari ilmu. []

Penulis: Naufal Zabidi

Editor : Muhammad Rizki Yusrial

You may also like

Ruang yang Berubah, Keyakinan yang Berganti

Suatu kebenaran pahit harus diketahui dan dihadapi. Hasrat