Agama Humanisme; Sebuah Keyakinan Solutif

888
Sumber: diarisoficiais.com
A gama sebagai basis keyakinan yang dianut dan dipercaya banyak pihak mampu menjadi pemersatu umat manusia, nyatanya malah menimbulkan konflik, gesekan identitas. Atas nama agama, seringkali suatu golongan melakukan perbuatan yang cenderung anarkis bahkan radikal. Jejak historis kebrutalan dengan menyertakan agama tercatat dalam sejarah, semisal ; peristiwa tragis 11 September 2001, yang menimpa gedung WTC Amerika yang memantik timbulnya Islamphobia (ketakutan terhadap Islam) ke seluruh dunia.

Belum pulih dari luka tragedi WTC, pada 12 Oktober 2002 masyarakat dunia dibuat tersentak dengan kasus peledakan bom di Legian, Kuta, Bali. Ledakan tersebut menewaskan 196 jiwa dari 22 negara. Lalu pengeboman di JW Marriot Hotel Jakarta (5/8/2003), dan bom di depan Kedubes Australia (9/9/2004). Kemudian tragedi penyerangan terhadap dua masjid di wilayah Christchurch Selandia Baru, yakni Masjid Linwood Avenue dan Masjid An-Noor, pada Jumat (15/3/2019).

Meski beberapa dari peristiwa tersebut tidak murni karena alasan agama, peristiwa-peristiwa tersebut tidak bisa menghalangi munculnya pelbagai kekhawatiran akan tampilnya wajah agama yang tak lagi ramah, agama seolah sebagai sumber destruktif kekacauan di dunia.

Berdasarkan buku putih yang disusun oleh Departemen Pertahanan (2003) perkiraan ancaman dan tantangan masa depan bangsa adalah terorisme internasional, gerakan separatis, aksi radikalisme, konflik komunal, kejahatan lintas Negara, imigrasi gelap, gangguan keamanan laut, gangguan keamanan udara, perusakan lingkungan, dan bencana alam (Winarno, 2007).

Ekspresi fundamentalis ini terkadang cukup mengerikan. Mereka menembaki jamaah yang sedang salat di masjid, membunuh para dokter dan perawat dalam klinik aborsi, membunuh presiden, dan bahkan mampu menggulingkan pemerintah yang kuat (Armstrong, 2001).

Tindakan anarkis-radikal atas nama agama yang menimbulkan keresahan bahkan sampai korban jiwa, tidak dapat ditolerir apapun agama atau keyakinan yang dianut.

Perefleksian agama-humanisme, bersinggungan dengan wilayah kontradiktif

Disini, humanisme (kemanusiaan) yang memiliki cita-cita menempatkan dan memperlakukan manusia secara lebih manusiawi, hal yang seharusnya dilakukan oleh agama, bisa dijadikan alasan menyudahi segala pertikaian. Dalam hal ini, agama menjadi hal penting untuk diejawantahkan bersama humanisme.

Meski demikian, hal itu jelas bukan perkara mudah, perefleksian agama dalam proses humanisme selalu bersinggungan dengan wilayah-wilayah kontradiktif. Di satu sisi, agama diklaim sebagai juru selamat, penunjuk arah, sumber cinta dan perdamaian, hingga jalan ke arah hidup yang lebih manusiawi sekaligus ilahi. Di sisi lain, jelas dalam rangkain sejarah konflik-konflik, agama kerapkali menjadi sebab, sumber dan alasan bagi rusaknya kemanusiaan.

Aksi anarkisme yang di dalamnya termasuk intoleransi terhadap agama, telah marak terjadi di belahan dunia. Beberapa unsur yang mendasari terjadinya tindak kerusuhan agama, yaitu adanya absolutisme kebenaran agama. Klaim kebenaran agama biasanya berasal dari wahyu yang tertulis di kitab suci.

