“Banyak kampus-kampus yang juga memiliki mahasiswa internasional, mereka bisa mengatasi masalah ini. Kenapa kampus kita tidak bisa?”
Tahun 2021, UIN Sunan Kalijaga meluncurkan program beasiswa Suka Global Scholarship (SGS) untuk mahasiswa dari luar negeri. Sejak pendaftaran beasiswa dibuka, sebanyak 887 orang mendaftarkan diri. Namun, dari 887 pendaftar hanya 58 orang yang berhasil menjadi penerima beasiswa. Satu semester berjalan, sebagian penerima beasiswa SGS mengundurkan diri. Beberapa yang lain menghilang dan tidak pernah mengikuti kegiatan perkuliahan. Beberapa WD 3 menilai program beasiswa ini masih belum matang. Perancangan program beasiswa yang tampak buru-buru, ditambah buruknya koordinasi antar stakeholder membuat program ini penuh celah di sana-sini. Sebelum penerima beasiswa SGS benar-benar tandas, bisakah kampus berbenah?
Jibril (bukan nama sebenarnya) merupakan salah satu penerima beasiswa SGS parsial. Dalam sebuah wawancara dengan lpmrhetor (23/11/2021), ia sempat mengeluh karena tidak mendapatkan beasiswa penuh. Dengan begitu, artinya ia masih harus menyiapkan uang untuk biaya hidup selama menjalani masa studi kelak.
“…mencari uang untuk tiket dan visa saja juga sulit,” kata Jibril.
Ia khawatir, uangnya tidak akan cukup untuk berangkat dan menetap selama studi. Saat ini ia masih berusaha menabung agar bisa mencukupi biaya hidupnya selama kuliah di UIN kelak.
“Tapi aku tahu Allah akan membantuku,” katanya pasrah.
Penerima beasiswa SGS berjumlah 58 mahasiswa. Mereka berasal dari 22 negara yang berbeda. Sebanyak 13 orang berasal dari Bangladesh, 8 orang dari Nigeria, 6 orang dari Mali, 5 orang dari Gambia, 4 orang Pakistan, dan sisanya berasal dari Yaman, Afghanistan, Somalia, Kenya, Tanzania, dan masih banyak lagi.
Mahasiswa penerima beasiswa SGS memulai pertemuan pertamanya pada tanggal 25-26 September 2021 dalam kegiatan orientasi mahasiswa baru (Sunan Kalijaga International Student Orientation). Forum itu dilaksanakan secara daring dan seluruh rangkaian kegiatannya menggunakan bahasa Arab dan Inggris. Beberapa dosen menilai forum ini dapat berjalan dengan cukup efektif. Namun, kegiatan perkuliahan justru berlangsung sebaliknya.
Jibril, sebagaimana penerima beasiswa SGS lainnya, terlambat mengikuti kuliah. Mereka baru diikutkan perkuliahan setelah semester ganjil berjalan dua minggu. Mahasiswa-mahasiswa yang masih asing dengan bahasa Indonesia ini terpaksa masuk ke kelas reguler, kelas yang sama dengan mahasiswa dalam negeri. Artinya, perkuliahan dilaksanakan dengan bahasa Indonesia.
Jibril mengaku, kendala bahasa ini menjadi persoalan yang sangat menghambat proses belajarnya. Meskipun, lanjutnya, terkadang ada satu atau dua dosen yang berbicara dalam bahasa Arab.
Namun Jibril tidak sendiri, persoalan serupa juga dirasakan oleh Rebecca, mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi asal Kenya. Saat diwawancara lpmrhetor via Google Meet (27/03/2022), ia mengaku sangat terkendala dengan perkuliahan yang dilakukan dalam bahasa Indonesia.
“Saya tahu itu [perkuliahan dilaksanakan dalam bahasa Indonesia-red] ada di kontrak perjanjian awal. Tapi bayangkan saja kalau Anda harus memahami sebuah bahasa hanya dalam waktu kurang dari 3 bulan. Itu benar-benar sulit,” ucapnya.
