Marco Kartodikromo, Satria Sejati yang Sebenarnya

1652

“Saya berani bilang, selama kalian rakyat Hindia, tidak punya keberanian, kalian akan terus diinjak-injak dan hanya menjadi seperempat manusia.”

~Marco Kartodikromo~

Marco Kartodikromo, atau lebih dikenal dengan Mas Marco adalah pria kelahiran Cepu, Blora, Jawa Tengah. Tahun 1905 ketika ia berumur 15 tahun ia bekerja sebagai pegawai perkeretaapian Nasional (Nederlandsch Indisch Spoorweg), Semarang.

Pria kelahiran 28 Maret ini termasuk golongan priyayi rendahan kala itu. Takashi Shiraishi dalam Buku Zaman Bergerak mengatakan, Mas Marco adalah lulusan sekolah bumiputera angka dua di Bojonegoro dan sekolah swasta bumiputra Belanda di Purworejo.

Kemudian ia memasuki Dinas Kehutanan sebagai juru tulis rendah sekitar 1905.
Dilihat dari segi pendidikan, ia masih rendah ketimbang Tirtoadhisoerjo, Tjokroaminoto, dan Soewardi. Mereka mendapat pendidikan terbaik di Hindia. Ketiga tokoh itu dapat menulis dengan baik, membaca dan berbicara dalam Belanda dengan fasih. Berbeda dengan Mas Marco, ia dapat membaca bahasa belanda, tetapi kemampuan menulis dan berbicaranya tidak terlalu baik.

Dari pekerjaannya di NIS Semarang, Mas Marco hijrah ke Bandung berniat ingin menjadi jurnalis. Ia merasa di tempat kerjanya ada praktik diskriminasi dari pemilik perusahaan. Kebijakan yang diterapkan cenderung rasis. Menjadikan ras sebagai dasar jumlah upah, kelas-kelas di gerbong kereta dipisah menurut ras dan warna kulit, adalah praktik diskriminasi menurut Marco.
Hingga akhirnya Marco pindah profesi menjadi jurnalis pada tahun 1911 di Bandung. Medan Priyayi, media milik Tirto Adhi Soerjo adalah tempat kerjanya yang kedua setelah NIS. Di sinilah ia memulai karir nya sebagai wartawan. Mas Marco dipercayakan sebagai tangan kanannya Tirto selain ia sebagai pegawai magang.

Tak lama dari kejayaan Medan Priyayi yang telah berhasil mencetak pembaca hingga dua ribu eksemplar, pada tahun 1912 Medan Priyayi harus gulung tikar karena tulisan yang bernada subversif dalam mengkritik kebijakan pemerintah Hindia Belanda saat itu. Bagian ini digambarkan dengan baik oleh Pramoedya Ananta Toer dalam roman ketiga Jejak Langkah.
Setelah Medan Priyayi bangkrut, ia pindah ke Surakarta bergabung dengan Sarotomo sebagai editor dan administrator atas undangan Martodharsono.

Tulisan yang berujung penjara
Tulisan-tulisan Mas Marco cenderung meniru gaya mentornya di Bandung, Tirto dan Soewardi. Hal itu terbawa sampai ke Surakarta, ia menerbitkan surat kabar sendiri dan mengatakan apa yang ingin dia katakan. Tak peduli berapa banyak yang menghalanginya, bahkan seperti yang digambarkan Takashi dalam Zaman Bergerak, ia senang akan keterlibatannya dengan delik pers yang berujung penjara. Ia sendiri menganggap penjara adalah tempat semedinya para satria sejati.
Mas Marco dalam Vergedering, Juli 1915 ketika ia naik banding, mengatakan bahwa, “Saya berani bilang, selama kalian rakyat Hindia, tidak punya keberanian, kalian akan terus diinjak-injak dan hanya menjadi seperempat manusia.”

Baginya, satria sejati yang dijuluki oleh rakyat Hindia dan berada di bawah naungan pemerintahan Hindia, itulah yang sebenarnya satria cari enak atau satria palsu. Hal tersebut dikatakannya dalam surat balasan Soewardi ketika Marco berasa di dalam penjara.

Marco Kartodikromo, tak puas dengan kritikan yang dilancarkan Soewardi dalam bahasa belanda yang bernada lembut dan sopan kepada pemerintah Hindia. Ia mendirikan Inlandsche Journalistenbond (IJB) di Surakarta pada 1914. Ia mencoba untuk menerbitkan Doenia Bergerak sebagai medianya IJB karena kelebihannnya sebagai jurnalis. Marco menduduki jabatan ketua, Sosrokoernio sebagai sekretaris, dan H. Bakri (pedagang batik) sebagai bendahara.

