Babak baru pendidikan perguruan tinggi sudah dimulai, mengingat kampus-kampus sudah membuka penerimaan calon mahasiswa baru. Sebagian, calon mahasiswa itu menganggap babak ini sebagai ajang perlombaan untuk mendapatkan program studi dan kampus yang diinginkan. Sisanya, bisa jadi tak peduli pada bidang keilmuan mana, yang penting tidak menganggur setamat sekolah menengah. Terlepas dari itu, bagian terpentingnya adalah persiapan finansial sebagai pelengkap administrasi agar bisa duduk di bangku perkuliahan.
Sejauh ini, biaya kuliah tetap menjadi isu yang ramai dibahas ketika memasuki ajaran baru. Bola panas selalu berguling pada moment-moment itu. Seperti enggan jinak, protes yang dilakukan hampir setiap enam bulan sekali itu tak pernah menemukan titik terang. Sehingga, kontroversi terkait pembiayaan masih menjadi problem klasik yang tak kunjung terselesaikan.
Sistem pembiayaan dengan mekanisme yang baru memang berevolusi, tetapi misinya tak pernah memihak kepada masyarakat. Bermula dari sistem pembayaran Sumbangan Pengembangan Pendidikan (SPP) dengan besaran biaya yang dipukul rata setiap mahasiswa. Kemudian pada tahun 2013/2014 berubah menjadi sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT).
UKT merupakan model pembayaran dengan klasifikasi yang disesuaikan dengan kemampuan ekonomi atau pendapatan orang tua. Namun, hingga saat ini sistem pembayaran tersebut masih tidak mampu membobol pintu gerbang kemerdekaan pendidikan. Jeritan terkait mahalnya pembiayaan masih sering kita dengar dari sudut fakultas. Dengan itu, cita-cita mulia subsidi silang dari sistem UKT ini dapat disimpulkan masih mengalami kecacatan.
Kampus saya tercinta ini, UIN Sunan Kalijaga yang memiliki slogan kebesaran “Uin Suka Untuk Bangsa, Uin Suka Mendunia” seharusnya dapat diterapkan secara konseptual maupun aktual. Salah satu bentuk penerapannya dengan sistem biaya kuliah yang lebih memihak kepada mahasiswa. Kan katanya untuk bangsa. Tapi, demonstrasi terkait hal tersebut malah rutin terlaksana di setiap semester.
Belum habis pembahasan terkait pembiayaan yang mahal, kampus rakyat ini melakukan taktik baru sebagai upaya jalan keluar dalam sitem pembayaran UKT, yaitu bergandengan tangan dengan Dana Cita. Dikutip dari kumparan.com, pada 21 April 2022 lalu UIN Sunan Kalijaga melakukan penandatanganan MoU kerja sama dengan Dana (PT. Inclusive Finance Group) yang ditandatangani langsung oleh Rektor UIN Sunan kalijaga, Prof. Al Makin, dan Direktur Utama PT. Dana Cita, Alfonsus Dwianto Wibowo.
Dana Cita merupakan perusahan yang membawa cita-cita mulia. Yaitu, membangun masa depan generasi muda Asia Tenggara dengan menghadirkan pembiayaan pendidikan terjangkau bagi para pelajar dan tenaga profesional. Namun, apakah secara prakteknya benar demikian? Mari lanjutkan membaca analisis yang tidak seberapa ini.
Dalam perjanjian ini, kedua belah pihak menyepakati adanya penyediaan dana dari Dana Cita dengan perjanjian akad kredit. Biaya yang cair dapat digunakan untuk keperluan pelaksanaan pendidikan termasuk pembiayaan untuk pendidikan dan pemberdayaan sumber daya manusia.