Hingga tulisan ini dibuat, mahasiswa penerima beasiswa SGS belum diperbolehkan datang ke Indonesia. Jibril berpikir bahwa mereka akan dibolehkan datang ke Indonesia setelah semester satu. Tapi, kondisi pandemi di Indonesia yang tak kunjung membaik membuat jadwal kedatangan mereka selalu diundur. Ambar Wati, selaku kepala Internasional Office (IO) mengatakan, kemungkinan mereka diperbolehkan datang ke Indonesia saat semester 3 mendatang.
Sementara itu, Rebecca tak tahan dengan perkuliahan daring. Perkuliahan daring membuat berbagai masalah yang dialami mahasiswa internasional semakin sulit dihadapi. Ia ingin segera datang ke Indonesia agar dapat mengikui kuliah secara kondusif.
“International Office perlu segera mengirim dokumen mahasiswa internasional agar kami bisa segera mengurus visa,” ucapnya.
Perancangan Program Beasiswa Tampak Terburu-buru, Uang Beasiswa Tidak Diberikan
Suka Global Scholarship merupakan beasiswa internasional pertama yang dimiliki UIN Suka. Beasiswa ini ditujukan bagi mahasiswa dari seluruh belahan dunia yang ingin menempuh studi akademik di UIN Suka, baik tingkat sarjana maupun pascasarjana. Tujuannya, kata kepala Internasional Office (IO), Ambar Wati, adalah untuk memenuhi syarat meraih akreditasi unggul. Selain itu, juga untuk memperluas jaringan dan ajang untuk mengenal teman-teman dari luar negeri.
Untuk meraih akreditasi unggul, kata Ambar Wati, salah satu syaratnya kampus harus memiliki mahasiswa internasional minimal 1% dari total mahasiswa. Namun, menarik perhatian dari pemuda/i mancanegara untuk melirik kampus putih ini, tentu bukan perkara yang mudah. Hal tersebut pun diakui Ambar Wati. Untuk mengakalinya, kampus mengadakan beasiswa.
“Kami percaya untuk menarik minat dari luar negeri, salah satunya, ya, dengan cara kasih beasiswa itu,” jelasnya saat ditemui di kantornya di gedung PAU lt.2 (10/12/2021).
Ide awal untuk mengadakan beasiswa internasional ini, kata Ambar, sudah muncul sejak awal 2021. Beasiswa ini merupakan mandat dari rapat Wakil Dekan 3 Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama (WD 3) se-UIN. Tujuannya adalah untuk mempercepat penerimaan mahasiswa internasional di UIN Sunan Kalijaga.
Ambar mengaku, selesai rapat, ia menyampaikan rekomendasi tersebut kepada Rektor dan jajaran Wakil Rektor. Bulan demi bulan berlalu. Namun, hingga penerimaan mahasiswa baru dibuka pada kisaran Juni 2021 lalu, rekomendasi tersebut belum mendapat tanggapan dari pimpinan universitas.
Ambar lantas mendatangi Abdur Rozaki selaku Wakil Rektor 3 Bidang Kemahasiswaan Dan Kerjasama (WR 3) dan menanyakan langsung bagaimana kelanjutan dari rekomendasi beasiswa tersebut.
“Saya bilang, ini gimana Pak WR apakah mau diterusin atau enggak,” ucapnya.
Gayung bersambut. Singkat cerita, kata Ambar, usulan beasiswa tersebut mendapat persetujuan dari pimpinan universitas dan rancangan beasiswa tersebut mulai dibuat.
Beberapa pihak terkait, mulai dari International Office, WR 3, WD 3 se-UIN, dan admisi mulai melakukan koordinasi untuk segera mempersiapkan proses penerimaan mahasiswa internasional melalui beasiswa.
“Ya pokoknya dalam waktu singkat kami rapat intensif. Kami merancang (beasiswa) ini sistemnya mau seperti apa, penerimaannya mau seperti apa, kualifikasinya apa yang kami harapkan, dan seterusnya sampai kami selesai. Itu mungkin dalam waktu dua minggu, dari mulai pembahasan awal sampai UIN itu siap menerima mahasiswa,” ucap Ambar.
Dilihat pada surat penawaran yang diberikan IO kepada calon penerima beasiswa, SuKa Global Scholarship memiliki dua kategori beasiswa, yakni beasiswa full dan beasiswa parsial. Beasiswa full mencakup bebas biaya pendidikan ditambah biaya hidup selama 4 tahun (untuk program sarjana) dan 2 tahun (untuk program magister).