Pada umumnya, struktur agama baik secara eksplisit maupun implisit menjelaskan pada kebenaran klaim ini. Celakanya, dogma ini dipahami mentah oleh beberapa golongan, sehingga tak jarang memunculkan persepsi berbeda, yang pada akhirnya melahirkan manusia superior, merasa paling benar, mendeskreditkan, bahkan lebih parahnya sampai menghukumi agama lain sebagai keyakinan yang salah dan patut untuk dimusnahkan.

Cara pembenaran  dan klaim diri sebagai kelompok yang superior tersebut sangat terasa dalam pernyataan “di luar gereja tak ada keselamatan”, “di luar agama saya adalah kafir”, “kamu bukan kelompok kami”. Agama yang seharusnya mempersatukan, merangkul, di sini justru terasa membuat jarak dengan lainnya.

Unsur lain yang menjadi dasar kerusuhan agama, ialah Mekanisme ketakutan. Seringkali agama-agama menegaskan penghayatan keagamaan secara serampangan, dengan memainkan konsep hitam-putih : dosa-suci, haram-halal, surga-neraka, hukuman-ganjaran.

Agenda setting dasar yang dikelola adalah: ketakutan dan ketaatan buta. Penghayatan keagamaan umumnya dimotori oleh mekanisme ketakutan seperti ini. Orang lantas mengerjakan sesuatu semata-mata karena ingin mendapatkan ganjaran di surga atau tidak ingin merasakan siksaan neraka.

Terjebak pada institusi. Merupakan unsur yang tak kalah pentingnya mengambil peran sebagai motivasi terjadinya suatu kerusuhan agama, mengingat agama-agama tidak mungkin dipisahkan dengan komponen-komponennya, seperti kesakralan ruang dan waktu, komunitas hingga lembaga keorganisasiannya.

Ketika agama sibuk mengurusi dirinya sebagai institusi, sistem organisasi sosial-politik, sistem doktrin, hukum dan ritualnya semata, ia akan terus menimbulkan kontradiksi-kontradiksi dalam dirinya. Agama rentan terhadap konflik, mudah sekali permasalahan tersulut akibat gesekan kepentingan, hal tersebut ditengarai karena agama hanya dipersepsikan sebagai  sistem organisasi sosial-politik.

Pada kondisi seperti inilah agama mudah sekali dipelintir, dipolitisasi demi kepentingan tertentu. Ayat-ayat kitab suci hanya dijadikan pembenaran, validasi pendukung strategi untuk mencapai kepentingan golongan. Terjebaknya agama dalam taraf institusi atau kulit lahiriahnya inilah yang menyebabkan hilangnya martabat dan kesakralan agama.

Tantangan sekaligus peluang agama humanisme

Manakala agama selalu memprioritaskan absolutisme klaim kebenaran, doktrinisasi dengan mekanisme ketakutan, dan mengeklusifkan dirinya hanya pada tataran institusi, maka agama akan selalu terjebak dalam kecenderungan-kecenderungan yang kontradiktif.

Dalam menghadapi gejolak skeptisme, kekhawatiran tentang kredibilitas agama perlu merevitalisasi diri. Walaupun mayoritas kegaduhan diakibatkan oleh pola pikir para pengikutnya, agama perlu menemukan dan mengungkapkan kembali energi positifnya yang membuatnya lebih humanis.

Terlebih di era pos-sekular, runtuhnya metanarasi yang menjadi proyek modernisme pada taraf tertentu menimbulkan adanya relativisme-nihilistik, membawa agama pada wilayah subyektifitas. Agama menjadi tanggung jawab dan konsekuensi pribadi, kebenaran agama bersifat  relatif (tidak mutlak) dan pragmatis.

Di sudut lain, arus relativisme-nihilistik membawa manusia  sekular pada kehidupan yang tidak pasti. Manusia dihinggapi, meminjam istilah Zygmunt Bauman, kegelisahan  eksential, pergolakan keyakinan. Kegelisahan yang menghinggapi tiap individu ketika identitas dianggap sebagai kontruksi yang tidak pernah selesai dan sering menimbulkan “lubang keyakinan”.