Logika kerjasama tentunya saling menguntungkan antara pihak A dan pihak B. Bila kita amati, kampus tentunya menginginkan kontinuitas pembiayaan untuk melaksanakan agenda pendidikan baik untuk pembangunan, revitalisasi, pembiayaan dll yang berkaitan dengan kampus. Pihak B tentunya menginginkan surplus dari adanya kerjasama tersebut.
Dilihat dari hasil presentasi oleh pihak Dana Cita di Fakultas Usuludin dan Pemikiran Islam pada 11 Juni 2022 lalu, sistem kredit akan dilakukan dengan syarat pihak yang mengajukan berstatus sebagai mahasiswa aktif dan turut menyertakan nominal pendapatan orang tua.
Proses pengajuan dilakukan dengan mekanisme langsung kepada pihak Dana Cita tanpa melalui perantara kampus. Uang yang dipinjam pun langsung masuk ke rekening kampus tanpa melewati rekening penimjam. Secara tidak langsung dapat kita pahami uang yang dipinjam tentu akan sama besarnya dengan nominal UKT sang peminjam.
Ada dua periode kredit yang ditawarkan, 6 bulan dan 12 bulan. Bila kita meminjam uang sebesar Rp4.500.000 dengan periode 6 bulan, maka perbulan uang yang harus dibayarkan peminjam sebesar Rp831.000 dan Rp453.000 bila memilih 12 bulan. Baiklah untuk selanjutnya mari kita hitung secara manual.
Ucok meminjam dan memilih periode kredit selama 6 bulan. Rp831.000 yang dibayarkan oleh Ucok sebanyak 6 kali akan berjumlah menjadi Rp4.986.000. Yang artinya Ucok membayar lebih sebanyak Rp486.000 dari jumlah yang ia pinjam. Sementara bila ia memilih 12 bulan, Maka keseluruhan yang harus dibayar Ucok sebesar Rp5.436.000. Yang mana angka tersebut berjarak hampir 1 juta dari peminjaman awal. Wow! Angka yang cukup tinggi ya kawan-kawan.
Meski lebihnya itu tidak dianggap sebagai bunga namun sebagai biaya platform berdasarkan informasi dari website Dana Cita sendiri, tetap saja, angka yang lumayan jauh dari jumlah pinjaman berpotensi memberatkan Ucok dan mahasiswa lain. Terlebih bila Ucok tidak membayar sesuai waktu yang ditetapkan, maka denda sebanyak 6% dari jumlah pinjaman sedang menantinya di depan mata.
Yang menjadi pertanyaan besar, di mana posisi kampus dalam hal ini? Sejauh yang saya pahami kampus hanya memberikan ruang pasar terhadap Dana Cita. Sementara bila ada mahasiswa yang kesulitan membayar, maka konsekuensi akan dibebankan oleh mahasiswa itu sendiri. Ini berarti tak ada bedanya bila si Ucok meminjam ke platform lain yang juga terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Toh bebannya juga Ucok tanggung sendiri.
Adanya kerjasama kampus dengan perusahaan, menandai bahwa komersialisasi pendidikan semakin nyata. Kampus memberi arena kepada perusahaan untuk berbisnis di dalam lingkungan akademik. Mahasiswa dalam hal ini adalah objek pasar (konsumen) yang dikorbankan untuk pemenuhan pembiayaan. Kampus sebagai laboratorium seakan berubah menjadi pasar yang tidak jauh berbeda dengan marketplace yang menawarkan kredit, cashback dan lain sebagainya.
Student Loan: perangkap pendidikan
Student loan adalah skema pinjaman biaya pendidikan untuk menempuh perguruan tinggi. Ide soal student loan sudah lama dijalankan di negara kapitalis seperti Amerika Serikat. Walaupun sistem ini sudah dijalankan oleh negara maju, bukan berarti kita harus meniru ide tersebut. Sebab pada kenyataannya model ini mempunyai resiko yang amat pelik.
