Diskusi Film The Silent Child: Sudah Saatnya Pers Memproduksi Konten Ramah Disabilitas

69
Foto: Ruhana Maysarotul Muwafaqoh

lpmrhetor.com – Dian Dwi Anisa, anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta dan dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), menjelaskan tentang peran media dan keberadaan penyandang disabilitas pada acara “Diskusi Film The Silent Child” yang diselenggarakan di Auditorium Fakultas MIPA UII oleh LPM Kognisia pada Sabtu (2/11/2024). Dalam melakukan produksi serta distribusi konten untuk menanggapi isu disabilitas, perspektif yang harus digunakan oleh pers adalah pemenuhan hak penyandang disabilitas. 

Hambatan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas adalah terkait akses pada apa pun. Seperti layanan kesehatan, baik kesehatan fisik maupun kesehatan mental, kesempatan kerja, partisipasi politik, dan informasi. Semua hambatan terhadap akses ini karena adanya stigma terhadap penyandang disabilitas.

“Stigma bahwa penyandang disabilitas ini sebagai, saya mohon maaf ya, ada mitos bahwa mereka adalah terkena kutukan atau mitosnya itu aib. Dan itu yang terus direproduksi oleh kondisi sosial kita, oleh masyarakat kita, bahkan oleh pers,” ucap Dian. 

Stigma ini lambat laun akan memunculkan marginalisasi bagi penyandang disabilitas, baik secara sosial, kultural, maupun regulasi. Stigma inilah yang menjadikan penyandang disabilitas tidak mendapatkan hak dasarnya sebagai manusia.

“Kalau akses informasi yang disediakan media massa ini tidak bisa diakses oleh penyandang disabilitas, ya, untuk apa? Bahkan kadang kala, pers ini justru yang menjadi institusi yang melanggengkan bagaimana stigma-stigma itu tadi,” imbuhnya.

Media memiliki peran yang signifikan dalam literasi masyarakat. Fungsi media meliputi penyebaran informasi, pendidikan, pembentuk opini publik, hiburan, dan kontrol sosial.  Namun, sangat disayangkan jika media yang memiliki fungsi demikian justru memproduksi konten yang tidak ramah pada penyandang disabilitas.  

Menurut Dian, terkadang pers tidak ramah disabilitas. Dalam berita feature, penyandang disabilitas kerap digambarkan sebagai sosok pemancing kesedihan dan orang yang perlu dikasihani. Bukan sebagai sosok yang berdaya.

Alih-alih menyorot soal kesedihan, terdapat beberapa isu yang bisa memberdayakan penyandang disabilitas, seperti halnya regulasi yang dibuat oleh pemerintah. Sudahkah regulasi tersebut ramah terhadap penyandang disabilitas? Atau justru terdapat bias terhadap penyandang disabilitas? Sehingga mereka tidak mendapatkan hak yang seharusnya diterima. Selain itu, dari aspek aksesibilitas juga bisa digali lebih dalam lagi. 

Di Indonesia, jumlah penyandang disabilitas sebanyak 22,97 juta jiwa di tahun 2023. Kurang lebih sekitar 8,5% dari total penduduk Indonesia. Salah satunya adalah Elfiandi Nain, ketua Muslim Tuli Yogyakarta (Mulia), yang membagikan kisahnya sebagai penyandang disabilitas. Teman Tuli memang tidak bisa menangkap suara, bahkan suara yang mereka keluarkan sendiri. Jadi, mereka hanya bisa menangkap informasi berupa visual.

Secara teknis, keraguan penggunaan kata sensitif dalam liputan isu disabilitas bisa ditanyakan langsung dengan teman Tuli atau kelompok lain yang berkiprah di isu disabilitas. Sedangkan dari sisi acuan konten, bisa dilihat di panduan Dewan Pers.

Dian juga menjelaskan terkait pendistribusian konten ramah disabilitas di media. 

“Kadang kita sebagai wartawan nggak adil juga mendistribusikan pesan yang sudah ditulis. Sekarang saatnya teman-teman media juga menggunakan medium audio visual, kemudian teksnya juga, ada subtitlenya. Saya rasa itu juga perlu dipikirkan untuk mengakomodir dan menjadikan pers lebih inklusif bagi semua pihak,” pungkasnya.[]

Reporter : Ruhana Maysarotul Muwafaqoh

Editor : Hifzha Aulia Azka

You may also like

Eco Lifestyle Seminar: Langkah Awal Bebas Sampah di Lingkungan Akademi

lpmrhetor.com – Komunitas Mahasiswa Pecinta Alam Sunan Kalijaga