Pada Jumat (08/10) mulai pukul 19.00 WIB aksi media berupa poster dengan hastag #gejayanmemanggil #lastcallforjokowi #pandemidikorupsi mulai tersebar dan tranding diberbagai media sosial. Bukan hanya aksi media, aksi turun ke jalan juga dilaksanakan keesokan harinya.
Saya dan teman-teman pers mahasiswa berkesempatan untuk turun dan meliput.
Sabtu, 09 Oktober lalu jalanan terlihat ramai, pengguna lalu lintas dan pejalan kaki terlihat lalu lalang, semuanya tampak seperti biasa. Siang semakin terik, di bunderan UGM sudah ada beberapa personel aparat beserta kendaraannya.
Pandangan mata saya dipenuhi segerombol manusia yang telah berkumpul, belum banyak memang. Tetapi tidak lama, masa aksi yang berasal dari berbagai penjuru mulai berdatangan. Poster-poster dan atribut aksi sudah mereka siapkan.
Bukan hanya masa aksi, teman-teman pers mahasiswa juga mulai terlihat. Kami pun saling menyapa.
“Dari LBH sudah datang mas?” tanya salah seorang anggota pers mahasiswa kepada saya.
“Kurang tau mas, mungkin belum” jawab saya.
Masa aksi yang ikut memang dari berbagai latar belakang, ada mahasiswa, aktivis organisasi atau lembaga swadaya masyarakat, seniman, individu merdeka, pelajar SMA/sederajat pun ikut hadir. Bahkan ada juga masa aksi yang hadir dengan membawa anaknya.
“Dia aksi karena kehendak sendiri, tapi dia khawatir dan tak mau diekspos terlalu jauh. Soalnya sudah PNS,” kata teman saya, seorang mahasiswa pers lain. Karena itu saya mengurungkan niat untuk mewawancarai.
Masa aksi mulai berangkat longmarch dari Bundaran UGM menuju Jalan Gejayan. Warga yang terlanjur menggunakan jalan masih dipersilakan lewat, setelah itu polisi mulai memblokade jalan. Para orator bergantian naik mobil pikap untuk berorasi.
Dari sekian orang yang menyampaikan orasi, semuanya terlihat serupa. Punya keresahan yang sama “Negara telah menindas rakyatnya sendiri” ucap seorang orator dengan berapi-api.
Selama longmarch yel-yel dinyanyikan dengan lantang bersama-sama. Seseorang menggunakan baju merah bertopeng dali memandu para peserta aksi untuk menghafalkan lirik.
Suara terdengar gemuruh, ada yang terlambat, ada juga yang menyanyikan dengan tempo cepat.
“Polisi polisi antek jokowi,” cuplikan lirik yang saya dengar.
Bukan hanya itu, dinyanyikan juga sebuah lagu yang meminta polisi untuk tidak ikut campur dalam aksi.
“Tugasmu mengayomi”
“Tugasmu mengayomi”
“Pak polisi, pak polisi, jangan ikut kompetisi”
Polisi yang terjangkau dari pandangan mata saya hanya diam dengan muka datar, tanpa senyum.
Panas matahari semakin menyengat, kadang cuaca terlihat tidak konsisten di siang itu. Sesekali langit menjadi mendung. Suara toa dari pikap terdengar semakin lantang. Orang-orang dipinggir jalan mengabadikan momen dengan memotret dan mengambil video.
Warung, toko dan sejenisnya yang berada di sepanjang jalan menuju simpang gejayan tetap buka. Bahkan pedagang kaki lima pun turut meramaikan aksi, mereka berjualan diantara serombongan masa aksi.
Ada yang menjual minuman, buah-buahan, bakpau dan lain sebagainya. Saya melihat para peserta aksi membeli dan melariskan dagangan para PKL.
Matahari sudah sedikit condong ke barat. Suasana sore semakin menghangat. Masa aksi sudah sampai di pertigaan gejayan, roda mobil berhenti berputar. Semuanya duduk melingkar guna mendengarkan orasi. Polisi sudah siap berjaga-jaga dibagian selatan aksi.
Mic berada di genggaman seorang orator dari Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), dengan suara lantang ia berteriak menyampaikan, bahwa apa yang dilakukan pemerintah saat ini sudah sangat jauh dari kepentingan rakyat. DPR yang katanya mewakili suara masyarakat malah membuat kebijakan yang justru jauh dari kepentingan masyarakat.
