lpmrhetor.com – “Tak ada demokrasi tanpa kebebasan pers,” ucap Majelis Pertimbangan Organisasi, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Asnil Bambani, saat dihubungi lpmrhetor.com (21/07). Pernyataan tersebut menunjukkan eratnya kaitan antara kebebasan pers dan demokrasi, bahkan kebebasan pers merupakan cermin dari sistem demokrasi yang ideal.
Pers memiliki peran vital, pers tidak hanya untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat, tetapi juga untuk mengontrol kinerja atau kebijakan pemerintah. Sehingga, tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power serta muncul check and balance. Selain itu, pers juga menjadi media komunikasi masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya. Karena perannya yang sangat penting itulah, kebebasan pers perlu diperhatikan.
Kebebasan pers di Indonesia dimulai setelah reformasi 1998. Semangat kebebasan pers ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers atau yang biasa disebut dengan UU Pers, seperti yang dilansir dari kompas.id, UU Pers dikeluarkan dengan semangat perubahan dari masa Orde Baru yang mengekang menuju masa demokratis yang mendukung kebebasan pers.
Kebebasan Pers Saat Ini
Meskipun semangat kebebasan pers sudah ada sejak zaman Orde Baru, akan tetapi kebebasan pers belum cukup baik hingga saat ini. Dalam seminar daring “Citizen Jurnalism: Strength In Democracy” Minggu (18/07), Andreas Harsono menilai kondisi kebebasan pers di Indonesia masih lemah. Hal ini dibuktikan dengan maraknya kasus pembungkaman yang menimpa media maupun wartawan.
Berdasarkan data AJI Indonesia, sepanjang Mei 2020 hingga Mei 2021 tercatat ada 90 kasus kekerasan yang dialami jurnalis. 90 kasus tersebut meliputi intimidasi (28 kasus), perusakan alat dan atau hasil liputan (22 kasus), kekerasan fisik (19 kasus), ancaman kekerasan atau teror (9 kasus), pemidanaan/kriminalisasi (6 kasus), pengusiran/pelarangan liputan (3 kasus), sensor/pelarangan pemberitaan (2 kasus), dan gugatan perdata (1 kasus).
Bahkan di tahun ini, jumlah kasus meningkat dari tahun sebelumnya, sebanyak 57 kasus. Ini merupakan jumlah kasus terbanyak sejak sepuluh tahun terakhir yang menunjukkan bahwa situasi kebebasan pers di Indonesia semakin terancam. Akibatnya, menurut Andreas, kekerasan ini dapat membuat wartawan menjadi takut dan melakukan self censorship.
Pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Asnil, ia mengatakan bahwa kondisi kebebasan pers sangat terpuruk.
“Di Jakarta saja, ada puluhan kasus kekerasan terhadap jurnalis. Puluhan kasus pertahun dan tak satupun pelakunya ditangkap,” jelas Asnil.
Selain kasus yang terjadi di Jakarta, Asnil juga menyayangkan banyaknya kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi di daerah lain. Ia mencontohkan kasus yang menimpa Nurhadi, seorang jurnalis Tempo yang mengalami ancaman pembunuhan, penculikan dan penganiayaan ketika sedang melakukan liputan di Surabaya. Bahkan, kasus tersebut hingga kini mandeg begitu saja.
“[Kelanjutan kasus Nurhadi] Gak jelas. Penetapan tersangka sudah, tapi kagak ditahan,” ungkap Asnil.
Tak hanya serangan fisik, pembungkaman terhadap media juga dapat berupa serangan pidana. Wahyu Dhyatmika selaku Sekretaris Jendral Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) mengatakan bahwa serangan pidana lebih rentan menimpa wartawan tingkat lokal, pada konsolidasi nasional demokratik dengan tema “Kebebasan Pers dan Ruang Sipil”, Rabu (07/07).