Sedangkan untuk penerima beasiswa parsial, UIN hanya membebaskan biaya pendidikan selama 4 tahun (untuk program sarjana) dan 2 tahun (untuk program magister). Artinya, penerima beasiswa ini, baik program sarjana maupun magister, tidak mendapat tunjangan apa pun selain bebas biaya UKT.
Dana yang digunakan untuk menunjang beasiswa ini berasal dari dana BLU yang dikelola kampus, kata Sahiron selaku Wakil Rektor 2 Bidang Administrasi Umum, Perencanaan, dan Keuangan saat dihubungi melalui WhatsApp (19/01/2022).
Proses seleksi pendaftaran dibuka mulai 21 Juni sampai 23 Juli 2021. Tak main-main, dalam waktu satu bulan, jumlah pendaftar mencapai angka 887. Menurut Abdur Rozaki, sebagaimana dikutip di website resmi kampus, jumlah pendaftar yang besar ini menunjukkan tingginya keinginan masyarakat global untuk belajar di UIN Sunan Kalijaga.
UIN sendiri membatasi kuota beasiswa untuk 100 penerima. Setelah melalui seleksi berkas dan wawancara, kata Ambar, sekitar 90 pendaftar dinyatakan lolos dan berhak menerima beasiswa.
Para pendaftar yang lolos kemudian dikirimi letter of offer (surat penawaran). Surat penawaran itu berisi poin-poin yang perlu disetujui sebelum mereka dinyatakan resmi menjadi mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Bagi pendaftar yang menyetujui poin penawaran dan bersedia melanjutkan beasiswa tersebut, diwajibkan menandatangani surat penawaran dan mengirimkannya ke email admisi maksimal tanggal 27 Agustus 2021.
Setelah batas waktu pengembalian surat penawaran berakhir, jumlah pendaftar yang menyetujui penawaran tersebut turun signifikan. Dari kuota 100 mahasiswa, angka terakhir yang ditetapkan sebagai penerima beasiswa adalah 58 mahasiswa.
Dari 58 penerima beasiswa SGS, “18 orang mendapatkan Full Scholarship (bebas UKT dan biaya hidup setiap bulan bila ke Yogya), selebihnya ada yang dapat Partial Scholarship (bebas UKT),” tulis Sahiron.
Sahiron mengatakan bahwa beasiswa hanya bisa dicairkan jika penerima beasiswa penuh sudah berada di Yogyakarta. Namun, karena sampai sekarang kampus belum memperbolehkan mereka datang ke Indonesia, hak beasiswa yang mestinya mereka peroleh tidak diberikan.
Pelatihan Bahasa Indonesia Gagal, Banyak Penerima Beasiswa SGS yang Hilang
Untuk menunjang kemampuan bahasa Indonesia, setiap mahasiswa internasional diikutkan dalam kelas pelatihan Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) bersama Pusat Pengembangan Bahasa (P2B). Pelatihan ini berlangsung selama dua bulan lebih satu minggu dan dilaksanakan enam hari dalam seminggu. Tepatnya, Senin sampai Sabtu selepas waktu Isya’.
Meski mendapat pelatihan bahasa indonesia dari P2B, ternyata itu tidak begitu membantu proses pembelajaran mereka di dalam perkuliahan. Hal ini diamini Fuad Arif Fudiyartanto selaku kepala UPT P2B ketika ditemui di kantornya tanggal 17/01/2021. Ia mengatakan bahwa pelatihan bahasa Indonesia untuk mahasiswa internasional ini belum berjalan optimal.
Fuad mengeluhkan kebijakan pelatihan bahasa Indonesia yang dilangsungkan ketika mereka telah mulai kuliah. Pasalnya, penerima beasiswa SGS ini berasal dari negara yang beragam dengan latar belakang bahasa yang beragam pula.
“Artinya, sebenernya mereka tidak mungkin pelatihan bahasa Indonesia bareng dengan kuliah itu. Tidak mungkin. Karena mereka tidak tahu bahasa Indonesia sama sekali.”
