Judul : Daulat Kebudayaan: Jawa dan Islam dalam Sebuah Pertemuan
Penerbit : Tanda Baca
Penulis : Irfan Afifi
Tebal : xxiv + 168 Halaman
Cetakan : Pertama, Februari 2023
ISBN : 978-623-586-909-4
“…sama sekali tidak mengherankan ketika hari ini banyak orang Indonesia yang memandang perbincangan agama sebagai perbincangan kuno, tidak open-minded, dan konservatif.”
Membaca buku ini membawa saya pada sebuah perenungan mendalam tentang apa saja yang saya lalui selama mengenyam pendidikan di kampus. Pelajaran-pelajaran, yang dahulu di awal-awal perkuliahan saya kira berharga dan keren untuk dibawa ke meja-meja perdebatan bersama kawan, seolah menodong pelipis dan tempurung kepala yang menyimpan ilmu-ilmu tradisional pesantren.
Ilmu-ilmu rasional yang katanya “modern” itu, selalu terkesan bertentangan dengan apa yang didengungkan buku ini, yaitu “kebudayaan”. Lantas bagaimana membuat nilai-nilai modern itu hidup dan bernyawa sehingga dapat berdampak pada kehidupan diri?
Saya tiba-tiba teringat pada cerpen “pesta” Emha Ainun Nadjib yang terbit di Kompas pada 28 November 1977. Cerpen ini berkisah tentang tokoh utama protagonis yang kikuk untuk berdansa ketika diundang ke pesta ulang tahun mantan kekasihnya.
Si protagonis pun hadir bersama kawan yang diajaknya untuk mengurangi rasa gugup menghadiri pesta “kontemporer”, terlebih yang mengundang adalah mantan kekasih. Percakapan antara si protagonis dan kawannya tersebut yang terjadi di tengah kemelut pemuda berjoget yang diiringi musik keras, dan tentu dengan lampu meredup ala ala night club, kurang lebih berlangsung seperti berikut ini.
(Kawannya) Apa salahnya. Toh ia bisa hidup. Dan, bentuk semacam ini merupakan standar gengsi kemodernan mereka. Mau apa kita?
(Protagonis) Mereka tercerabut dari akarnya!
(Kawannya) Tercerabut atau tidak tetapi arus ini tak bisa ditahan. Ia berpengaruh secara massal dan didiamkan secara massal pula oleh ratusan ribu anak-anak muda kita.
(Protagonis) Mereka tak punya kesadaran kultural.
(Kawannya) Memang.
(Protagonis) Mereka tak punya kesadaran lingkungan. Mereka tak kenal unsur-unsur yang menjadi latar belakang kebudayaan mereka sendiri.
(Kawannya) Mereka memang tak tahu arah!
Mengingat Seno Gumira pernah menyebut cerpen ini sebagai “kritik ideologi”, menjadi berbelit-belit pemahaman saya yang pada saat itu linglung tentang ideologi mana yang sebetulnya dikritik. Saya tak tahu, apakah terhadap tingkah konservatif mereka atau polah kemodernan partisipan pesta.
Tapi terlepas dari itu, fakta bahwa fenomena pengetahuan kultural yang diabaikan sekaligus tak terintegrasikan secara sinambung dalam bingkai kemodernan sudah terjadi di tanah air ini, setidaknya saat karya itu diterbitkan, pada 1979. Bagaimana semua ini bermula?
Sebelum melangkah lebih jauh, dan agar apa yang akan kita bicarakan tentang polarisasi Jawa tidak menjadi terbelit-belit, definisi kebudayaan dan kaitannya yang erat dengan nilai-nilai religiositas perlu dihadirkan terlebih dahulu.
Irfan Afifi dalam buku ini menekankan kebudayaan sebagai kata kerja. Sehingga kebudayaan tidak hanya mengacu pada hasil dan produk-produk budaya, atau praktik-praktik dan kebiasaan adat, seperti songkok, rumah adat, tarian daerah, dan lain sebagainya. Kebudayaan berkaitan dengan usaha ataupun proses yang terhubung dengan nilai-nilai luhur penting kemanusiaan yang menuntut untuk terus menerus ditingkatkan.
