Mahasiswa UP 45 dan Perjuangan yang Belum Usai

1288
AMP gelar aksi di gedung DPRD DIY (10/9). Dok. Rhetor.

Mahasiswa terdampak Drop Out massal di UP 45 masih terus berjuang menuntut hak-hak mereka.


lpmrhetor.com, Yogya – Preambule Undang-Undang Dasar 1945 telah dengan tegas berkata bahwa sejatinya pendidikan diselenggarakan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa guna tercapainya cita-cita kesejahteraan umum. Berbagai kebutuhan operasional penyelenggaraan pendidikan yang bervisi demikian juga telah dijamin oleh undang-undang. Sederhananya: negara bertanggung jawab penuh atas segala kebutuhan tersebut.

Namun pada kenyataannya, masih ada saja kejadian miris dalam realita dunia pendidikan, salah satunya seperti apa yang terjadi di Yogyakarta pada 21 Juli 2017 lalu. Yogyakarta yang berlabel Kota Pendidikan, sejatinya belum menceminkan bagaimana pendidikan berjalan dengan sebenar-benarnya. Di sana, bersemayam seorang rektor yang dengan sepihak memberhentikan mahasiswanya sebanyak 22 orang secara massal. Sebuah kampus swasta di bawah pengelolaan Yayasan Proklamasi ‘45 bernama Universitas Proklamasi ’45 (UP 45) adalah bukti kekejamannya.

 

Awal mula pemberhentian

Kasus ini berawal dari aksi internal yang dilakukan oleh mahasiswa yang terhimpun dalam Aliansi Mahasiswa Proklamasi (AMP) di kampus UP 45. Aksi yang dilakukan pada 11 April 2017 itu membawa tuntutan transparansi keuangan kampus dan menolak rektor yang dinilai tidak berintegritas. Bukan tanpa alasan para mahasiswa mengangkat dua tuntutan tersebut, pasalnya pengangkatan Ir. Bambang Irjanto sebagai rektor dianggap tidak demokratis dan penuh dengan manipulasi.

(Baca juga: Potret Ketidakdewasaan Penguasa Kampus UP 45)

Sebelum menjadi rektor UP 45, Bambang menjabat sebagai Ketua Yayasan Proklamasi ’45. Selain itu, Bambang juga merangkap dekan di UP 45. Sesaat sebelum berhenti menjadi ketua yayasan, Bambang Irjanto mencalonkan diri sebagai rektor. Sebenarnya tidak ada hal yang mencurigakan saat kontestasi pemilihan orang nomor wahid di UP 45 itu berlangsung. Namun, tanda tanya besar mengekor seiring dengan terpilihnya Bambang sebagai rektor.

Pengangkatan Bambang sebagai rektor menjadi pertanyaan besar bagi mahasiswa. Bagaimana bisa pemilihan yang digadang-gadang dilakukan secara demokratis itu dimenangkan oleh pemilik suara terbanyak nomor tiga. Dalam rekap penghitungan suara saat pemilihan rektor, Bambang hanya memperoleh 5 suara di bawah dua kandidat di atasnya, Prof. Dr. Ir. Masyhuri dan Dr. Amalia Syauket, S.H.,M.Si, yang masing-masing memperoleh 9 suara dan 7 suara dari total 26 suara.

Selain itu, Pangkalan Data Perguruan Tinggi (PDDIKTI) mengandung rekam riwayat Bambang pernah mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (UII) pada tahun 2005, 2006, dan 2008. Sedangkan, Dekan Fakultas Kedokteran UII, dr. Linda Rosita, M.Kes., SP.PK, menyangkal mentah-mentah data tersebut. Ia menyatakan bahwa Bambang sama sekali tidak pernah mengajar di Fakultas Kedokteran UII sebagaimana dikatakan dalam PDDIKTI (15/05/2017). Dari kenyataan itulah mahasiswa menilai Bambang bukan orang baik-baik.

Keberadaan Bambang sebagai ketua yayasan maupun rektor bagi mahasiswa tidak memberikan dampak baik apapun di UP 45. Pada pasal 3 ayat 2 Surat Perjanjian Pengelolaan Yayasan Proklamasi ’45, tentang Tugas dan Tanggung Jawab Pihak Pertama, tertulis bahwa pihak pertama sepenuhnya memiliki wewenang untuk mengelola, membenahi, membangun, dan mengembangkan UP 45.

Bambang sebagai pihak pertama, menurut mahasiswa, tidak menjalankan tugas tersebut. Alih-alih pembenahan hingga pengembangan, mahasiswa malah dibebankan biaya kuliah yang semakin lama semakin mahal. Beban biaya yang semakin mencekik itu sangat tidak sebanding dengan fasilitas kampus yang semakin lama semakin memburuk. Hal itulah yang menjadi alasan mahasiswa mengusung tuntutan pertama.