“Seharusnya,” lanjut Fuad, “pelatihan bahasa Indonesia ini digunakan sebagai matrikulasi: diberikan sebelum masuk ke kuliah… Sehingga bisa memberikan bekal bahasa kepada mereka untuk nanti dipakai kuliah. Kan gitu.”
Namun hal ini tak mungkin dilakukan. Fuad mengaku koordinasi dari IO universitas kepada P2B kurang baik, dan pihaknya baru diminta mengadakan pelatihan bahasa Indonesia untuk mahasiswa internasional ketika mereka sudah resmi diterima menjadi mahasiswa UIN Suka periode 2021/2022. Artinya, mereka harus mengikuti perkuliahan semester satu di tahun yang sama. Awalnya Fuad mengaku keberatan dengan permintaan melatih bahasa Indonesia di saat mahasiswa sudah masuk kuliah.
“Sebenernya repot. Kalo kami bisa mengelak itu Pusat Bahasa udah mengelak, karena dari awal tidak ada pembicaraan yang detil. Ini kan seharusnya dilakukan sebelum kuliah, tapi tidak bisa karena sudah (masuk) kuliah. Itu bagi pusat bahasa kan repot sebenarnya. Secara pertimbangan akademiknya itu nggak bisa. Tapi, ya, namanya sebuah institusi kan harus saling mendukung, jadi pokoknya ya sebisa mungkin pusat bahasa akan berusaha mendukung,” katanya pelan.
Ia menyesalkan pihaknya tidak diajak berunding ketika proses pembuatan kebijakan tersebut.
“Kami ini, kalau bahasa Jawa itu istilahnya ketiban sampur. Diberi tugas tiba-tiba gitu lah, intinya, karena tidak dilibatkan (di rapat penyusunan kebijakan) sebelumnya.”
Permasalahan ini tidak hanya dikeluhkan Fuad. Ketika kami menemui WD 3 di beberapa fakultas, tidak sedikit dari mereka mengaku mendapat aduan dari dosen pengajar mahasiswa internasional. Aduannya terkait kendala-kendala yang dialami dosen saat mengajar mahasiswa internasional di kelas reguler, sedangkan mahasiswa internasional belum bisa berbahasa Indonesia.
“Kenapa tidak bikin kelas khusus mahasiswa internasional? Kalau dicampur dengan reguler kan problem ya ini, pengajarannya kan susah,” Kata Shofiyullah, WD 3 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, menirukan keluhan para dosen (15/12/2021).
Ia juga bercerita ketika dirinya menjabat sebagai direktur pusat bahasa dan menerima mahasiswa dari Thailand, ia memberikan kursus bahasa dulu sebelum mulai kuliah.
“Lah ini kursus bahasa cuma dua bulan, gimana coba mau bisa? Dulu saya aja tiga bulan nggak optimal. Ada yang protol juga. Ya kamu bayangkan sendiri, kuliah nggak paham gimana? Seharusnya menguasai bahasa Indonesia dulu, baru masuk kuliah,” ia mencecar.
Shofi melihat beasiswa SGS masih memiliki celah di banyak tempat, termasuk dalam penyusunan program dan panduan teknis.
“Harusnya kampus tidak hanya siap membuka beasiswa, tapi siap juga untuk infrastruktur hingga panduan teknis, gimana cara mengelola mahasiswa. Kami kan meraba-raba semua kemarin. Begitu fakultas dapat mahasiswa, bingung kami.”
WD 3 Fakultas Syariah dan Hukum, Sri Wahyuni, melihat kendala bahasa ini menjadi persoalan yang serius. Ia memberi dua koreksi terkait persoalan ini. Pertama, kalau mahasiswa internasional dimasukkan ke kelas reguler maka seharusnya mereka mendapat pelatihan bahasa Indonesia dulu sebelum masuk kuliah, paling tidak satu tahun. Kedua, kalau usul pertama tidak memungkinkan, maka harusnya kampus membentuk kelas internasional berbahasa Arab/Inggris untuk mereka. Sehingga, lanjutnya, komunikasi dosen-mahasiswa bisa nyambung dan pembelajaran bisa berjalan lebih efektif.
