Saya hanya ingin titip kepada jajaran Polri dari pusat sampai ke daerah, kawal dan jaga betul investasi – Presiden Joko Widodo, 3 Desember 2021
Muh (bukan nama sebenarnya) benar-benar dibuat kesal dengan kelakuan polisi yang bolak-balik mendatangi rumah di desa Wadas, Purworejo. Tiap kali datang, polisi-polisi itu bilang hanya mau silaturahmi. Istri Muh menghitung, sudah sekitar 10 kali polisi bolak-balik silaturahmi. Sekali datang, setidaknya ada 2 sampai 4 orang polisi.
Mulanya cuma ngobrol basa-basi, namun ujung-ujungnya selalu membahas soal rencana penambangan batu andesit di desa Wadas. Obrolan macam itu bikin Muh jengah, apalagi mengingat sikap warga yang sudah jelas menolak rencana penambangan, ditambah lagi polisi pernah memukuli warga yang menolak rencana penambangan pada 23 April 2021.
Pernah suatu ketika, Muh bercerita bahwa ia langsung memanggil warga saat polisi tersebut menanyakan masalah tambang. Warga pun berbondong-bondong mendatangi rumahnya.
“Kalau sekarang mau nyenggol nyenggol tentang pertambangan kita sudah tak mau panjang lebar menjawab mending langsung kita ke grup aja ke sini aja semuanya. Langsung digrubuk kalau nyenggol tentang pertambangan itu,” kata Muh.
Kedatangan polisi yang berkali-kali itu justru membuat warga takut. Sebab polisi kerap datang rombongan, tak jarang juga lengkap dengan senjata. Warga selalu menolak polisi masuk ke kampung dengan membawa senjata. Polisi selalu beralasan bahwa itu adalah patroli biasa.
Bagong, salah seorang pemuda di Wadas sempat bertanya mengapa polisi sering sekali patroli di Wadas, polisi menjawab bahwa Wadas adalah wilayah rawan konflik. Jawaban itu bikin Bagong kesal, sebagai warga asli Wadas, tidak pernah ada konflik di sana. Konflik baru terjadi ketika polisi datang memukuli warga yang menolak penambangan untuk kepentingan proyek strategis nasional.
“Personel 8-9 orang itu mobil [dan] motor lengkap bawa laras [senjata api laras panjang]. Dia mau buru teroris di sini. Dia teroris peliharaan negara,” kata Bagong.
“Sebel rasanya lihat polisi-polisi tiap hari, ada polisi masuk sini. Kayak di sini tu ada teroris aja. Patroli pun pakai senjata lengkap laras panjang. Emang aneh. Padahal desanya aman,” kata Susanto, pemuda desa Wadas lainnya.
Silaturahmi dan Patroli Tak Wajar
Patroli yang tidak lazim itu direspons organisasi Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (GEMPADEWA) dengan mengirimi Kepala Kepolisian Republik Indonesia surat keberatan. Dalam surat itu, GEMPADEWA menyebut jumlah kedatangan polisi ke Wadas sebanyak 16 kali. Mereka menganggap kedatangan polisi itu sebagai bentuk teror dan intimidasi terhadap warga. Ada juga pendapat bahwa kedatangan itu membangkitkan lagi trauma yang dialami setelah kejadian bentrok 23 April lalu.
Patroli pertama dicatat pada tanggal 22 september 2021. Polisi datang dibekali dengan senjata lengkap. Belum lagi setiap personel menggunakan rompi yang menutupi nama. Agenda yang dilakukan hanya berupa membagi-bagikan masker.
Keesokan harinya giliran TNI yang mendatangi Wadas dengan alasan cek situasi. Kehadiran anggota TNI tersebut telah membuat anak-anak dan ibu-ibu merasa ketakutan. Pada tanggal 25 September, TNI kembali datang ke desa dengan alasan silaturahmi.

Pada waktu berikutnya yaitu tanggal 24, 26 dan 28 September 2021, polisi kembali mendatangi desa Wadas. Polisi yang melakukan patroli mengenakan rompi yang menutupi identitas dan menenteng senjata. Di Wadas mereka membagi sembako dan masker. Anehnya, pembagian sembako itu tidak dibagikan ke desa tetangga.
Beberapa warga Wadas menolak pembagian sembako tersebut karena mencurigakan. “Males, kita masih bisa makan di sini,” kata Susanto yang ikut menolak pemberian sembako.
Pada tanggal 27 September giliran BBWS-SO yang berkunjung ke Wadas ditemani polisi dari Polres Purworejo dengan senjata lengkap dan TNI. Mereka mendatangi balai desa. Menurut keterangan warga, kunjungan itu terkait pematokan lahan untuk proyek pertambangan.
Kedatangan polisi itu tidak berhenti pada bulan September, secara berturut-turut polisi kembali patroli ke Wadas pada 13, 22, 26, dan 27 Oktober 2021. Selanjutnya pada 28 Oktober polisi mendatangi balai desa dengan senjata lengkap dan kamera di helm mereka.

