Tidak Ada Acuan Pasti, Pentingnya Memahami Ketentuan Penghinaan yang Ada di KUHP

457
dok/yus/webinar

Lpmrhetor.com- Masih banyak kesalahan aparat penegak hukum dan akademisi dalam memahami ketentuan-ketentuan penghinaan yang ada pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal inilah yang disampaikan oleh Asril, Peneliti senior Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) dalam webinar LOGOS.ID yang bertajuk “Apa itu penghinaan? Tentang Pasal Penistaan Agama dari Sudut Pandang Hukum dan Filsafat”. pada Sabtu (09/07/2022).

Arsil mengatakan bahwa penghinaan hanya dapat dikatakan menghina bila ada maksud untuk menyerang kehormatan. Penilaian subjektif pribadi yang merasa dirinya terhina oleh orang lain, belum bisa dikatakan penghinaan. Dalam hal ini, niat pelaku merupakan acuan penting dalam hukum untuk menentukan perlakuannya masuk penghinaan atau bukan.

“Ukuran penghinaan bukan ada pada si korban merasa terhina atau tidak. Ukurannya justru ada pada perbuatan orang [pelaku] tersebut. Apakah ada maksud untuk menyerang kehormatan atau tidak, soal bagaimana membuktikan niat [penghinaan], dalam hukum itu bisa,” ujar Arsil.

Syarif Maulana, akademisi STF Driyarkara juga mengatakan walau sulit dibuktikan, niatan merupakan salah satu bagian dari cakupan penghinaan. Meski kata-kata yang keluar dari mulut pelaku adalah sebuah fakta, tapi jika ditemukan niatan menghina maka hal tersebut akan menjadi penghinaan.

“Ada orang gemuk kita sebut gemuk , tapi kita ada itensi menghina. Nah itensi ini dari mana? Ya agak susah ya, mungkin dari eskpresi-ekspresi nonverbal itu bisa kelihatan ya, tapi tetap sukar,”

Selain niatan lanjut syarif, humor juga bisa membantu memberikan penjelasan terkait penghinaan karena berada pada sisi yang berlawanan. Pada dasarnya, penghinaan memberikan dampak yang tidak menyenangkan. Sementara humor, setidaknya mampu membuat senyum atau tertawa. Meskipun menurut Syarif perkara dampak humor ini masih jadi perdebatan.

Dalam diskusi tersebut, calon Doktor Filsafat itu melempar sebuah pertanyaan. Bila ada pelawak yang niat melucu tetapi penonton tidak tertawa, apakah hal tersebut bisa disebut humor? Pertanyaan ini sejalan dengan pernyataan Syarif terkait niatan tadi. Jika ditarik dalam bahasan penghinaan, apakah hal tersebut bisa dikatakan menghina bila ‘korban’ merasa terhina sementara ‘pelaku’ tidak ada itensi terkait hal tersebut.

Ia melanjutkan bahwa humor dan penghinaan sama-sama tidak memiliki ukuran yang pasti. Barometer yang digunakan masih belum jelas, sehingga dampak sakit hati yang diterima ‘korban’ belum cukup untuk menentukan apakah perbuatan ‘pelaku’ termasuk dalam kategori penghinaan.

“Terus homur itu ukurannya apa? Seberapa kuat dampaknya? Sama seperti penghinaan ya, jadi kalau masih sakit hati yang sifatnya sedikit apakah sudah bisa menjadi penghinaan atau harus sesuatu yang intens, berat dan menyentuh harga diri historisitas dan lain sebagainya,” imbuh Syarif.

Sebagai peneliti hukum, Asril berkata bahwa hukum itu ada untuk membuat kepastian. Jika hukum malah membuat sesuatu menjadi tidak pasti (seperti pasal penghinaan), maka lebih baik tidak ada hukum. Jika pasal ini tetap dicantumkan dalam KUHP, maka pembuat hukum harus memberikan penjelasan tentang pasal ini agar hilangnya keraguan pada masyarakat.

“Masyarakat menjadi takut bersuara atau tidak. itu yang seharusnya dilakukan oleh para hakim [membuat putusan yang tidak menimbulkan rasa takut atas perbuatan yang bukan termasuk penghinaan] dan dari kasus-kasus itu bisa dijadikan pelajaran buat penegak hukum dan masyarakat untuk lebih pasti mengetahui perbuatan yang seperti apa yang tidak boleh dilakukan,” pungkas Asril. []

Reporter: Alfin Padhli

Editor: Muhammad Rizki Yusrial

You may also like

Pameran “From the Wall To the Sea”: Meninjau Kembali Hegemoni Isu Agama dengan Solidaritas Kultural

lpmrhetor.com- Selepas hujan sehari penuh di Yogyakarta, para