Atas dasar demokrasi, mahasiswa kemudian menyampaikan aspirasi mereka kepada kampus. Menanggapi aksi mahasiswa yang terus berkelanjutan, Bambang tidak beritikad baik sama sekali. Pada 26 Mei 2017 lalu, ia malah menerbitkan sebuah surat keputusan, yang dinilai sangat represif, bernomor 80/SK. Rek/UP/V/2017, berikut surat pernyataannya, tentang peringatan dan/atau pemberhentian sebagai mahasiswa UP 45 bagi yang melakukan aksi demonstrasi.

“…berjanji untuk tidak melakukan aksi demonstrasi kembali, dan janji untuk berhenti dari organisasi non-kulikuler,” kurang lebih begitu penggalan isi suratnya.

(Baca juga: Sistem Birokrasi UP 45 Ciderai Asas Demokrasi)

Tidak puas dengan penerbitan SP yang dinilai kejam itu, Bambang kemudian mengancam akan memberhentikan mahasiswa yang menolak menandatangani SP tersebut dalam tempo 10 hari sejak ditetapkannya surat tersebut. Merasa terancam kebebasannya sebagai seorang akademika tercabut, mahasiswa lantas melaporkan tindakan sewenang-wenang sang rektor kepada Ombudsman Republik Indonesia (ORI) perwakilan DIY pada tanggal 2 Juni 2017. ORI pun menganggap SP yang dikeluarkan oleh Bambang adalah praktik maladministrasi.

Sebagai tindak lanjut, ORI kemudian mengadakan mediasi antara pihak mahasiswa dan pihak rektorat UP 45 pada 14 Juli 2017, ORI menjadi mediator dalam mediasi tersebut. Mediasi tersebut berhasil mendesak sang rektor untuk mencabut SK yang dikeluarkannya walaupun dengan embel-embel persyaratan. Syarat tersebut adalah mahasiswa harus membuat sebuah surat pernyataan sampai batas waktu 19 Juni 2017. Mahasiswa menyepakati itu.

Namun lagi-lagi kenyataan berkata lain. Pada 6 Juli 2017, mahasiswa menerima surat melalui kuasa hukum rektor yang menolak surat pernyataan yang dibuat mahasiswa. Rektor beralasan format surat pernyataan tidak sesuai keinginan Bambang. Padahal, setelah dikonfirmasi kepada pihak ORI, format surat yang dibuat mahasiswa telah sesuai dengan poin-poin yang tertuang dalam berita acara mediasi. Belakangan, ternyata Bambang menginginkan mahasiswa menuliskan pernyataan untuk tidak melakukan lagi melakukan aksi demonstrasi dan tidak akan ikut serta ke dalam berbagai organisasi ekstra non-kulikuler. Tentu saja mahasiswa menolak.

Alhasil, surat keputusan pemberhentian mahasiswa tetap diberlakukan. Malah yang terjadi, Bambang mengeluarkan Surat Edaran No. 499/J.10/UP/VII/2017, pada 21 Juli 2017, tentang penegasan status pemberhentian mahasiswa. Sebanyak 22 nama mahasiswa tercantum dan berstatus bukan lagi mahasiwa sejak saat itu.

 

Perjuangan yang terus berlanjut

Seolah tidak puas dengan pemberhentian mahasiswa, Bambang makin menjadi-jadi dengan mengeluarkan Surat Edaran No. 512/J.10/UP/VII/2017, tertanggal 29 Juli 2017, yang berisi instruksi kepada seluruh dosen untuk tidak memberikan nilai kepada 22 mahasiswa yang tercantum dalam surat sebelumnya. Sampai pada titik ini, jelas sekali bahwa tindakan dan kebijakan Bambang menciderai asas demokrasi, membungkam suara kebebasan, dan mencerminkan sesosok pemimpin yang anti-kritik.

Keputusan tersebut tidak lantas membuat mahasiswa diam. Sebanyak 22 mahasiswa yang namanya tertulis dalam surat keputusan tersebut masih terus mencoba untuk berdialog dengan pihak kampus secara internal. Pada 21 Agustus 2017, mahasiswa mengirim surat kepada rektor  yang berisi permohonan agar rektor bersedia berdialog dengan mahasiswa yang diberhentikan dalam suatu forum terbuka. Namun demikian, pihak rektor tidak merespon dengan baik.

Jalur hukum dan berbagai aksi lapangan kemudian ditempuh oleh mahasiswa UP 45. Kali ini mereka bergandengan dengan seluruh mahasiswa di Yogyakarta yang melebur ke dalam Aliansi Mahasiswa Proklamasi (AMP).

Kasus tersebut kemudian dilaporkan ke hadapan DPRD DIY. Mahasiswa meminta agar DPRD mau memediasi permasalahan di UP 45 dengan mempertemukan pihak rektor dengan mahasiwa. Pada 28 Agustus 2017, mediasi dilakukan di gedung DPRD DIY dengan mengundang Rektor UP 45, Kopertis Wilayah V, Aptisi, dan Dewan Pendidikan. Namun bukannya mediasi, yang terjadi hari itu adalah forum audiensi karena rektor tidak memenuhi undangan. Karena itu DPRD mengatakan akan memberi surat kepada Rektor UP 45 yang isinya menghimbau rektor untuk menahan segala putusan terkait pemberhentian mahasiswa hingga agenda mediasi kembali dilakukan.