Pada bulan November berturut turut sejak tanggal 1 hingga tanggal 3 polisi berkunjung ke Wadas dengan dalih patroli.

Menurut pengakuan Bagong, bisa jadi hadirnya aparat polisi ke Desa Wadas telah melebihi 16 kali. Namun hanya angka itu yang mampu terdokumentasikan dan tercatat oleh warga.
“16 kali kalau catatannya itu, lebih sih kayaknya. Cuma yang tercatat 16 kali,” kata Bagong.
Dugaan Pelanggaran Prosedur
Kedatangan, silaturahmi, atau pun patroli yang dilakukan polisi tidak hanya membuat warga resah namun juga berpotensi melanggar aturan. Misalnya dalam pasal 2 huruf g Peraturan Kepala Badan Pemelihara Keamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 tentang Patroli menyatakan bahwa tujuan dilaksanakannya patroli adalah terwujudnya rasa aman masyarakat.
Namun rasa aman itu justru tidak dirasakan oleh warga Wadas. Warga justru takut bahkan trauma bila melihat polisi berkeliaran di Wadas.

Ngatinah misalnya, salah seorang warga perempuan Wadas yang menjadi korban kekerasan polisi pada 23 April 2021 mengaku trauma melihat polisi datang. Masih teringat jelas dalam ingatannya bagaimana polisi menyeretnya dan menampar pipinya sebanyak tiga kali. Melihat polisi bolak-balik ke Wadas membuatnya ketakutan bakal mendapatkan kekerasan serupa.
Selain itu beberapa warga juga menilai kedatangan polisi ke Wadas justru mengganggu aktivitas dan membuat warga merasa was-was. Saat kedatangan polisi pada tanggal 28 Oktober 2021, membuat salah seorang warga justru meninggalkan segala aktivitas untuk memantau polisi.
Selain pasal itu, ada juga dugaan pelanggaran pasal 36 ayat (3) huruf b dari peraturan yang sama. Pasal itu menyebutkan:
Dalam hal membawa senjata api laras panjang pada situasi aman dengan cara disandang di pundak, senjata ditempatkan di punggung dengan laras senjata menghadap ke bawah.