Wartawan Banjarhits.id Diananta Putra Sumedi merupakan salah satu korbannya. Ia diganjar hukuman penjara selama 3 bulan 15 hari setelah menulis berita mengenai sengketa lahan antara masyarakat Dayak di Kabupaten Kotabaru dengan perusahaan sawit yang dimiliki PT Jhonlin Agro Raya.
Diananta diperkarakan ke polisi dengan tuduhan melanggar pasal 28 UU ITE. Padahal menurut Komite Keselamatan Jurnalis kasus ini merupakan sengketa jurnalistik yang tidak dapat serta merta dibawa ke ranah pidana.
Sebagaimana tertulis dalam siaran pers Komite Keselamatan Jurnalis, yang menyebutkan bahwa vonis majelis hakim Pengadilan Negeri Kotabaru merupakan lonceng kematian bagi pers Indonesia. Sebab tindakan yang dilakukan Diananta merupakan kerja yang menghasilkan produk atau karya jurnalistik sehingga tidak tepat diadili di pengadilan.
Selain serangan fisik dan pidana, pembungkaman terhadap pers saat ini juga bisa berupa serangan digital. Dalam diskusi yang sama, pendiri Project Multatuli, Evi Mariani mengatakan bahwa serangan digital bisa berupa penyebaran informasi pribadi tanpa izin (doxing), dicap hoax, maupun diserang buzzer.
Kasus semacam ini semakin marak terjadi selama pandemi. Misalnya kasus yang menimpa media kompas.id pada 04 Juli lalu. Kompas.id memuat berita meninggalnya 63 pasien di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito dalam sehari semalam. Diduga salah satu penyebab meninggalnya 63 pasien itu adalah keterlambatan pasokan oksigen ke Rumah Sakit. Sehari setelah berita tersebut terbit, Divisi Humas Polri melabeli berita tersebut sebagai berita hoax.
Ahmad Arif, reporter yang menulis berita tersebut mengaku heran akan kejadian itu, pada diskusi “Represi Terhadap Media di Indonesia”, pada Senin (12/07).
“Menurut saya, ini merupakan salah satu bentuk nyata sebenarnya pembungkaman media oleh aparat. Apa konteksnya polisi melabeli hoax atas proses jurnalistik, bukan wewenang mereka begitu,” ujarnya.
Menurut Arif, kasus yang menimpanya merupakan gambaran bagaimana beratnya bekerja jurnalis di Indonesia.
Selain itu, evi juga menilai bahwa cap hoax oleh Polri dilakukan secara serampangan dan tidak memiliki batasan yang jelas.
“Sementara kalau teman-teman wartawan yang bekerja di konsorsium cek fakta, itu kita punya metode yang jelas ketika memutuskan suatu hal itu misinformasi atau kurang akurat atau hoax atau berita bohong. Itu ada urutan-urutannya, ada levelnya. Tapi kalau cap hoax dari pemerintah ini biasanya memang serampangan,” jelas Evi.
Lebih lanjut, Evi juga mengatakan bahwa perang narasi semacam ini dapat mengancam kredibilitas pers.
“Perang narasi ini luar biasa meskipun tidak secara fisik, maksudnya disakiti, dipukul atau dibunuh gitu ya amit-amit. Tapi ini kredibilitas pers ini yang sedang digrogoti secara sistematis,” ujarnya.
Menurutnya, pelabelan hoax ini merupakan permasalahan yang serius. Sebab di situasi krisis saat ini diperlukan media dan wartawan yang kritis dan menyuarakan kebenaran.
“Wartawan-wartawan yang kritis dan ngomong kebenaran itu dibungkam dengan cara yang luar biasa ya saya kira. Ini sama aja sakitnya kayak dibredel, meskipun dibredel itu lebih lebih parah, cuma saya kira jangan dianggap tidak serius ya, cap hoax ini menurut saya serius sekali,” tegasnya.
