lpmrhetor.com, Yogakarta – Dua hari berturut sejak Jumat (9/3), Badan Otonom Mahasiswa Fakultas (BOM-F) Adab dan Ilmu Budaya, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sanggar Nuun, menggelar pertunjukan teater bertajuk Kemah Seni VI. Dengan mengangkat dua naskah berbeda dalam dua hari, pertunjukan teater Sanggar Nuun sukses menghibur penonton tanpa pungutan biaya.
Pertunjukan teater Sanggar Nuun tersebut merupakan bagian dari proses regenerasi suatu organisasi. Para lakon di dalamnya merupakan anggota baru yang diteguhkan menjadi “keluarga” di Sanggar Nuun.
Pukul 19.30 di parkiran terpadu Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, tim kreatif telah menyulap sebuah panggung pertunjukan. Tanpa menyewa gedung atau memakai gelanggang kampus, lahan parkir diubahnya menjadi panggung yang memanjakan visualisasi artistik yang aduhai dilihat dari penataan cahaya dan property panggung.
Penampilan teater perdana pada Jumat (9/3) diangkat dari naskah Ratna Sarumpaet dengan judul “Pelacur dan Sang Presiden”. Dengan disutradarai Solihul Akmalia, naskah tersebut menceritakan seorang pelacur bernama Jamila Maharani. Bukan pelacur biasa, melainkan pelacur yang memperjuangkan hak asasi (pelacur) perempuan. Melalui jalan yang dipilihnya, ia ingin membuka mata dunia bahwa ada kebobrokan moral oleh para kaum yang seharusnya bermoral. Ia coba membuktikan melalui perkataan dan perbuatan.
Yu Sanah Sinih
Pertunjukan kedua (10/3) diangkat dari naskah Agung Widodo dengan judul “Koran”. Mengisahkan seorang pedagang kecil pinggir jalan, Sanah, yang warungnya terancam digusur karena rencana pembanguanan bandara. Padahal warung Sanah merupakan tempat berkumpulnya pedagang sayur keliling, loper koran, sampai pengamen. Sebelum adanya pemberitahuan langsung, koran sudah memberitakan bahwa lokasi Sanah bermukim dan berdagang akan dihilangkan. Permasalahan yang diadaptasi dari naskah Agung Widodo ini menampilkan permasalahan-permasalahan sosial yang sering kita dengar dan jumpai di masyarakat dan media massa. Ironisnya, media massa seperti koran justru menutup mata dengan realitas yang dirasakan warga tergusur seperti Sanah.
Sanah digambarkan sebagai seorang perempuan, ibu sekaligus istri yang memiliki liku pahitnya kehidupan. Memiliki anak laki-laki semata wayang penyandang disabilitas, dan suami yang merantau tak kunjung pulang. Berita dari koran tersebut menambah hancur hidupnya yang hanya bergantung pada warung kecilnya.
Sikapnya yang lemah lembut dan parasnya yang menarik membuatnya disukai banyak orang. Salah satunya, seorang aki-aki bernama Kang Raken. Melihat peluang bahwa Karta, suami Sanah, tidak pernah pulang, Kang Raken mencoba mengambil hati Sanah. Di sinilah kesetiaan Sanah sebagai isteri diuji.
Hari ketika berita penggusuran muncul di koran, semua orang menjadi riuh kacau. Tidak ada yang bisa menerima berita penggusuran itu. Mulai dari lopper koran, pedagang sayur, Sanah, hingga pengamen menginisiasi untuk mendemo di depan kantor pemerintah. Berbeda dengan Kang Raken yang mengganggapnya bukan masalah besar. Ia bisa membelikan Sanah lahan apabila warungnya digusur.
Belum selesai masalah penggusuran, masalah berikutnya muncul kepada Sanah. Koran yang memberitakan penggusuran malah memuat berita yang berisi gambar Sanah sedang bersama Kang Raken di warungnya. Lagi-lagi Sanah menjaga hati Karta agar tidak marah mengetahui gambar yang dimuat tanpa mengetahui persoalannya. Namun terlambat, sebelum Sanah menjelaskan apa yang terjadi, Karta sudah mendengar dari Joko, pedagang sayur keliling. Perselingkuhan yang dibingkai itu seolah menjadi isu pengalihan dari penggusuran.
Pemilihan Naskah
Ilham Nawai sebagai sutradara mengadaptasi naskah “Koran” dengan melihat adanya sesuatu yang luput dari kehidupan manusia di media massa. Seperti pada kehidupan Sanah, adanya penggusuran lahan artinya sama juga menggusur kehidupannya. Tapi tampaknya media dan pihak yang berkepentingan tidak peduli bagaimana nasib orang-orang seperti Sanah itu, mereka tidak memikirkan apa yang telah mereka hancurkan demi kepentingannya.
Sebelum Kang Asep, sapaan akrab sutradara, memilih naskah “Koran”, ia beberapa kali mengunjungi desa Temon, Kulon Progo yang kondisinya seperti terlupakan begitu saja. Padahal nasib seorang seperti Sanah benar-benar terjadi di desa Temon. Lahan, penghidupan, ekonomi, masa depan di desa Temon, Kulon Progo hancur karena pengusuran untuk pembangunan bandara (NYIA). Penampilan teater dengan naskah “Koran” ini memang mengkritik apa yang sedang terjadi di Kulon Progo.
“Ya, beberapa kali saya main ke Kulon Progo dan melihat apa yang saya dengar dari teman benar-benar terjadi di sana,” ujarnya saat sesi diskusi setelah pementasan.
Melalui tangan sutradara, hal-hal yang menegangkan seperti adu mulut, gulat, kisruh, demo, diracik dengan epik hingga menciptakan tawa renyah penonton. Habiburrahman, seorang penonton merespon teater yang ditampilkan Sanggar Nuun ini mampu mengocok perut hingga akhir pertunjukan. “Humor yang ditawarkan [dalam teater] banyak humor ‘kelas bawah’, dan dari segi penontonnya juga mampu membuat mereka jenaka hingga akhir pertunjukan.” []
Reporter: Ina Nurhayati
Editor: Fiqih Rahmawati