“DPR, mereka adalah orang-orang yang membahas dan mengesahkan berbagai RUU dan regulasi maupun kebijakan yang anti rakyat kawan-kawan,” ucapnya dengan satu tangan menunjuk ke atas. Bahasan tentang pajak yang kian melambung dan harga sembako yang semakin meningkat menjadi penutup dari orasi.
Selain aksi teatrikal dan bermacam-macam poster tuntutan kebijakan pemerintah, demonstrasi juga disampaikan dengan beragam karya seni. Ada sebuah properti aksi berbentuk seperti wayang dengan tangan kanan mengacungkan jari tengah dan tangan kirinya menunjukkan simbol hubungan badan. Pada bagian tengahnya tergambar gedung DPR, dibawahnya ada testis laki-laki dengan mengenakan pakaian dalam berwarna pink. Serta ada sebuah kalimat “Udah Pada Budek Apa?”
Kebetulan saya mendapat kesempatan untuk bertanya-tanya dengan orang yang membuat karya tersebut, Wisnu Aji, seorang seniman asal Jogja. Wisnu menjelaskan, bahwa seni juga bisa menjadi media kritik. Menurutnya, bentuk wayang adalah bentuk perjuangan dan kritik yang ingin disampaikan kepada penguasa.
“Wayang selain sebuah budaya, sejatinya kita semua adalah wayang orang-orang yang ada di atas kita. Kita ini makhluk Tuhan, itu sebenarnya wayang juga. Nah, tapi kita juga bisa dibuat wayang sama mereka [atasan],” jelas Wisnu Aji.
Selain itu, Keluarga Seni Pinggiran Anti Kapitalisasi (Kepal) sebuah kelompok musik yang menjadi anggota Serikat Pengamen Indonesia (SPI) juga turut menghibur masa aksi dengan pertunjukan musiknya, lagu-lagunya yang bernada satir sebagai kritik terhadap penguasa.
Ditengah keriuhan masa aksi dan orasi-orasi yang disampaikan. Ada beberapa masa aksi yang menjadi relawan kebersihan, mereka berkeliling membawa kantong kresek hitam. Masa aksi yang lain pun membantu memungut sampah yang ada disekitarnya.
Menjelang akhir aksi, perwakilan dari berbagai elemen masa aksi membacakan tuntutan dengan serentak, mereka berdiri di tengah-tengah masa aksi. Euforia demonstrasi semakin terasa. Lelah, panas, emosi dan berbagai macam rasa telah tercampur aduk dalam lingkaran itu. Hal itu menjadi penanda akhir aksi demonstrasi sore itu.
Dalam press release aksi yang bertajuk Selametanatkan Warga Jogja, tercatat ada 11 tuntutan. Tuntutan yang dilayangkan berupa permintaan untuk mencabut undang-undang yang menghinakan masyarakat dan memperkaya segelintir pihak, seperti Omnibuslaw, Minerba dan KPK serta menuntut RUU PKS segera disahkan.
UMP Yogyakarta juga menjadi salah satu isu disuarakan. Tidak jarang para aktivis yang memberikan kritik malah dibalas dengan represi. Hal ini seperti yang disampaikan oleh salah seorang orator. Menurutnya, Jogja memang istimewa atas pembungkawan ruang demokrasi. Oleh karena itu, masa aksi juga menuntut hal demikian untuk segera diberhentikan
Karena keresahan yang kian membludak, masa aksi sepakat untuk menyerukan pembentukan dewan rakyat sebagai solusi untuk menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi di negeri ini.
Setelah mendengarkan pembacaan tuntutan,masa aksi berangsur bubar dari keramaian. Gejayan kembali sepi. Jalan raya sudah kembali dibuka, masyarakat sudah bisa lewat seperti sebelumnya. Peserta aksi pulang, mereka berjalan kaki, menuju tempat parkir kendaraan masing-masing.
Efisiensi teriakan yang sedari tadi keluar sudah patutnya menjadi pertanyaan, sebab sudah turun puluhan liter keringat yang bercucuran. Apakah tuntutan itu bisa menyentuh dinding tebal yang menutup telinga pemerintah? Atau hanya sesuatu yang dimuntahkan agar kita menjadi lebih lega meski tidak direspon sama sekali?
Reporter: M. Rizki Yusrial
Editor: Lutfiana Rizqi S