Malam itu, Minggu (30/07) suasana Yogyakarta tidak ada yang berbeda dengan biasanya. Dingin. Saya ingat saat itu pukul 19.26 ketika saya dan seorang teman dari Solo sampai di parkiran Student Centre UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, teman saya yang sudah menunggu sedari setengah jam sebelumnya cemberut menghampiri saya—dan teman saya.
Malam itu kami bertiga, berjanjian akan menonton Pentas Produksi Omah Teater Jogja atau biasa dikenal dengan sebutan Omtejo, di Gelangganga Teater Eska. Pentas Produksi kesembilan ini nantinya akan dihadirkan dengan konsep parade monolog. Ada tiga aktor dalam tiga pementasan bertajuk “Ngulur Jiwa” ini. Mereka adalah Ryan Ramadhani yang membawakan pentas monolog berjudul Pidato Gila; Octavia Kartikasari dengan pentas monolog yang berjudul NOL; serta Devitri Alfionita dengan judul BAHHHAAAG!!!A.
Setelah sedikit berbasa-basi, kami bertiga melakukan registrasi dan pembayaran. Memasuki gelanggang, ternyata pentas baru saja dibuka oleh dua orang master of ceremony yang gaya bicaranya sangat halus dan santun. Setelah mem-PW-kan (posisi wenak) diri, kami pun berusaha menyelami berbagai monolog yang ternyata sedikit membuat kita harus berpikir untuk bisa mencerna maksud yang ingin di sampaikan oleh para aktor.
Tidak lama kemudian, pentas pertama yang berjudul Pidato Gila ini pun dimulai dengan pembacaan sinopsis oleh MC
“Para hadirin akan mendengarkan sebuah pidato seorang gila kepada para-orang gila. Lalu, siapa yang gila dalam hal ini? Apakah orang gila juga berpikir bahwa ia gila? Apakah orang yang menganggap dirinya tidak gila itu bisa dikatakan tidak gila? Siapa yang paling penting dalam hal ini? Mengapa seseorang bisa gila? Apa kalian bisa menjawabnya?”
Dibuka dengan rentetan pertanyaan sederhana membuat pentas monolog yang pertama ini terkesan misterius. Hal ini dibuktikan dengan nuansa musik dan koreografi sang aktor yang sebenarnya kami pun sulit mengartikannya. Hanya menerka-nerka sesuai latar belakang masing-masing–yang saya yakini akan timbul pemahaman berbeda di setiap pikiran.
“Belakangan ini populasi orang gila di Indonesia melonjak drastis!” Demikian pentas pertama yang diperankan oleh Ryan dibuka dengan sebuah prolog. Setelah prolog, ia mulai melakukan pidato tentang orang gila. Tentang bagaimana persamaan dan perbedaan antara orang gila dengan anjing gila. Bayangkan saja, dalam pentas ini sutradara menggunakan subjek manusia dan anjing sebagai suatu relasi yang seakan-akan setara.
Berbicara tentang orang gila, benar adanya bahwasannya orang gila di Indonesia ini sangat pesat populasinya. Tapi orang gila yang seperti apakah yang dimaksudkan dalam monolog ini? Saya rasa orang gila yang dimaksudkan adalah orang-orang yang melakukan penindasan terhadap sesamanya. Bayangkan saja, bagaimana mungkin seorang manusia menindas manusia yang lain?
Ironisnya, peningkatan populasi orang gila tersebut berbanding lurus dengan pembangunan-pembangunan negara yang seringkali menguntungkan di satu pihak. Rasa-rasanya, manusia mana yang tidak bisa disebut waras ketika dirinya melakukan penindasan dengan dalih yang manis? Pembangunan di Yogyakarta bagian barat sana misalnya.
Nah, bagaimana seorang manusia yang waras bisa menjadi gila? Tentu saja ada banyak faktor,
“Ada karena gagal calon, ada sebab ditangkap KPK, ada juga karena tidak lulus ujian nasional.”
Seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya, meningkatnya populasi orang gila di Indoesia ini ternyata juga berbanding lurus dengan meningkatnya pembangunan infrastruktur, salah satunya Rumah Sakit Jiwa yang notabene memakan biaya tidak sedikit dalam pembangunannya.
Selain itu, ternyata penyakit gila ini tidak hanya dialami oleh manusia saja, tapi juga binatang seperti anjing. Sungguh penyakit yang tidak pandang bulu! Bedanya, ketika anjing tersebut gila, dia sudah tidak memiliki hak-hak apapun. Semuanya dilepas, dicerai-beraikan dari tubuhnya. Termasuk hak hidup.
“Orang gila adalah lambang sejati kebebasan manusia. Anjing gila, sebaliknya! Begitu anjing mulai gila, semua hak-hak asasinya pretel. Tidak ada tempat bagi anjing gila,” kata Ryan dalam pidatonya.
Melihat pesatnya penyakit gila ini, suatu ketika seorang penasehat petinggi negara berkata, “Untuk menghemat belanja negara, maka modus anjing gila diterapkan saja pada orang gila!”
Bagaimana bisa seorang manusia diperlakukan sama dengan anjing. Walaupun secara prinsipal, kedua makhluk Tuhan ini adalah sama. Sama-sama gila. Dua-duanya atheis, tidak mampu bersosialisasi dengan masyarakat, tidak mampu hidup damai dengan perbedaan, anti Bhineka Tunggal Ika, pertentangan dengan Pancasila.
“Itulah sebabnya, bila saudara-saudara sudah panik, darah tinggi, kesabaran hilang, muak. Saudara pasti teriak, ANJING!”
Demikianlah sekilas ulasan tentang salah satu sesi pentas produksi Omtejo. Selayaknya Indonesia yang plural, setiap kepala juga memiliki persepsi yang beragam. Mari duduk minum kopi dan diskusikan bagaimana perspektifmu. Sebab wacana tidak hanya digali lewat baca dan ansos saja, tapi juga ‘ngopi.’
*Fiqih Rahmawati, butiran debu yang berusaha melebur di lpmrhetor.com. Pecinta seni dan sastra yang sedang sok puitis di akun instagram @fqhrahmmmmm.