Judul : Blok Pembangkang : Gerakan Anarkis Di Indonesia 1999-2011
Penulis : Ferdhi F. Putra
Penerbit : EA Books
Tebal : xi + 200 Halaman
Cetakan : Pertama, April 2022
ISBN : 978-623-5280-01-1
“Sebelum dikenal sebagai gerakan politik, anarkisme lebih dulu dikenal sebagai gerakan moral, bahkan hingga hari ini. Para anarkis adalah orang-orang yang menjadikan nurani dan kebebasan mutlak sebagai pijakannya. Mereka tidak menoleransi gerakan yang berorientasi kekuasaan, karena bagi mereka keinginan berkuasa menjadi awal pondasi, manipulasi, dan ekspoitasi satu kelompok atas kelompok lainnya”.
Ramai-ramai di pertigaan UIN Sunan Kalijaga itu sudah terjadi empat tahun yang lalu. Namun hingga kini, potongan-potongan kisah yang terjadi saat itu masih kerap disebut oleh beberapa kalangan mahasiswa di Jogja. Waktu itu, tanggal 1 Mei, sekelompok massa aksi berpakaian hitam-hitam memperingati hari buruh internasional dan melakukan pembakaran terhadap pos polisi yang berada di pertigaan itu. Buntutnya warga dan preman bersama dengan polisi melakukan sweeping ke area kampus UIN Suka. Mereka juga melakukan pemukulan ke mahasiswa dan merusak fasilitas kampus. Akhirnya, 69 orang ditangkap dan diangkut ke Mapolda DIY (lpmrhetor, 2018).
Setahun berikutnya, di Bandung, ratusan peserta aksi berpakaian hitam-hitam kembali meramaikan peringatan hari buruh internasional. Kericuhan pecah. Sebanyak sekitar 619 orang diculik polisi. Kapolri Jenderal Tito Karnavian menuduh kelompok Anarko-Sindikalis sebagai aktor pemicu kerusuhan. Pada kerusuhan itu, dua jurnalis yang sedang meliput mengalami tindak kekerasan dari anggota polisi.
Dari dua peristiwa tersebut, kelompok Anarkis hanya dipandang sebagai pelaku kerusuhan, kekerasan, citra negatif dan hampir selalu menjadi tertuding atau biang keladi dalam setiap demontrasi yang berakhir rusuh. Apakah kelompok Anarkis sengaja melakukan kerusuhan dalam setiap aksi demontrasi?
Errico Malatesta (1853-1932) seorang pemikir Anarkis asal Italia mengatakan bahwa kekerasan diperlukan untuk menumbangkan pemerintah—lebih tepatnya seluruh pemerintah—sebab mereka juga menggunakan kekerasan agar kita mematuhi mereka. Selain itu, Mikhail Bakunin pernah berkata dalam The Reaction In Germany (1824) bahwa “hasrat merusak adalah juga hasrat kreatif,” yang oleh kelompok Anarkis dijadikan “legitimasi” untuk melakukan aksi-aksi perusakan. Oleh sebab itu, sesungguhnya tak ada yang salah jika Anarkisme dikaitkan dengan kekerasan. Namun menjadi persoalan ketika kekerasan tersebut dilepaskan dari konteksnya. (hlm. 5)
Seringkali kita membaca tulisan di media mengenai organisasi massa aksi yang melakukan demontrasi dan berakhir dengan tindakan “anarkis”. Padahal sudah jelas organisasi massa aksi tersebut bukan dari kelompok Anarkis. Atau pun saat polisi bertindak “anarkis” ketika bentrok dengan demonstran, padahal “anarkis” dan “kepolisian” adalah dua hal yang berbeda dan bertolak belakang. Hal ini sering disalah pahami pada penggunakan diksi “anarkis” antara “kerusuhan atau kekacaun”.
Jika pemahaman kita pada anarkisme hanya terbatas pada konsep kekerasan dan kerusuhan, tentu hal ini salah kaprah. Anarkisme sendiri mengajarkan kepada kita mengenai gagasan kehidupan sosial, kesejahteraan, kebebasan tanpa adanya paksaan, dan tanpa adanya sebuah otoritas yang menindas. Yang di mana masyarakat dibangun dengan solidaritas swakelola maupun swadaya.