Di Amerika sendiri, kehidupan pahit menjerat para mahasiswa karena rantai hutang tidak terputus. Dikutip dari cnbcindonesia.com data laporan bank sentral AS, Federal Reserve, menunjukan 6,9 juta peminjaman student loan yang masih terjerat pinjaman di usia antara 40 dan 49 tahun, dan utang gabungan mereka berjumlah $229,6 miliar. Ini menunjukan warga Amerika memiliki rata-rata pinjaman pendidikan sebesar $33.765 perorang di usia 40-an.
Melihat situasi dan kondisi angkatan kerja di Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah angkatan kerja Indonesia mencapai 144,01 juta jiwa pada Februari 2022. Jumlah tersebut mencapai 69,06% dari total penduduk usia kerja yang berjumlah 208,54 juta jiwa.
Saat ini, zaman kita adalah zaman yang tidak menguntungakan dalam memperoleh pekerjaan. Dari keadaan tersebut maka akan pelik jika pasca student kita masih terjerat hutang karena adanya student loan.
Teman-teman tentu ingat dua tahun ke belakang adalah zaman yang sulit untuk kita bertahan hidup. Covid-19 meruntuhkan segala aspek kehidupan apalagi dalam hal kesehatan dan ekonomi. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masal yang terjadi pada masa pandemi menjadikan masyarakat seperti terkatung-katung di lautan tanpa arah. Maka, peminjaman uang dengan cara kredit adalah cara yang dipilih untuk menyambung hidup, walaupun dengan bunga yang tinggi dan ini akan mempengaruhi stabilitas ekonomi. Namun, apakah akan membantu bila diterapkan pada pendidikan?
Salah satu jurnal Dealing with debt: 1992–93 bachelor’s degree recipients 10 years later (NCES 2006-156). Karya Choy dan Li (2006) bahwa beban utang bulanan melebihi 8% dari pendapatan, utang dianggap tidak terkendali. Dengan begitu jika student loan yang ada di kampus berbunga lebih dari 8% maka default pembayaran akan sangat tinggi. Ketika itu terjadi, kampus akan menjelma menjadi rentenir.
Selain itu bila kampus memberlakukan pinjaman dengan memakai bunga, berarti kampus telah mengabaikan amanat Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pasal 76 ayat (2). Pemenuhan hak mahasiswa seharusnya dilakukan dengan cara memberikan beasiswa bagi mahasiswa berprestasi, membebaskan biaya pendidikan, serta pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus atau telah memperoleh pekerjaan.
Meski dalam hal ini Dana Cita bukanlah bagian dari pihak kampus, sehingga bisa dengan mudah kampus mencuci tangan bahwa pihaknya masih menjunjung tinggi amanat undang-undang tadi. Tetap saja pemberian ruang pasar terhadap pihak ke-3 itu mendekati tindakan yang saya anggap sebagai penyelewengan. Mendekati lho ya.
Apabila kampus akan tetap menjalankan student loan, lebih baik mengacu pada amanat undang-undang dengan pinjaman tanpa bunga. Atau lebih baik lagi membebaskan biaya pendidikan bagi seluruh rakyat. Dengan demikian kampus menjadi tempat yang baik untuk berguru, di mana mahasiswa lebih fokus menimba ilmu bukan lelah membanting tulang dengan bekerja. Karena pendidikan adalah kunci untuk membuka pintu gerbang kemerdekaan.
Dengan itu, di akhir tulisan ini saya sampaikan bahwa kedatangan Dana Cita ke kampus tercinta kita bukanlah hal yang terlalu urgent. Banyak indikator yang masih harus jadi pertimbangan. Bila kerjasama ini sukses dan berhasil, tentu saya turut merasa senang. Namun terkait analisis yang saya tuliskan sebelumnya dan menghasilkan sesuatu yang buruk lebih baik dihindari sebelum hal itu terjadi. []
Penulis : M. Jia Ulhaq, Pemimpin Umum LPM Rhetor
Editor : Muhammad Rizki Yusrial