MENJADI WISANGGENI
Masih terjaga nona?
Ingin secangkir teh? Atau sepotong hati?
Jika nona berkenan
Akan saya buatkan
Teh yang gulanya dari luka saya sendiri
Cukup getir untuk dinikmati
Atau nona agaknya menginginkan sepotong hati?
Yang cukup pantas untuk hidangan siap saji
Dengan garnis janji dan sebilah belati
Bukankah sakitnya layak
Untuk mengabadi?
Atau nona menginginkan satu dan lain hal?
Jika demikian
Nona bisa panggil nama saya
Jika dibutuhkan
Nama saya masih sama
Dan bukan milik siapa-siapa
Nona bebas memanggilnya kapan saja
Dengan bismillah tiga kali
Setelah pukul nol nol dini hari
Dilengkapi kemenyan arab
Dan bunga melati
Serta kalimat
“Ya waja’ul qolbi minal badani”
Sebanyak seribu kali
In syaallah nona
Saya datang membawa peti mati
Oh tidak nona..
Tentu saya tidak berniat untuk menyakiti
Namun
Sudah saatnya batari durga untuk mati
Ya, nona..
Saya wisanggeni
Putra arjuna dan dewi dresanala
Cucu dari Batara Brama
– Alam Malakut, 4 Jumadilawal 1955 – Alip Upah, Julungpujut
MENULIS PUISI
Dulu menulis puisi harus diawali dengan kata “oh” Seperti
“Oh ibu.. ”
“Oh guruku.. ”
Kemudian kini
Puisi harus diciptakan dari hujan dan kopi
Kemudian nanti
Puisi akan menulis kita
Menjadi kalimat
“Sungguh malang nasib penulisku,
biar ku gantikan perannya menciptakan dirinya sendiri”
– Alam Malakut, 1 Jumadilakir 1955 – Alip Rabu Legi, Tambir
MENYEMBAH MALAM
Wahai gelap malam
Lindungi kami dari
Hari esok yang mungkin kejam
Sembunyikan kami dari terang
yang menggaris bawahi segala kelemahan
Kami tetap ingin terlihat kuat meski hujan, badai, juga halilintar
Kami tetap ingin terlihat semangat meski
Tidak mempunyai ayang
Lantas dengan demikian
Apa boleh kami menyembahmu dengan puisi dan pena yang kami genggam?
-Alam Malakut, 26 Jumadilakir 1955 – Alip Minggu Legi, Manahil
Nizar Wildan Aulia, Mahasiswa Semester 2 Program Studi Bimbingan Konseling Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.