Dalam buku ABC Anarkisme, Alexander Berkman menjelaskan bahwa anarkisme berarti sebuah kondisi masyarakat di mana semua laki-laki dan perempuan bebas, dan di mana semua menikmati kesetaraan dan manfaat dari kehidupan yang teratur dan masuk akal.
Pada awal perkembangannya anarkisme dan marxisme memiliki semangat yang sama: semangat menentang kapitalisme. Namun dalam perjalanannya, pada kedua ideologi ini terjadi ketidaksepahaman. Selain kapitalisme, Bakunin dan kubu Anarkis menganggap negara sebagai salah satu biang keladi dari penindasan. Menurut Bakunin kebebasan dan sosialisme harus menjadi salah satu paket untuk mencapai Sosialis seutuhnya. Sesuai dengan pendapat Bakunin yang mengatakan “kebebasan tanpa sosialisme adalah privilese, ketidakadilan: Sosialisme tanpa kebebasan adalah perbudakan dan kebrutalan”. Sedangkan Marx dan kelompok Marxis menganggap negara sebagai alat perjuangan menuju gerakan pembebasan menuju masyarakat sosialis. (hlm. 7)
Hal inilah yang membedakan anarkisme dengan marxisme: kelompok Anarkis menginginkan pembubaran negara dan kapitalisme, sedangkan kelompok Marxis hanya menginginkan pembubaran kapitalisme tanpa membubarkan negara
Dalam buku ini terdapat lima bab, yang pada masing-masing babnya mempunyai pembahasan yang berbeda-beda tetapi saling terkait satu sama lain. Buku Blok Pembangkang: Gerakan Anarkis Di Indonesia 1999-2011 merupakan karya pengembangan dari naskah tugas akhir penulis.
Perkembangan Anarkisme Setelah Reformasi
Perkembangan anarkisme di Indonesia sudah ada sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu, yang diinisiasi oleh Sedulur Sikep di Jawa Tengah atau masyarakat Dayak di pendalaman Kalimantan (lihat Dayak Mardaheka, Bima Satria Putra, 2021). Meski kelompok-kelompok ini tidak menyebut diri sebagai “gerakan” ataupun kelompok Anarkis, namun prinsip-prinsip yang digunakan menyerupai kelompok anarkisme. Bisa dibilang, itu merupakan bangunan awal anarkisme di Indonesia.
Pada awal kemunculannya, kelompok Anarkisme banyak hadir dalam momen gerakan antikolonial, begitu juga setelah masa reformasi. Anarkisme hadir karena adanya interaksi kelompok anarkis di Indonesia dengan dunia global melalui musik, fesyen, zine serta komunikasi dengan kelompok anarkis mancanegara. (hlm. 109)
Pada reformasi 1998, gerakan anarkisme hadir mengisi kekosongan yang didominasi oleh kelompok kiri. Beberapa orang mengganggap anarkisme hadir sebagai gerakan alternatif di tengah kebosanan bentuk dan metode gerakan sosial pada saat itu. Kelompok yang mendeklarasikan diri sebagai kelompok Anarkis setelah reformasi, menyebut dirinya sebagai Front Anti Fasis (FAF) yang merupakan cikal bakal kelompok Anarkis pertama di Indonesia.
Mungkin saat ini terdengar aneh atau risih jika kelompok anarkis bergabung dengan salah satu partai. Hal ini pernah dilakukan oleh FAF, yang bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada tahun 1999. Saat itu, tujuh orang dari FAF bergabung dengan PRD untuk menggali pengetahuan dan belajar mengenai anarkisme, sosialisme dan hal-hal lain kepada PRD.
Karena pada jaman itu internet masih sulit diakses, salah satu anggota FAF mengatakan motif bergabungnya dengan PRD adalah keinginan untuk mengetahui apa yang dibicarakan dalam pamflet-pamflet yang didapatkan dari jejaring Anarko-Punk Eropa, karena pamflet Anarkisme Eropa kesulitan menyesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat di Indonesia saat itu.
Namun takdir berkata lain: pada forum diskusi di salah satu kampus di Bandung, petinggi PRD menusuk kelompok Anarkis dari belakang. Mereka mengatakan bahwa anarkisme itu sama haramnya seperti kapitalisme. Sangat aneh, bukan?