Penyebab Lemahnya Kebebasan Pers
Dikutip dari voaindonesia.com, Majelis Etik (ME) Nasional AJI Indonesia, Abdul Manan mengatakan ada tiga hal yang menyebabkan lemahnya kebebasan pers di Indonesia. Pertama, adanya sistem yang korup. Menurut Abdul Manan, sistem yang korup hanya akan melihat kepentingan sesaat dan tidak akan melahirkan regulasi-regulasi yang mendukung kebebasan pers.
Pernyataan senada juga dikemukakan oleh Asnil Bambani. Tidak konsistennya pemerintah dalam menegakkan kebebasan pers, menurutnya, akan berdampak pada ketidak konsistenan aparatur negara untuk menuntaskan kasus-kasus yang menimpa wartawan.
“Selama tak ada komitmen dari presiden, aparat hukum juga tak berkomitmen melindungi wartawan, termasuk menangkap pelaku kekerasan terhadap wartawan,” tutur Asnil Bambani kepada lpmrhetor.com ketika diwawancarai via whatssapp, Rabu (21/07).
Selain sistem pemerintahan yang korup, menurut Abdul Manan, kesejahteraan wartawan juga menjadi salah satu faktor penentu kebebasan pers. Ia menjelaskan, jika gaji wartawan tidak cukup, maka wartawan harus memikirkan usaha lain agar bisa memenuhi kebutuhannya. Hingga akhirnya, mereka tidak bisa berkonsentrasi dalam menghasilkan karya jurnalistik yang baik
Andreas Harsono juga menjelaskan, bahwa wartawan di Indonesia memang masih belum bisa dikatakan sejahtera. Hal ini karena gaji yang mereka terima masih belum layak.
“Harusnya hari ini gaji wartawan di Jakarta itu sekitar 16-18 juta perbulan. Tapi, kan gak bisa itu. Menurut standar AJI saja bujangan hanya terima kalo gak salah 9 juta. Dengan kata lain pendapatan wartawan makin berkurang, Nah karena sekarang pandemi, makin banyak yang di-PHK,” ujar Andreas Harsono.
Penyebab terakhir dari lemahnya kebebasan pers menurut Abdul Manan adalah adanya iklim ketakutan. Iklim ketakutan muncul karena maraknya ancaman, teror, maupun kekerasan fisik terhadap wartawan. Kasus tersebut diperparah dengan maraknya tradisi impunitas di Indonesia, sehingga pelaku dari kasus kekerasan yang menimpa wartawan seringkali tidak diadili dengan semestinya.
Selain penyebab yang telah disebutkan di atas, Andreas harsono dalam websitenya www.andreasharsono.net mengatakan bahwa penyebab dari tidak berjalannya kebebasan pers sesuai harapan ialah karena kurang mengertinya masyarakat tentang prosedur jurnalistik. Dampaknya, ketika masyarakat merasa tidak puas terhadap wartawan, mereka mengambil jalan sendiri seperti melalui kekerasan dan sebagainya. Padahal, ketidakpuasan terhadap karya jurnalistik bisa diselesaikan dengan prosedur tertentu, misalnya mengadukan wartawan ke Dewan Pers.
Bila Kebebasan Pers Runtuh, Apa yang Terjadi?
Menurut Asnil Bambani, jika kebebasan pers runtuh maka masyarakat lah akan dirugikan. Hal ini karena masyarakat tidak bisa mendapatkan informasi yang mereka butuhkan.
Senada dengan Asnil, Andreas Harsono juga berpendapat bahwa semakin buruk kualitas jurnalisme, maka semakin buruk pula kualitas masyarakatnya. Tak hanya itu, menurutnya, pembungkaman pers secara lebih luas akan berdampak pada runtuhnya demokrasi.
“Demokrasi dan jurnalisme lahir bersama-sama. Mereka juga akan mati bersama-sama,” pungkas Andreas dalam webinar daring “Citizen Jurnalism: Strength In Democracy” (18/07).
Reporter: M. Hasbi Kamil dan Halimatus Sakdiyah EM
Editor: Lutfiana Rizqi S.