Namun, Bambang tetap keras kepala dan menolak melakukan mediasi di DPRD. Mahasiswa juga tetap pada pendiriannya bahwa mereka menolak untuk dipaksa berhenti kuliah dan menolak untuk tidak sama sekali berorganisasi di kampus. Akhirnya, pada 18 Agustus 2017, mahasiswa yang tergabung dalam AMP melakukan aksi di dalam kampus UP 45 untuk meminta rektor memberikan kejelasan atas tindakan represifnya. Bukannya mendapatkan kejelasan, massa AMP malah mendapatkan perlakuan yang represif dari aparat kepolisian dan beberapa preman yang diduga sewaan Bambang.

(Baca juga: Rektor Sulit Ditemui, Mahasiswa Dibohongi)

 

Dianaktirikan

Bagaimanapun cara dan aksi yang dilakukan mahasiswa tetap tidak bisa mengubah keputusan rektor. Selama periode Mei-September 2017, mahasiswa UP 45 dan AMP terus berusaha mencari keadilan dan tetap menuntut pencabutan surat pemberhentian.

Sebanyak 22 mahasiswa yang telah dinyatakan berhenti diberikan kesempatan untuk mendaftar ulang menjadi mahasiswa baru reguler atau pindahan selambat-lambatnya per 31 Agustus 2017 dengan melampirkan surat pernyataan untuk tidak terlibat lagi dalam aksi-aksi demonstrasi dan untuk tidak ikut serta sama sekali dalam organisasi apapun.

Dari ke 22 mahasiswa yang terlibat, sembilan orang justru membelot dengan menyatakan diri kembali ke kampus dengan menandatangai surat pernyataan. Sedangkan sisanya tetap bersikukuh dengan pencabutan keputusan pemberhentian tanpa syarat. Hal tersebut dapat dilihat dari laman resmi PDDIKTI bahwa ke 12 nama mahasiswa tersebut sudah tidak lagi terdaftar sebagai mahasiswa, sedangkan 9 mahasiswa yang membelot terdaftar (16/09/2017).

Menurut M. Junaidi, salah satu mahasiswa terdampak, proses penerimaan kembali mahasiswa yang batal Drop Out dilakukan melalui seleksi yang super ketat. Ditemui pada 8 Oktober 2017, Junaidi mengatakan bahwa ke 10 mahasiswa tersebut akan dicap sebagai mahasiswa berstatus khusus, dan akan berada di bawah pengawasan yang sangat ketat. Pihak kampus bahkan membentuk Tim Evaluasi dan Screening untuk mengawasi ke 10 orang tersebut.

Sedangkan, 12 mahasiswa yang masih tetap menolak tunduk telah dicabut hak-haknya untuk menggunakan berbagai fasilitas di kampus. Bahkan, untuk sekadar mendatangi kampus pun mereka akan diawasi oleh pihak keamanan. Pernah Junaidi datang ke kampusnya untuk melakukan kegiatan sebagaimana biasanya, namun ia diberlakukan bukan sebagai seorang mahasiswa lagi, melainkan seorang tamu. Bahkan, mahasiswa jurusan Psikologi semester 7 ini harus mengisi buku tamu yang telah disediakan oleh pihak kampus di pos keamanan.

Selain M. Junaidi, Hans Rudy Hegemur juga menjadi korban. Mahasiswa angkatan 2009 jurusan Teknik Perminyakan ini bahkan telah menyelesaikan ujian skripsi dan hanya tinggal menunggu waktu wisuda. Namun, karena terlibat aksi tersebut, ia malah tekena Drop Out.

Yang unik Wahyu Rahmi Utami, mahasiswi angkatan 2016 jurusan Teknik Lingkungan yang juga dinyatakan dikeluarkan. Tercatat 40 SKS telah ia tempuh dalam periode dua semester.  Namun, saat dicek di laman resmi PDDIKTI, SKS yang telah diambil tidak terdeteksi. Setelah dikonfirmasi, jurusan Teknik Lingkungan di UP 45 baru diresmikan pada maret 2017, namun sudah memulai perkuliahan sejak 2016. Rahmi juga merupakan salah satu korban praktik malaministrasi tersebut.

Hingga saat ini, ke 12 mahasiswa terdampak. bersama AMP, masih terus melakukan berbagai macam upaya untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang telah tercerabut.[]

 

Reporter: Ina Nurhayati
Editor: Fahri Hilmi

You may also like

Pameran “From the Wall To the Sea”: Meninjau Kembali Hegemoni Isu Agama dengan Solidaritas Kultural

lpmrhetor.com- Selepas hujan sehari penuh di Yogyakarta, para