“Nah, tapi kan orang ini mempermasalahkan nanti kalau mereka matrikulasi bahasa dulu, misalnya setahun, terus beasiswanya jadi 10 semester, nggak 8 semester. Nah itu. Lah kan beasiswanya nggak ngeluarkan duit, to? cuma nol UKT sebenernya. Lah makannya ini nggak clear. Jadi di internal itu nggak clear. Belum tersistem. Jadi kayak mereka dipaksa masuk semester ini juga ke kelas reguler, sambil semester ini juga belajar bahasa Indonesia. Ya stress,” ujar Sri sambil kemudian menghela nafas.
Berdasarkan penilaian tim pusat bahasa, kata Fuad, hasil pelatihan BIPA selama kurang dari tiga bulan ini belum mencapai target. Ia mengakui bahwa pelatihan bahasa Indonesia yang dilakukan P2B belum cukup jadi bekal mahasiswa internasional masuk kuliah.
Selain itu, banyak juga mahasiswa internasional yang tidak mengikuti kelas pelatihan Bahasa Indonesia.
“Ketika ditanya, memang ada yang mengatakan ‘saya mengundurkan diri, tidak lanjut karena banyak kendala,’” kata Fuad mengulang cerita pengajar bahasa Indonesia di P2B.
Dari total 62 mahasiswa yang terdaftar pada pelatihan bahasa Indonesia, hanya 11 mahasiswa yang bertahan hingga pelaksanaan post test sertivikasi bahasa Indonesia. Sementara itu, mahasiswa internasional lain yang tidak mengikuti post test juga diduga mengundurkan diri. Soalnya tidak ada kabarnya lagi, kata Fuad.
Kuliah Daring, Tak Dapat Kuota Internet
Selain bahasa, Jibril juga merasa terkendala dengan perkuliahan yang dilangsungkan secara daring, sedangkan kampus tidak menyediakan akomodasi apa pun untuk menunjang perkuliahan daring. Bahkan, sejak awal masuk September 2021, ia tidak pernah menerima jatah kuota internet. Padahal, saat itu mahasiswa UIN Suka yang lain beberapa kali mendapat jatah kuota, baik dari kampus maupun Kemenag.
Jibril mengaku harga kuota internet di negaranya masih sangat mahal, tidak seperti di Indonesia. Karena kesulitan membeli kuota internet, Jibril sering tidak bisa mengikuti perkuliahan.
Tak hanya Jibril, persoalan serupa juga dialami Sarjo Darboe. Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi asal Gambia ini merasa kesulitan mengikuti kuliah yang diselenggarakan secara daring. Akar masalahnya sama, ia tinggal di negara di mana kuota internet sangat sulit diakses oleh semua kalangan.
“Internet benar-benar mahal, terkadang memang susah untuk membeli paket data supaya bisa mengikuti kuliah. Zoom dan Google Classroom juga menguras data, jadi memang kadang-kadang susah,” ucapnya, saat dihubungi via WhatsApp (16/03/2022).
Saat dikonfirmasi ke Sahiron, ia mengatakan bahwa mahasiswa internasional memang tidak mendapat jatah kuota internet. Alasannya karena penyedia jasa internet di setiap negara berbeda. Saat ditanya kenapa tidak memberi dalam bentuk uang, ia memberi jawaban formal.
“Tidak boleh secara aturan keuangan di Indonesia. Mahasiswa Indonesia juga tidak boleh mendapatkan uang untuk kuota.”
Berdasarkan informasi yang kami dapat, seiring berjalannya perkuliahan, mahasiswa internasional yang melanjutkan studi terus berkurang. Beberapa dosen bilang bahwa penerima beasiswa SGS yang bertahan makin berkurang. Ada beberapa yang menyatakan mengundurkan diri. Selain itu, tidak sedikit juga yang tidak pernah mengikuti kuliah dan kelas pelatihan bahasa.
Kami lantas mengkonfirmasi hal ini kepada International Office, juga meminta data jumlah penerima beasiswa SGS yang mengundurkan diri. Namun, hingga tulisan ini dimuat pihaknya belum bersedia memberikan datanya.
Otoritas Kampus Tidak Punya Solusi
Jika tadi Rozaki menilai banyaknya pendaftar beasiswa SGS merupakan keberhasilan bagi UIN, Sri Wahyuni memiliki pandangan yang lain. Ia menilai keberhasilan UIN menarik banyak pendaftar itu semu belaka.
