Komersialisasi Menyerang Pagar Api, Jurnalisme di Indonesia Terancam Mati

70
Foto : Ruahan Maysarotul Muwafaqoh

lpmrhetor.comSekolah Jurnalisme SK Trimukti bersama prodi Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan diskusi publik dan bedah buku “Runtuh dari Dalam” karya Nanang Krisdinanto di Auditorium Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, pada Senin (4/11/2024). 

Dalam diskusi tersebut Nanang memaparkan adanya fenomena komersialisasi media di Indonesia. Seharusnya, antara redaksi dengan periklanan seharusnya memiliki batas berupa pagar api. Namun, kian hari batas tersebut diterobos sedemikian rupa.

Nanang menyebut bahwa terdapat dua pilar dari etika jurnalistik. Karya jurnalistik dapat dikatakan berkualitas jika memegang pilar tersebut. Pertama, pemisahan antara fakta dan opini yang merujuk pada objektivitas, faktualitas, dan imparsialitas. 

Kedua, pemisahan antara redaksi dan bisnis yang disebut sebagai pagar api jurnalistik. “Dibayangkan pagar, dia berapi, karena itu tidak boleh dilompati dengan alasan apapun. Dianggap suci, seperti pemisahan antara agama dengan politik,” ucapnya.

Dalam buku tersebut, Nanang menemukan empat hal besar yang menjadi praktik penerobosan pagar api jurnalistik. Dampak penerobosan ini sangat signifikan pada karya jurnalistik. Bahkan publik tidak mengetahui bahwa karya tersebut telah melalui proses manipulatif. 

Sejak tahun 90-an, jurnalis sudah terlibat dalam lobi serta pencarian iklan. Namun, kini keterlibatan tersebut semakin meluas. Dalam media cetak televisi sering muncul berita yang ternyata adalah iklan tanpa warning apapun. Hal ini disebabkan meluasnya penggunaan advertorial yang menyamarkan pesan iklan seolah-olah adalah berita.

Kemudian, yang dijual oleh media bukan lagi iklan. Melainkan berita atau halaman. Hal ini dianggap normal dalam bisnis media. Namun, dianggap sebaliknya jika yang menjalankan adalah jurnalis media itu sendiri. Salah satu alasan mengapa jurnalis sampai melakukan hal tersebut tidak lain karena meluasnya pengukuran kinerja jurnalis dengan indikator iklan. Kinerja jurnalis tidak hanya diukur dari karya jurnalistiknya. Namun, juga dilihat dari perolehan iklan dengan berbagai variasi. 

Bisnis media memiliki tujuan sosial dan terkait dengan kepentingan publik. Oleh karenanya, harus diatur dengan dua etik yang telah disebutkan di atas.

Selaras dengan Nanang, Guru Besar Kajian Media dan Jurnalisme UII, Masduki, menjelaskan tentang jurnalisme berkualitas, “Itu baru bisa diwujudkan kalau kita sudah sepakat bahwa jurnalisme itu bukan political goods, bukan benda politik. Artinya, berita itu bukan alat untuk melakukan penetrasi politik.”

“Atau berita itu bukan merupakan consumer goods atau economic goods, benda yang diperjualbelikan,” lanjutnya. Masduki menegaskan bahwa media adalah public goods yang memenuhi kebutuhan publik untuk mencerdaskan, sehingga publik mengkonsumsinya.

Dari fenomena itu Nanang khawatir pada media di Indonesia. Memang benar jika bisnis media di Tanah Air tetap hidup. Hanya saja, besar kemungkinan jurnalismenya terancam mati.

“Dan kontribusi kematian itu, tidak hanya disumbang oleh kekuatan besar di luar, kekuatan ekonomi dan politik, tapi juga dari dalam. Dari para jurnalis itu sendiri yang telah melalui perubahan yang sangat signifikan dalam cara mereka memandang jurnalisme,” pungkasnya.[]

Reporter : Ruhana Maysarotul Muwafaqoh

Editor : Naufal Zabidi

 

You may also like

Eco Lifestyle Seminar: Langkah Awal Bebas Sampah di Lingkungan Akademi

lpmrhetor.com – Komunitas Mahasiswa Pecinta Alam Sunan Kalijaga