Kampus kini sudah melakukan aktivasi kembali setelah katastrofe melumat kita mentah-mentah. Kemudian, secara konkrit hal itu mengantarkan kita pada masa kegelapan. Ihwalnya, UIN Sunan Kalijaga (UIN Suka) memiliki predikat UIN paling rebel se-Nusantara. Sebab membaca history Sunan Kalijaga yang menyampaikan dakwah melalui kesenian dan kebudayaan.
Pula tidak terlepas dinamika UIN Suka beberapa tahun silam atas aktivasi ruang yang dilakukan mahasiswa di sudut-sudut kampus yang sangat variatif. Mulai dari musik-musikan, lingkar diskusi, hingga mabuk puisi. Mereka menyadari betapa “hati” adalah condiment paling vital dalam merawat hasrat pemberontakan sebagai upaya menciptakan jalan baru, kelak tidak terjebak pada labirin pembodohan sistem.
Kondisi UIN hari ini seperti Eropa pasca perang dunia pertama. Peradabannya hancur dan orang-orangnya sakit. Kita kehilangan waktu dalam mengekspresikan rentetan kekecewaan terhadap realitas kita sebagai mahasiswa.
Bagi sebagian besar mahasiswa baru –mulai dari angkatan korona (2020)– yang berkesempatan membicarakan persoalan ini, menganggap bahwa ketika gelanggang itu hilang, maka mereka semakin babak belur diperkosa sistem hari ini. Namun kita menyadari, bersandar pada kemunafikan sama saja artinya dengan berjalan menuju jurang kehancuran.
Sebagaimana demoralisasi yang barangkali kita rasakan, betapa jajahan kolonial hingga modernisasi yang kita lalui telah memberangus rakus masing-masing jiwa kita
Mari kita membuka fragmen sejarah. Misalnya pada tahun 1980-an, budaya kesenian serta lingkup kesusastraan meledak, sangat bergerilya dan masif. Dinamika tersebut berkurang eksistensinya awal tahun 90-an.
LSM mulai masuk menggiring kegiatan mahasiswa ke arah pergerakan reformasi, meruntuhkan rezim Soeharto saat itu. Pasca itu, kegiatan mahasiswa lebih tersentral pada gerakan revolusioner. Kemudian masuk awal 2000-an satu persatu gerakan kolektif kembali muncul ke permukaan, mengaktivasi sudut hingga lorong kampus.
Circa tahun 2010, terjadi sebuah tragedi komedi di mana rektor saat itu Prof. Amin Abdullah terindikasi melakukan penggelapan dana yang selanjutnya tidak terbukti. Sampai akhirnya Prof. Amin Abdullah membangun panggung demokrasi yang biasa dikenal dengan sebutan “Pangdem”. Letaknya tepat di Gedung FEBI saat ini.
Pangdem tersebut dibangun sebagai fasilitas teman-teman mahasiswa dalam merawat gelanggang kebudayaan UIN Suka. Keberadaan Pangdem memantik hasrat mahasiswa dalam menciptakan ruang-ruang alternatif.
Misalnya saja seperti Gorong-gorong Institut, Pengadilan Puisi, Komunitas Sastra di Bawah Pohon, Rimbun Berisik, Suku Karinding, dan banyak lagi yang lainnya. Mereka mengaktivasi sudut-sudut kampus, bahkan menyulapnya menjadi rumah untuk menginap..
2015 Pangdem dirubuhkan dan direlokasi demi kepentingan pembangunan Gedung FEBI. Saat itu semua elemen mahasiswa bergerak melawan pembangunan gedung baru tersebut. Siapapun pasti mengira bahwa sebetulnya kebijakan itu merupakan obituari atas matinya gelanggang kebudayaan UIN Suka secara perlahan.
UIN hari ini hanya ingin bersetubuh dengan kerja-kerja Ormawa yang bersifat birokratis. Sementara fungsi ekstra parlementernya ia campakkan di mana kerja gerakan atau aktivisme lahir dan terbentuk dari situ. Ormawa tidak lebih dari sekedar agen pelestarian kerja birokratis yang mapan dan terlalu pengecut untuk keluar dari “kotak kecil”.
Pasca robohnya panggung demokrasi 2015, angkatan selanjutnya hanya bisa mencomot sisa-sisa serpihan dari semua komunitas yang menghidupi gelanggang kebudayaan kampus. Kemudian diteruskan dengan kerja-kerja klandestin yang dilakukan bagi ia yang masih resisten dalam memberikan secercah nyala api atas gelanggang kebudayaan kampus kita.
Terlepas minat daftar Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) kesenian di UIN Suka bertumbuh di tahun-tahun terakhir ini, akan tetapi ruang-ruang alternatif dalam menghidupkan gelanggang kebudayaan tergerogoti manusia-manusia mesin organisatoris yang membosankan.
Membedah kembali judul dari esai ini, tepatnya pada kata awal “mencari”. Artinya kebudayaan kita hanya sedang sembunyi; mungkin mereka bersembunyi di lorong-lorong sempit kampus, atau barangkali di balik kali Gajah Wong.
Mungkin juga mereka sengaja menantikan semangat-semangat mahasiswa baru dalam menghidupi gelanggang kebudayaan di kampus kita. Maka dari itu penting kiranya buat kita untuk bergerak mencari.
Kalian hanya perlu membaca kembali tulisan di paragraf kedua “kita hanyalah angkatan yang diperkosa oleh sistem!”. Sedari Maba panca indera kita dihadapkan pada hal-hal yang kaku, bersifat sistematis, administratif, dan serba akademis. Betapa kebosanan terus menghantui kita serupa babi ternak yang tak mengenal bosan ketika bermain lumpur.
Dan sekali lagi, UIN hari ini serupa lakon Sampar; menjelma kota mati dengan berbagai macam virus di dalamnya. Tidak ada yang bisa keluar dari sana dan tidak ada yang bisa masuk ke sana. Angkatan 2020 hingga 2022 mengalami dekadensi selayaknya fenomena lost generation di Jepang, di mana Jepang mengalami resesi ekonomi. Impactnya hingga hari ini, Jepang menjadi negara dengan kasus bunuh diri terbanyak.
Kawan-kawan, barangkali Sunan Kalijaga bermuram durja melihat fenomena ini. Ya, kita hanya perlu menyusuri mesin waktu bagaimana dinamika gelanggang kebudayaan UIN Sunan Kalijaga dari masa ke masa. Betapa kita lihat hari ini UIN Suka serupa kuburan dan kita yang dimakamkan di dalamnya. []
Widad Hafiyan Ustman, Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Editor: Muhammad Rizki Yusrial