Faktanya polisi yang melakukan patroli tidak melakukan hal demikian. Pada patroli polisi tanggal 24 September 2021 polisi membawa senjata berjenis mitraliur yang mana senjata itu termasuk dalam senjata laras panjang. Saat itu petugas terlihat menaruh senjata di depan dada dan laras menghadap ke bawah, seakan dalam posisi siaga. Padahal Wadas merupakan daerah yang aman. Apalagi kegiatan polisi saat itu hanya membagikan sembako.
Dugaan pelanggaran lainnya adalah dalam kelengkapan administrasi. Dalam pasal pasal 17 Ayat (2) peraturan yang sama, patroli yang dilakukan polisi harus disertai surat perintah. Namun dalam satu kesempatan, Bagong sempat meminta polisi yang hendak patroli ke desa Wadas untuk menunjukkan surat perintah.
“Ya kita stop, kita tanyakan surat tugasnya dia, dia gelagepan. Ya gak bisa jawab, kata mereka karena ini wilayahnya mereka, begitu mereka bisa masuk,” Kata Bagong.
Sementara itu Kapolres Purworejo, AKBP Fahrurozi mengatakan kedatangan polisi ke desa Wadas itu ada beberapa agenda, mulai patroli hingga silaturahmi.
Menurutnya telah terjadi jurang pemisah antara kelompok yang pro kepada tambang dan yang kontra. Sehingga Wadas menjadi daerah rawan konflik. Fahrurozi takut terjadi perseteruan antara dua kelompok tersebut. Terlebih sudah terjadi pengancaman senjata tajam antara warga yang pro kepada yang kontra melalui video.
Ia menampik bahwa hanya Wadas saja yang menjadi perhatian. Menurutnya petugas setiap hari melakukan patroli di daerah yang berlainan. “Dan bukan hanya desa Wadas sebenarnya yang dipatroli. Ada Kedung Loteng, ada Cacapan Kidul, ada Cacapan Lor, ada Tali Tapas, ada Kaliwader,” ujarnya.
Perkara pembagian sembako Fahrurozi mengatakan bahwa hal tersebut memang sudah rutin dilakukan. Anggaran yang digunakan merupakan anggaran Polres. Namun anehnya, Wadas menjadi desa yang terlalu sering diberikan sembako.
“Kalau nanti ada momen-momen tertentu dibekali dengan sembako ya dia bagi sembako,” katanya.
Sementara terkait kedatangan polisi yang langsung mengunjungi rumah Muh menurutnya adalah upaya untuk menyentuh masyarakat setelah kekerasan yang dilakukan oleh polisi pada 23 April 2021. Sehingga turunlah Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban (Bhabinkamtibmas).
Fahrurozi mengklaim bahwa kedatangan petugas tersebut tak adalah masalah bagi warga. “Gak ada masalah. Ngobrol kok ngopi kok. Sampai sekarang masih komunikasi mereka,” kata Fahrurozi.
Klaim Fahrurozi itu berseberangan dengan pengakuan Muh yang tidak nyaman dengan kedatangan polisi. Saking tak nyamannya, ia bahkan pernah kabur dari rumah dan membiarkan istrinya yang menerima polisi tersebut.
Kriminalisasi
Seakan belum puas terhadap intimidasi dan teror yang telah dilakukan, polisi kembali membuat resah warga yang konsisten menolak tambang. Tiga orang warga yang bernama Susanto, Nuril dan Izam mendapat perlakuan kriminalisasi saat mereka berupaya menjaga desanya.
Pada tanggal 22 Juli 2021, Susanto, Nuril dan Izam mendapat surat panggilan ke Polres Purworejo. Surat tersebut memanggil mereka bertiga menghadap Iptu Bruyi Rohman untuk dimintai keterangan atas dugaan pengancaman dengan senjata tajam.
Susanto bercerita bahwa peristiwa pengancaman itu hanya dilakukan semata-mata bentuk mempertahankan desa dari penambangan. ”Cuma kesel melihat orang yang rakus pada penambangan quary di desa Wadas,”Ujar Susanto
Susanto mengaku tak ada seujung rambut pun niatnya untuk benar-benar mengancam. Kisah itu bermula saat dirinya tengah asik memancing di laut, ponselnya yang bergetar memuat kabar bahwa ada pengukuran lahan yang dilakukan oleh warga pro tambang. bergegas ia pulang dan langsung menuju lokasi.
Namun setelah dirinya sampai, proses pengukuran telah selesai dilakukan, sehingga tak sempat baginya bertatap muka terhadap pihak-pihak yang melakukan pengukuran. Karena begitu kesal dengan pihak-pihak tersebut Susanto meluapkannya melalui video.
Sementara Nuril pada saat itu hanya terlibat sebagai Kameramennya Susanto sehingga membuat Nuril ikut terpanggil ke Polres Purworejo.
Berbeda dengan Nuril dan Susanto, Izam adalah warga yang hanya merekam video proses pengukuran. Agar warga lain mengetahui perihal pengukuran tersebut, Izam melakukan perekaman melalui ponselnya. Meski sajam masih erat ia genggang, tak ada satupun gerakan yang ia lakukan sebagai bentuk pengancaman.“Enggak, saya aslinya gak pengancaman,”Kata Izam
Biasa bagi warga Wadas membawa parang dan arit ke hutan, digunakan untuk mencari temulawak, kayu bakar dan lain sebagainya. Saat menerima kabar ada pengukuran sewaktu ia lagi bekerja, dirinya langsung bergegas menuju lokasi yang mana lokasi tersebut tak jauh dari tempat Izam saat itu. Tentu merupakan hal wajar apabila ia membawa senjata tajam.
Upaya Kriminalisasi ini semakin jelas terlihat saat Izam mengaku bahwa tak ada pembicaraan soal pengancaman di Polres. Dalam introgasinya ia hanya ditanyakan terkait aktor-aktor yang memimpin penolakan tambang. “Kan dari suratnya pengancaman dengan senjata tajam. Di sana gak ada ditanya,” Pungkas Izam.
Saat saya konfirmasi ke Polres terkait kasus Izam ini. Kapolres hanya menjawab “Ya udah taulah”. Sehingga saya tak mendapat jawaban pasti mengapa Izam turut terpanggil.
*Tulisan ini merupakan bagian dari program “Workshop Peliputan Kasus Tambang Desa Wadas untuk Persma” yang diselenggarakan oleh AJI Yogyakarta.
Reporter: M. Rizki Yusrial
Editor: Mawa Kresna