Dalam mendefinisikan kebudayaan, Irfan Afifi banyak merujuk pada apa yang termaktub dalam Serat Wedhatama, bahwa kebudayaan atau budaya adalah olah budi atau lelaku untuk terus menerus menyelaraskan karsa/raga (kehendak), cipta (fakultas pikiran, daya imaji, dan daya cipta), jiwa (tempat niat, tekad, dan dorongan terdalam), dan rasa (bingkai kebijaksanaan dan kearifan, dorongan empati moral yang terdalam).
Empat fakultas kemanusiaan tersebut ketika selaras, kendati membutuhkan proses panjang nan tiada henti, ujungnya akan termanifes dalam tata budaya, tata nilai, tata masyarakat, tata-negara, juga tata adat.
Hal ini begitu erat kaitannya dengan tujuan hadirnya agama, dalam hal ini Islam, sebagai penyempurna budi manusia. Dan, empat fakultas dalam dimensi kebudayaan tadi sangat tidak asing dengan tahapan-tahapan yang ada pada terminologi tasawuf (dimensi esoterisme Islam), yaitu syariat, tarikat, hakikat, dan ma’rifat.
Sehingga, dapat dikatakan pula, ajaran agama tak lain dari proses kebudayaan itu sendiri. Meskipun sayangnya, keduanya sering dihadap-hadapkan secara biner hari ini. Karena sejatinya seberapa pun agung nilai-nilai agama yang dipeluk dan diyakini bersifat universal itu, ia tidak akan tergelar dalam realitas hidup jika tak membantu proses “menjadi manusia” yang bertalian dengan lokalitas sekitarnya.
Tinjauan Historis Pertentangan Budaya dan Modern
Ketika pulang ke rumah, saya merenungi bahwa apa yang diajarkan di kelas-kelas semasa kuliah tidak banyak berdampak pada diri dan lingkungan sekitar saya. Apa yang menopang nilai-nilai sosial kemasyarakatan, seperti gotong royong, yasinan, kepedulian, dan keramahan tidak pertama-tama ditopang oleh nilai rasionalitas modern. Nilai-nilai sosial tersebut justru disangga oleh warisan nilai-nilai kearifan, hikmat, dan kebijaksanaan yang merupakan resapan nilai religiositas yang telah menubuh dalam kebudayaan.
Ricklefs dalam tiga karya berpengaruhnya tentang sejarah Jawa mengamati bahwa setidaknya sampai terbelahnya Jawa di Perjanjian Giyanti (1755), Islam telah menjadi pemersatu kejawaan. Di sisi lain, bagi elit-elit penjajah, selama Islam masih menjadi identitas yang terhayati sebagai penyatu identitas kejawaan, kekuasaan kolonial tidak akan tenang dan langgeng.
Melalui preseden ini, usaha-usaha polarisasi ke dalam tubuh masyarakat Nusantara mulai digalakkan oleh elit-elit penjajah, utamanya antara kejawaan dengan keislaman. Harapannya adalah agar para elit bangsawan Jawa bisa terpaut kembali dengan masa lalu jauhnya, ajaran Hindu-Budha. Yang kemudian, dibayangkan oleh penjajah sebagai kejawaan yang masih anteng dan terbebas dari semangat revolusioner Islam.
Para elit bangsawan Jawa ini, khususnya kalangan priyayi dan elit keraton Surakarta, akhirnya berhasil “dijinakkan”. Momen ini ditandai dengan berlangsungnya pemberlakuan politik tanam paksa (cultuur-stelsel) di tahun 1830-1870.
Tidak hanya sampai situ, penyampingan nilai-nilai religiositas ini juga mengalami gangguan dari dalam tubuhnya melalui fakta pengutuban preferensi keagamaan. Tepatnya melalui ide-ide reformis Islam yang mulai menyebar ke seluruh dunia muslim dari tanah Arab.
