lpmrhetor.com- Tidak ada perubahan yang signifikan dalam menetapkan upah minimum di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dari regulasi yang diberlakukan, hasilnya selalu mempersulit buruh dalam mengakses upah yang layak. Hal inilah menjadi tuntutan Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) Yogyakarta pada aksi yang berlansung di Gedung Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Yoyakarta, Selasa (22/11/22).
Beberapa buruh mengeluhkan upah minimum yang tergolong kecil untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Hal ini sudah acap kali terjadi dan terus berulang tanpa membuahkan hasil yang memuaskan. Dalam press release tercantum bahwa Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 yang menjadi rumusan penetapan, dianggap tidak bisa mencerminkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
”Formulasi-formulasi yang kemudian bisa diinisiasi pemerintah hasilnya tetap nol bagi saya. Kita menilai perubahan itu dari signifikansi, nah perubahan itu tidak kelihatan. Kita hampir dua tahun diterpa korona, selesai korona tidak lama BBM naik,” ucap masa aksi, Rayhan Majid selaku ketua Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Yogyakarta.
Rayhan mengatakan bahwa Permenaker kali ini tidak berpengaruh apa-apa. Melihat secara umum dunia sudah berubah, semua sudah serba maju, dan berbagai barang-barang esensial seperti bensin dan lain sebagainya ikut mengalami kenaikan harga. Sementara tidak dibarengi dengan kenaikan upah yang signifikan.
Di tengah minimnya upah buruh dan beberapa harga barang yang naik, Koordinator MPBI DIY Irsyad Ade Irawan mengungkapkan bahwa sebagian buruh menambah kerja sampingan di luar jam kerja. Hasilnya pun tidak bisa mencukupi angka KHL di Yogyakarta. Maka pasti ada yang harus dibenahi dalam menetapkan upah minimum para pekerja.
“Jadi masalahnya delapan jam bekerja tapi upahnya tidak cukup dan dia harus bekerja tambahan sebagai ojek [misalnya]. Berarti ini kan artinya ada masalah di DIY, orang sudah bekerja tapi ga punya duit. Artinya orang itu bekerja melampaui normalnya,” ungkap Irsyad.
Dalam Permenaker Nomor 18 Tahun 2022, menunjukkan angka kenaikan pada Upah Minimum Provinsi (UMP). Namun, kenaikan tersebut tidak bersifat signifikan, yaitu tidak boleh lebih dari 10% dari UMP sebelumnya. Hal ini masih memperlihatkan kekurangan dalam mencapai survey KHL di Yogyakarta.
“Upah di Jogja paling tinggi itu dua juta, nah semisal hanya naik 10% itu hanya akan menjadi 2,2 juta dan itu tidak cukup. Kami telah melakukan survei bahwa dengan hidup layak 3,7 sampai 4 juta,” ungkap Irsyad.
Kemudian Irsyad melanjutkan bahwa harapan dari berlangsungnya aksi ini, yaitu gubernur merevisi Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 ini sesuai survey kebutuhan hidup layak.
“Kalau dia sudah layak sudah mencukupi KHL baru kita bisa serahkan kepada pengusaha dan serikat mau naiknya berapa persen. Karena selama start-nya itu jelek mau bahkan ditambah 70% itu juga itu masih di bawah layak yang telah ditentukan,” pungkasnya.[]
Reporter: Nur Kholifah (Magang)
Editor: Muhammad Rizki Yusrial