Oleh kelompok Anarkis, pernyataan itu tidak bisa dianggap enteng. “Bagi kami, masalah itu memang sangat fatal, tapi itu hanya katup dari seluruh konflik-konflik kecil kami sebelumnya. Kami dibesarkan dengan tulisan tulisan Anarkis, dan tulisan tersebut jugalah yang membawa kami untuk bekerja sama dengan PRD”. (hlm. 102)
Setelah keluar dari tubuh PRD, kelompok FAF tidak lagi melakukan kegiatan politik apapun karena para partisipannya memiliki kesibukan masing-masing. Namun masa vakum ini tidak berlangsung lama, karena setelah itu anggota-anggota yang pernah aktif merasa adanya panggilan untuk melakukan aktivitas politik walaupun dengan pemahaman yang berbeda. Hingga beberapa waktu kemudian partisipan gerakan anarkis tumbuh berkembang hingga membangun kembali jaringan anarkis yang pernah hilang dimasa Jaringan Anti Fasis Nusantara (JAFNUS).
Yang Mati akan Tumbuh Kembali
Setelah bubarnya FAF dan JAFNUS, organisasi atau kelompok Anarkis mulai banyak bermunculan di Indonesia. Orang-orang yang bergabung dengan kelompok Anarkis memiliki alasan yang sama dengan orang-orang sebelumnya. Dengan alasan kecewa pada corak organisasi yang hierarkis dan cenderung otoritarian, mereka keluar dan bergabung dengan gerakan Anarkis. (hlm. 115)
Pada rentang tahun 2000 hingga 2010, banyak kelompok Anarkis yang berkembang di berbagai daerah di Indonesia. Mereka memiliki aktivitas gerakan berbeda beda, contohnya: Geng Behom yang melakukan aksi langsung; Utopian dengan merintis organisasi anarkisnya; Kolektif Kontra Kultura menjadi juru propaganda; Apokalips melakukan propaganda dan pengorganisasian; Kolektif Arus Bawah melakukan eksperimen swakelola; Affinitas melakukan organisir; Alexis Infohouse membangun solidaritas perjuangan rakyat; Jaringan Anti Otoritarian membangun jejaring, dan mungkin masih banyak lagi kelompok-kelompok anarkis yang tidak terdata pada jaman itu.
Waktu terlalu cepat, perlahan kelompok anarkis mulai menghilang seiring dengan perkembangan para anggotanya yang menyebar ke setiap daerah. Tanda-tandanya terlihat pasca aksi Mayday 2008: ada banyak otokritik terhadap aksi tersebut hingga berasumsi para anarkis belum siap untuk berorganisasi, bahkan menganggap organisasi sebagai jebakan.
Hal ini sependapat dengan perkataan Luigi Galleani seorang militan anarkis italia. Galleani berpendapat bahwa “kaum anarkis harus berasosiasi dalam jaringan yang terorganisir secara longgar dan hampir informal, karena ia percaya bahwa organisasi, terutama yang terprogram, dapat mengarah pada dominasi, baik dalam kelompok anarkis maupun dalam gerakan rakyat pada umumnya. Bagi Galleani, “gerakan anarkis dan gerakan buruh berjalan di sepanjang jalur paralel, dan konstitusi geometris dari garis paralel tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan pernah bisa bertemu atau beririsan”. Menurutnya, anarkisme dan gerakan massa merupakan bidang yang berbeda––organisasi pekerja adalah korban dari “konservatisme buta dan parsial” yang bertanggung jawab dalam “menciptakan hambatan dan seringkali berbahaya” bagi tujuan anarkis. Menurutnya, anarkis harus bertindak melalui pendidikan, propaganda, dan aksi kekerasan langsung tanpa terlibat dalam gerakan massa yang terorganisir.”
Hingga pada waktu 2018 dan 2019, saat peringatan Mayday, kelompok Anarkis kembali naik daun dengan lahirnya kelompok-kelompok baru dengan gerakan yang juga baru. Namun hal ini menjadi tantangan ketika pemerintah, media massa, dan masyarakat mengkerdilkan pengertian Anarkisme pada ideologi yang hanya berkaitan dengan kekerasan dan kerusuhan. []
“Gerakan anarkisme tak benar-benar mati. Ia tumbuh, berganti generasi, sembari menunggu waktu bersemi kembali”
Penulis: Pikri Hafizd A
Editor: M. Hasbi Kamil