Muslim Jawa seperti Ranggawarsita dengan corak pengetahuan mistisme Islam tradisionalnya semakin tak lagi mempunyai ruang dan tersuruk ke pinggir sejarah. Hingga puncaknya, seluruh spektrum pergerakan nasional di awal abad 20-an benar-benar terbelah berdasarkan preferensi keagamaannya, yang mana hal ini rentan sekali direcoki aktivitas politik dan sentimen antar-identitas.
Apa yang diprakarsai elit-elit penjajah kini masih terus berlanjut hingga hari ini, bagai sederet domino yang jatuh mengekor cukup dengan mendorong satu bagian terdepannya. Ini terlihat jelas sejak Indonesia menyongsong kemerdekaan 1945 dan penyelenggaraan Pemilu pertama kalinya pada 1955. Di mana polarisasi dan keterbelahan masyarakat warisan kolonial semakin menyeret pengutuban ideologi yang mengumpul dan memadat dalam partai politik.
Revitalisasi Tasawuf sebagai Jawaban
Pemaknaan tasawuf dan kerja-kerja kebudayaan semakin terpaut jauh dari yang awalnya adalah satu kesatuan. Dimensi tasawuf semakin dikaburkan dari fakta karakternya yang lebih lentur namun juga akomodatif terhadap tradisi pra-Islam di Nusantara. Sedang dimensi kebudayaan semakin terseret definisinya oleh warisan-warisan kolonial yang mempersempit makna kebudayaan itu sendiri.
Hingga dewasa ini, gejala fundamentalisme dan radikalisme Islam yang menyeruak seolah tak bisa ditampik oleh umat Islam sendiri. Nilai-nilai religiositas dipandang sebatas surga dan neraka, firdaus dan jahannam, sunnah dan bid’ah, hitam dan putih. Hal ini bukan tak baik, akan tetapi kecenderungan perilaku dan pemahaman seperti ini mudah sekali menggiring pelakunya abai terhadap fakta-fakta mendasar nilai-nilai kemanusiaan universal dan nilai-nilai spiritual yang mendasari semangat ajaran Islam.
Dengan pemahaman seperti ini juga, sama sekali tidak mengherankan ketika hari ini banyak orang Indonesia yang memandang perbincangan agama sebagai perbincangan kuno, tidak open-minded, dan konservatif. Juga tidak mengherankan ketika pendeklarasian diri sebagai atheis berkonotasi dengan kritisisme pola pikir dan selera yang edgy.
Nah, eksistensi tasawuf, sebagai ajaran yang darinya memungkinkan kita bisa menghujam ke arah terdalam Islam (dimensi esoteris), lamat-lamat tertutup kabut materialisme-hedonisme modern. Gejala ini menjadi berbahaya untuk bangun kokoh keindonesiaan, mengingat ketidakselarasannya dengan usaha sufistik para wali tanah Jawa (wali songo) sebagai peletak utama fondasi-fondasi kebudayaan Jawa.
Strategi kebudayaan, oleh karenanya, adalah hal yang paling memungkinkan untuk dilakukan. Proses pengolahan dan penyelarasan empat fakultas sebagaimana yang ditulis Serat Wedhatama seolah ingin menegakkan suluk dan pengajaran penyempurnaan capaian berkemanusiaan. Di mana, perlu digaris bawahi, bahwa falsafah manusia tidak semata dipandang sebagai binatang biologis yang berkembang secara evolusionistik dari tahapan survivalnya seperti beberapa makhluk organis lainnya.
Semangat mengolah arus pikiran supaya berkelindan dalam harmoni dengan gejolak rasa dalam diri, hingga tidak ada yang mendahului atas yang satu dengan yang lainnya, perlu diupayakan dan ditularkan saat ini. Lantas dinikmati setiap letupannya yang berupa tindak-tanduk nan tidak sekalipun disesali sesudahnya. Karena fondasi lokalitas dalam menyangga bangunan megah modernism perlu direnovasi dan dikokohkan mulai dari individu-individu di dalamnya (jagad cilik). Karna urip mung saderma nglakoni!
Misbahul Khoir, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Editor : Muhammad Rizki Yusrial