Di Antara Penguasa dan Pengusaha

1309
Sumber: suarapemredkalbar.com

Semua pihak wajib menaati perjanjian yang telah disepakati.

Pacta Sunt Servanda!

Sri Sultan Hamengku Buwono X yang terhormat, izinkan saya untuk mengulik sedikit persoalan penggusuran pedagang kaki lima (PKL). Di mana tanah tempat mereka mengais rezeki sudah diizinkan untuk dipergunakan oleh Almarhum Ayahanda Yang Mulia Baginda Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Almarhum Yang Mulia Baginda Raja Sri Sultan Hamengku Buwono IX memiliki sultan ground yang berada di jalan Brigjen Katamso, Prawirodirjan, Gondomanan, Yogyakarta. Pada tahun 1960-an, tanah sultan itu dengan hati yang tulus dan penuh cinta diberikannya pada rakyatnya: pedagang-pedagang yang berjualan. Di antara pedagang itu ada orang tua dari PKL yang saat ini sedang menghuni tempat tersebut. Sungguh mulianya Sultan.

Tak sedikit PKL yang menempati tanah Sultan pada masa itu. Namun, dengan munculnya kasus sengketa lahan akibat surat kekancingan membuat beberapa PKL angkat kaki dari tempat yang selama ini membantu perekonomiannya. Mungkin takut sama sultan polisi yang akan menggusur paksa dagangan mereka.

Hingga akhirnya, hanya ada lima (5) pedagang yang tetap bertahan. Kelima pedagang itu adalah Budiono tukung kunci, Agung (anak Budiono) tukang kunci, Sutinah penjual nasi rames, serta pasangan suami istri, Sugiyadi dan Suwarni penjual bakmi.

Persoalan tentang tanah ini bermula dari tahun 2010, ketika PKL mengajukan surat kekancingan kepada Panitikismo (lembaga Keraton yang mengelola tanah kesultanan), tetapi pengajuan surat itu ditolak oleh Panitikismo, ntah dengan alasan apa. Mungkin kurang suntikan… ah sudah lah.

Anehnya, setahun kemudian (2011), Eka Aryawan, si Pengusaha  kaya yang mengajukan surat kekancingan untuk melegalkan Hak Guna Bangunan (HGB) justru diterima oleh Panitikismo. Mungkin kerabatnya, atau si bung kecil dengan Panitikismo sudah janjian duluan. Barangkali 50 tahun ke belakang, positif thinking aja lah ya, pun kalau masih ingin menerka-nerka alasan lain juga diperbolehkan.

Selembaran surat tertanggal 28 November 2011, Panitikismo lewat Hadiwinoto menerbitkan surat kekancingan untuk Eka Aryawan, si kapitalis pengusaha kaya. Dalam surat itu tertera Keraton Yogyakarta memberikan izin kepada Eka Aryawan untuk memakai lahan 73 m2  (baca: 73 meter persegi). Diatas sebagian kecil tanah itu terdapat pedagang kaki lima yang menggantungkan hidup mereka pada usaha membuat kunci, warung nasi rames, dan warung bakmi. Katanya (Eka), PKL ini menduduki 28 m2 tanah keraton yang dipinjamkan untuknya. Ntah apa yang merasuki mu, apakah karena PKL ini yang menutupi pemandangan toko mainan mu, ataukah merasa kotor halaman toko mu dengan kehadiran mereka? Mbuh.

Oke, kalau itu yang diinginkan si pengusaha kaya itu, mari kita menilik ulang bersama-sama. Tahun 2013, telah dilakukan pengukuran yang disaksikan langsung oleh ketiga belah pihak (kuasa hukum Eka, Kuasa hukum PKL dari LBH, dan petugas Polsek Gondomanan Inspektur II Joko Triyono).

Dan apa hasilnya? Dalam 73 m2  tanah Eka, kawan-kawan PKL hanya menggunakan sedikit dan mereka hanya perlu bergeser beberapa meter ke arah selatan. Pada tahun itu pula, telah ditandatangani surat kesepakatan oleh masing-masing pihak sebagai jalan tengahnya.

Surat kesepakatan yang telah ada bukan berarti menyelesaikan masalah. Pada tahun 2015, Eka kembali berulah.

Hadeuh, Yawloh. Kok tega ya seorang yang memiliki banyak sedikit harta titipan-Mu, menindas orang yang berada di bawahnya. Tidak tanggung-tanggung, Eka menggugat PKL dengan tuntutan membayar uang sebanyak 1.12 M (miliar bukan meter). Si kapitalis pengusaha kaya berujar, uang tersebut adalah ganti rugi atas beban pikiran dan materi yang tidak bisa diprediksi.