Doenia Bergerak menjadi media yang sangat radikal saat itu. Marco terutama, melancarkan perang suara kepada D.A. Rinkes, penasehat urusan bumiputera. Suaranya yang tegas dan tajam cukup membuat pemerintah saat itu kocar-kacir.
Sebelumnya Marco juga melancarkan serangan kepada Welvaartscommissie dengan singkatan WC dalam Sarotomo, yang kemudian mengundang kontroversi terutama dari Rinkes, sehingga mengirim surat kepada Samanhoedi sebagai Pemred Balai Pustaka untuk menegurnya. Dan suratnya Rinkes dimuat berjejeran dengan tulisannya sendiri dalam Doenia Bergerak yang berjudul “Pro of kontra Dr. Rinkes.”

Doenia Bergerak terus digencarkan hingga pertengahan 1915. Selama belum dibubarkan pemerintah Hindia, Marco banyak menulis artikel dan memuat surat pembaca dalam Doenia Bergerak dengan seruan “Kita semua manusia.” Keadaan saat itu sedang ketatnya peraturan pers di Hindia, seperti yang telah disinggung di atas, Marco dituntut dengan tuduhan delik pers, dan itulah yang selama ini ditunggu-tunggu.

Hingga akhirnya ia pun harus mendekam dalam penjara selama tujuh bulan. Namun, bantuan yang datang dari Insulinde dan Indische Sociaal-Democratische Vereninging (ISDV) yang didirikan Henk Sneevliet pada Mei 1915, mencari jalan untuk mempengaruhi bumiputera mengambil inisiatif memprotes hukuman terhadap Marco dan peraturan Pers di Hindia.

Kini, Mas Marco hanya bisa mendekam di penjara, sebelumnya Sosrokoernio membuat kampanye penghimpunan dana untuk membantu keluarga Marco dan mengirim Marco ke Belanda agar masalah peraturan pers sampai ke Tweed Kamer. Tapi uang yang tekumpul belum cukup untuk memberangkatkannya, bahkan kurang untuk membantu keluarga Marco.
Saat situasi yang mencekam itu tidak dapat lagi menelurkan solusi, Goenawan yang dituduh satria maling oleh Tjipto, muncul dan ingin memanfaatkan kesempatan ini dengan memberikan bantuan kepada keluarga Marco sebagai satria sejati. Dan ketika Marco bebas, Goenawan mengirim Marco sebagai koresponden khusus Pantjaran Warta, medianya Goenawan. Dan ia tinggal di Belanda selama lima bulan. Selama di Belanda, ia berhasil menulis sebuah novel Student Hidjo. Lalu kembali ke Jawa pada Februari 1917, dan bergabung dengan Pantjaran Warta pada 13 Februari.

Tak jauh beda dengan tulisan sebelum, ia kembali mendekam dalam penjara, artikel-artikelnya yang radikal dan tajam, terus dilancarkan kepada pemerintihan Hindia, ia mengaungkan persamaan antara pribumi dan orang Eropa dengan jargon “sama rata sama rasa.” Ia berkampanye menantang milisi bumiputera dan Indie Weerbaar. Dari tindakannya itu, menjelang seminggu setelah kembalinya dari belanda, lagi-lagi kembali ke kediamannya (penjara) selama setahun.

Bergabung dengan SI yang berujung pembuangan
Selama ia berada di dalam penjara Waltevreden, zaman semakin bergerak, pemogokan yang dipimpin Semaoen di Semarang pada 1917 semakin militan, gerakan-gerakan buruh mulai bermunculan dan beraksi.

Marco menulis sebuah syair ketika di dalam penjara dengan judul “sama rata sama rasa.” Dalam syair itu dia menggambarkan dirinya yang ingin bergabung di atas arena bersama para satria sejati. Sekeluarnya dari penjara, ia bergabung dengan SI Semarang sebagai komisaris. Dari sinilah ia dituduh terlibat dengan pemberontakan PKI pada Februari 1926. Dan semua yang terlibat dalam pemberontakan itu dibuang ke Papua, Boven Digoel.

Sebelum bergabung dengan SI, Marco lagi-lagi terkena delik pers yang berujung penjara selama enam bulan pada 1920 karena syair sentot dan artikel Regent Bergerak yang dimuat di Doenia Bergerak. Penjara seakan tempat kembalinya.

Selang satu tahun ia berproses di bidang jurnalistik, ia kembali ke kediamannya karena tulisan Matahariah (matahari sebagai mata-mata belanda) dan Rahasia Keraton Terboeka selama dua tahun.

Akhir hayat Marco
Karena keterlibatannya dalam PKI, yang pada waktu itu sedang gencarnya pergerakan yang didominasi oleh PKI dan SI merah yang kemudian berubah nama menjadi Syarikat Rakyat, dan ia menjadi ketua Syarikat Rakyat pada 1923 di Salatiga, Semarang.

Marco harus mengakhiri aktivitas jurnalistik maupun pergerakannya setelah terjadinya pemberontakan PKI 1926. Ketika di Boven Digoel, Marco terkena penyakit malaria dan meninggal di sana pada 1932.

 

 

You may also like

Cerita Seorang Dosen Difabel Daksa: Sulit Cari Kampus, Infrastruktur Tak Ramah Difabel, hingga Stigma Negatif di Masyarakat

Selagi ruang publiknya aksesibel dan sistem sosialnya mendukung,