Bagaimana Pluralisme Melihat LGBT

1955
Komunitas LGBT pada Idahot di Bundaran HI (17/5/2015). Sumber: Liputan 6.

B ELAKANGAN, Lesbian Gay Bisexual Transgender (LGBT) ramai lagi diperbincangkan oleh para aktivis, cendekiawan, peneliti, sampai ke sektor masyarakat umum. Hingga bergulatnya pemikiran-pemikiran dari sudut pandang yang berbeda-beda menjadikan banyaknya pro-kontra mengenai LGBT.

Di Indonesia juga telah ada banyak orang yang masuk dalam komunitas LGBT itu sendiri. Karena keberadaanya sebagai komunitas yang minoritas ia merupakan kelompok yang terpinggirkan. Oleh karenanya, kelompok LGBT acap kali mengalami diskriminasi mulai dari bullying, penolakan lingkungan, dan sebagainya.

Komunitas LGBT sendiri telah ada sejak tahun 1960-an. Komunitas tersebut menekankan kesetaraan seks dan gender. Dilihat dari sudut pandang kesejahteraan sosial, golongan itu telah kehilangan keberfungsian sosial.

Hal tersebut dikarenakan di mata masyarakat, mereka dipandang sebagai kaum yang telah menciderai kodratnya. Sehingga terkesan tabu dengan alasan agama tidak menghendaki itu.

Meski demikian, secara tatanan sosial tidak seharusnya dengan tindakan diskriminasi. Bagaimanapun juga, mereka adalah bagian dari masyarakat. Bagi penulis, LGBT ini bukan masalah isu moral melainkan isu sosial.

Artinya, di sini penulis tidak hanya melihat dari perspektif menyimpang-tidaknya, tetapi dilihat pula dari perspektif kemanusiaan. Yaitu manusia yang ingin dimanusiakan oleh manusia, dan manusia yang tidak ingin mendapat perlakuan diskriminatif. Mungkin selama ini baru Swedia yang melegalkan komunitas LGBT.

Perlu dicatat, penulis dalam hal ini juga bukan mengharapkan tindakan pemerintah yang melegalkan ‘gerak-gerik’ komunitas minoritas itu. Tapi setidaknya memberi naungan bagi kaum yang merasa tersubordinasi itu dengan cara megembalikan keberfungsian mereka.

Kalau dilihat dari perspektif moral dibilang menciderai tatanan. Akan tetapi, selain itu dilihat pula dari perspektif sosial: mengapa mereka sampai-sampai membuat wadah atau kelompok yang terkoordinir hingga terkesan mengkotak-kotakkan diri? Bagi penulis, hal tersebut dikarenakan mereka merasa tersubordinasi. atau merasa mendapat perlakuan yang tak adil di masyarakat.

Coba saja kalau tersedia ruang yang memberikan penanggulangan atau semisal rehabilitasi, mungkin mereka tidak akan membuat komunitas yang terkoordinir.

Upaya untuk ini memang bukanlah hal yang gampang. Kita juga perlu membangun pemahaman terhadap individu maupun masyarakat. Hal itu disebabkan telah terjadi stereotip pada masyarakat itu sendiri. Kita bisa mengembalikan melalui hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob). Yang merupakan hak dasar manusia yang sudah seharusnya dilindungi dan dipenuhi, agar manusia terlindungi martabat dan kesejahteraannya. Perlu penulis tegaskan, hak ekosob merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari HAM.

Maka dari itu, setidaknya kita memberi naungan bagi mereka-mereka yang ‘menciderai kodratnya’ sendiri secara pelan dan perlahan. Tidak kalah penting hindari tindakan memojokkan kaum minoritas itu.

Nah, bukan juga soal membebaskan atau tidaknya suatu golongan tersebut. Tapi kita coba hilangkan stereotip yang ada di masyarakat. Kita dekati pelan-pelan apa sesungguhnya permasalahan yang mereka alami selama ini hingga mereka memilih jalan seperti itu.

Tugas kita adalah mengembalikan kodratnya, entah bisa diterima atu tidak, setidaknya sudah ada usaha. Syukur-syukur ada tindakan pula. Tapi tidak harus dengan menggugat dan mendiskriminasi kaum minoritas itu.

Indonesia sebagai negara pluralisme mencintai tanah air yang tidak memandang ras, warna kulit, suku, golongan, bahkan seksualitas sekalipun. Karena keberagaman akan menjadikan perbedaan sebagai pemersatu bangsa. Menghargai setiap perbedaan dengan menyongsong semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Satu lagi, jikalau dari perspektif agama: Wallahu a’lam. Ya, hanya Tuhan yang tahu. Tapi setidaknya penulis sedikit menambahi bahwasanya agama Allah adalah agama yang toleran terhadap sesama makhluk terkecuali dalam hal akidah.

Terakhir, sebagai penutup mari kita renungkan kembali NKRI. Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk atas rasa cinta tanah air dari seluruh rakyatnya.

Septia Annur Rizkia. Tercatat sebagai koordinator bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) LPM Rhetor, yang juga aktif di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta sebagai mahasiswi KPI.

You may also like

Gerakan Sosial Islam pada Masa Kolonialisme

Gerakan kolonialisme Belanda di Indonesia adalah ekspansi kapitalisme;