Di sinilah agama ditantang untuk menampilkan sifat humanisnya sebagai penyelamat dan sumber harapan. Maka menjadi menarik istilah yang diingatkan oleh Karen Amstrong, ketika sebuah gagasan keagamaan kehilangan fungsinya ia akan dilupakan.

Munculnya sisi gelap agama tidak serta merta mengubur harapan besar pada agama dalam usaha membentuk kehidupan yang lebih manusiawi. Agama hadir dalam wajah humanis manakala mampu menutup lubang kekosongan terhadap skeptisme agama.

Solusi mujarab dalam menjadikan agama yang humanis

Manusia sebagai komponen penting dalam agama, memiliki peranan yang sangat besar untuk mewujudkan kesejahteraan dalam hal berkeyakinan. Hal ini ditunjang dengan senantiasa mengutamakan Kerendahan hati untuk melakukan kritik diri.

Mengevaluasi diri atau instropeksi sangat perlu dilakukan kalau mau agama tumbuh lebih dewasa. Ungkapan “yang salah itu orangnya dan bukan agamanya” merupakan pembelaan yang sering dilontarkan. Agama diibaratkan pisau, bisa digunakan untuk hal positif semisal keperluan memasak, tapi juga bisa digunakan untuk keperluan negatif;  membunuh orang.

Dalam beberapa hal analogi di atas bisa diterima, tapi analogi tersebut juga memiliki kelemahan. Pisau itu dapat membunuh karena ia memiliki unsur atau struktur yang bisa melukai bahkan membunuh orang, bukan semata karena orang yang menggunakan pisau bertujuan membunuh.

Selanjutnya, Paradigma keagamaan yang lebih inklusif. Seperti yang sudah diketahui, klaim kebenaran absolut kerap kali menimbulkan persepsi agama yang kaku, keras, intoleran dan destruktif, bahkan untuk agamanya sendiri.

Kebenaran  dapat dimaknai tidak dengan menolak, meniadakan bahkan menghancurkan kebenaran yang lain. Pada titik ini bahkan yang penting barangkali bukanlah apa yang kita percayai, melainkan apa yang kita lakukan secara konkret dalam hidup ini.

Agama sebagai oasis kehidupan

Dinamika kehidupan manusia modern yang begitu kompleks, dirundung ketidakpastian, kehampaan batin, masalah identitas dan sebagainya, selayaknya mampu dimanfaatkan agama untuk mengayomi atau menjadi oasis atas dahaga keyakinan. Ada kekosongan dalam diri manusia yang selalu ingin menembus batas. Manusia tidak cukup dalam makna rasionalitas dan kecukupan materialitas, karena manusia akan selalu mengkhayalkan, simbolisme bagi kebahagiannya.

Agama yang bersumber pada cinta

Umumnya agama-agama menempatkan cinta sebagai inti dalam spiritualitasnya, tentu dengan cara dan gaya masing-masing. Namun inti tersebut sering kali tenggelam dalam persoalan remah dalam kehidupan beragama. Sebagai kematangan relegiusitas agama akan dikontemplasikan sebagi komitmen etis dan mistis. Beriman dan mencintai tiada lain adalah bertanggung jawab pada umat manusia dan seluruh kehidupan.

Sebagai gerakan kultural barat, humanisme memang terlahir dari tradisi agama tertentu, namun humanisme dapat berfungsi sebagai pasangan tanding (sparing partner) yang memungkinkan agama merekontruksi diri dan menjadi sumber keharmonisan sejati.

Akhirnya, seperti yang diyakini Franz Magnis Suseno, agama memang berada dalam kritis, bentuk keagamaan tertentu juga kerap dicerca. Akan tetapi agama justru merupakan jangkar dan menara harapan bagi umat manusia.[]

 

 

M. Alfan Fannan. Jurnalis LPM Rhetor dan Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga.

You may also like

Gerakan Sosial Islam pada Masa Kolonialisme

Gerakan kolonialisme Belanda di Indonesia adalah ekspansi kapitalisme;