“Karena apa? yang ditawarkan itu beasiswa, sehingga orang berbondong-bondong daftar. Tapi ternyata beasiswanya modelnya seperti apa? Cuma nol UKT,” ucapnya.
Sri merasa banyak penerima beasiswa SGS yang kecewa karena tidak memperoleh tunjangan apa-apa dari kampus, selain bebas biaya UKT. Hal itu, menurutnya, membuat banyak penerima beasiswa kemudian mengundurkan diri.
“Makanya tadi ya, konsep beasiswa yang nggak jelas, kemudian mereka masuk ke kelas reguler sementara belum bisa bahasa Indonesia, nah ini menjadi masalah masalah dan beban pikiran mereka, toh. Belum lagi yang tadi masalah perbedaan waktu. Sehingga kan akhirnya apa? ya udah banyak yang mundur teratur,” ucapnya diakhiri tawa.
Jika nanti tiba saat mahasiswa internasional diminta datang ke Indonesia, Jibril berharap tabungannya akan cukup untuk biaya keberangkatan ke Indonesia. Meski kemungkinannya kecil, Jibril menyimpan sedikit harapan. “Semoga Allah membantu,” ucapnya.
Ia berharap kampus dapat memperbaiki masalah-masalah yang muncul dari lahirnya beasiswa SGS ini secepat mungkin.
Rebecca mengaku, ia dan kawan-kawannya sudah sering menyampaikan keluhan-keluhannya kepada pihak IO dan pihak Fakultas melalui e-mail dan WhatsApp. Namun, pihak kampus tidak pernah memberikan solusi untuk menyelesaikan masalah.
Rebecca berharap agar International Office bisa lebih responsif terhadap keluhan yang disampaikan mahasiswa internasional. Selain itu, ia menyarankan agar International Office bisa lebih sering berkomunikasi dengan mahasiswa internasional.
“Agar lebih tahu kondisi kami, dan bisa menyelesaikan masalah-masalah ini dengan segera,” katanya.
Saat dikonfirmasi ke Ambar, ia mengaku belum menemukan jawaban atas masalah-masalah yang dialami mahasiswa internasional.
“Maksud saya tu, bahwa ada keluhan-keluhan seperti itu, itu sudah kita inventarisir, sudah kita masukkan. Tapi sementara ini kita belum bisa menemukan solusi terbaiknya karena situasi di sana dan di sini memang sangat berbeda (10/12/2021).”
Dalam kondisi yang serba tidak pasti ini, tak heran jika banyak penerima beasiswa yang memilih mengundurkan diri. Sementara beberapa temannya mulai berguguran, Rebecca memilih bertahan.
“Saran saya, mahasiswa internasional mungkin bisa mengambil cuti sampai mereka bisa benar-benar melakukan kuliah tatap muka,” ucap Rebecca.
Kemudian, Rebecca juga ingin agar kampus membentuk organisasi yang mewadahi seluruh mahasiswa internasional. Tujuannya, katanya, agar ketika mereka dihadapkan permasalahan rumit seperti saat ini, mereka dapat menyampaikan tuntutannya sendiri melalui perwakilannya.
Satu lagi, Rebecca menilai UIN perlu menengok kampus-kampus lain yang juga memiliki mahasiswa internasional sebagai tolak ukur.
“Kami memahami bahwa ini adalah kali pertama UIN menerima banyak mahasiswa Internasional, tapi kami juga merasa bersyukur,” katanya.
Meski begitu, ia ingin segala permasalahan ini dapat diselesaikan.
Senada dengan Rebecca, Sarjo juga menyayangkan tidak adanya respon yang cepat terhadap masalah-masalah yang dihadapi mahasiswa internasional.
“Banyak kampus-kampus yang juga memiliki mahasiswa internasional, mereka bisa mengatasi masalah ini. Kenapa kampus kita tidak bisa?” pungkas Sarjo. []
Catatan:
- International Office merupakan lembaga non struktural di UIN Suka yang bertugas untuk mengembangkan kerjasama dan hubungan dengan mitra universitas di luar negeri.
Reporter: M. Hasbi Kamil dan Khusnul Khotimah
Penulis: M. Hasbi Kamil
Editor: Kusharditya Albi