Hm, pintar betul Eka itu, minta ganti rugi atas beban pikiran kepada pedagang kecil. Ntah bagaimana ceritanya, hawong nominal itu tentu tidak sedikit bagi para pedagang. Uang satu juta saja tidak pernah meraka pegang.

Setelah melempar batu (menggugat) pun, Eka tidak pernah sekalipun menampakan batang hidungnya dalam mediasi yang difasilitasi oleh Panitikismo. Hadeeeeh, gimana masalah bisa diselesaikan, bung? Hadir aja emoh. Kita mana tau permainan di belakang layar kalau tidak dinampakkan secara gamblang. Hmm.

Pada gugatan awal, sebenarnya Eka telah menang, meski Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta hanya mengabulkan sebagian gugatan Eka dan gugatan uang senilai 1.12 M ditolak.

Ya gimana ya, entah strategi atau emang merasa kurang puas, Si kapitalis pengusaha kaya mengajukan banding. Pada 22 Juli 2016, semua gugatan dikabulkan melalui terbitnya putusan No.36/PDT/2016/PTYYK. Kenapa PN mengabulkan gugatan yang awalnya tidak dikabulkan ya? Monggo gugling, kalaupun ada.

Hm, kebayang ngga? Bagaimana beratnya (tentu lebih dari isi dan beban kepala si bung kecil) beban yang ditanggung oleh PKL yang hanya menggantung hidupnya pada dagangan kecil? 1.12 M bro and sist, bukan 1.12 juta.

Jika pun diperbolehkan mengangsur, PKL rela membayar dengan uang seadanya, meski entah harus menjadi hutang berapa turunan agar 1.12 M tersebut bisa lunas. Asalkan, jangan mengambil tempat meraka mencari rezeki.

Endingnya dapat kita tebak, rakyat kecil pasti kalah. Penguasa dan pengusaha terus membohongi mendidik rakyat dengan berbagai mantranya.

Selasa, 12 November 2019, tempat yang selama ini berfungsi sebagai penopang utama dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga PKL akan dikosongkan. Kasus ini meyakinkan kita bahwa Yogyakarta adalah kota yang sangat istimewa untuk rakyatnya tapi bukan untuk rakyat kecil.

Si Pengusaha kaya juga rakyat! Betul, rakyat yang menindas rakyat.

Pertanyaannya, kemana perginya mukti bareng warga yang merupakan janji Sultan Hamengku Buwono X kepada Almarhum Ayahanda Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada tahun 1988?

Auk ah, kzl.

Sebelum udahan, kita ngomongin hukum sebentar.

Kasus ini sebenarnya semakin meneguhkan kontradiktif dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Pasal 4 huruf b dinyatakan pengaturan keistimewaan DIY dilaksanakan berdasarkan asas kerakyatan.

Kerakyatan yaa, bukan asas penguasa. Artinya, mengutamakan kepentingan rakyat dalam semua pengambilan keputusan. Dalam pasal 5 ayat 1 huruf b pun kembali diingatkan, bung. Pengaturan keistimewaan DIY bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan ketenteraman masyarakat.

Ya mungkin pengertian rakyat dalam kamus mereka (pemegang kebijakan) lebih eksklusif. Jadi, hanya golongan menengah ke atas yang diberi “keadilan”.

Mari kita tilik HAM. UUD 1945 Pasal 28 H ayat 1, jelas tertera bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin. Ada lagi, Bab III Pasal 9 Ayat 1 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sudah sangat tegas di jelaskan. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.

Pasal 1338 Ayat 1 KUHP menegaskan, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Berarti para pihak wajib menaati perjanjian yang telah disepakati (pacta sunt servanda). Jelas?

Dari yang bung dan tante baca diatas, apakah kebijakan ini sudah sesuai dengan kepentingan rakyat? Apakah ke lima PKL itu merasa nyaman berada di bumi pertiwi? Sudahkan pemerintah mengutamakan kepentingan rakyat, dengan tidak hadirnya Eka dalam mediasi yang diadakan PKL? Bung dan tante pasti bisa menilai.

Sudahkah pacta sunt servanda ditegakkan di bumi pertiwi? Mari tanya ke Sultan Pengadilan Negeri.

Semoga tenang di alam sana, Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Salam keadilan dari rakyatmu.

Muhammad Nizarullah, Wartawan LPM Rhetor dan Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga.

You may also like

Eco Lifestyle Seminar: Langkah Awal Bebas Sampah di Lingkungan Akademi

lpmrhetor.com – Komunitas Mahasiswa Pecinta Alam Sunan Kalijaga