Pagi, Siang, Sore, Malam: Puisi-puisi Nabil

796
ilustrasi/NizarWildan

Pagi, Siang, Sore, Malam

Latihan

Tadi pagi hujan basah sekali, air matanya bucar penuh keterlepasan

Tadi pagi hujan ramai sekali, menumpahkan harapan-harapan

Tadi pagi hujan sakit sekali, menampung keinginan-keinginan

 

Pagi itu basah sekali, lembabnya menuju akar-akar yang liar, menahan beban dusta-dusta jauh dan bias.

Bias sekali seperti hukum dipandang jarak.

 

Misteri telah datang tanpa kabar kaburpun, kita terlalu jauh bersama tuhan-tuhan yang berkuasa.

Pandang langit dan bumi seperti rahim pada anak yang dilahirkan dan mampu 

hidup atau memilih mati.

Namun, jahat sekali jika melihat ada hanya berujung pada ketiadaan.

 

Sebab hujan tak mampu menolak kering pada terik.

Sebab Tuhan sangat dekat dan tak pilih kasih.

(2021)

 

Untuk kawanku

Sore itu ia bertanya; lalu ko mau buat apa ketika pulang kampung?

Dengan dalih penyembunyian aku selalu mencoba merawat bunga yang sedang mekar nan harum melanglang buana.

Ku katakan bahwa kita akan menang, tenanglah aku telah sadar dan dalam pada ucapan “Tanah Tong Pu Mama”.

Tenanglah kita akan menang.

 

Jalan tak pernah benci pada kita kawan, ia tau siapa-siapa yang menapakkan kakinya dengan kecintaan.

 

Barang siapa yang berkhianat pada jalan, kita yakin bukan? Bahwa dia akan tersesat dan menang atas nama penindasan.

Sesungguhnya kita tau bahwa menang bukan tentang siapa yang berkuasa.

Kita tau bukan? Penindasan berkembang biak atas satu kebohongan dan berana menuju kebohongan-kebohongan yang baru. Kita akan menang kawan, kita menang bersama kejujuran.

 

Lalu, ko mau buat apa?   Tegasnya.

(2021)

 

Kami Bermimpi

Dipersimpangan gang yang ramai, kami bermimpi bahwa kami telah mati.

Kaki kami lumpuh tertimpa kemaluan, mata kami tertutup kelopak penerimaan, raut wajah kami adalah kebohongan, tangan kami menjabat kebodohan.

Kami benar-benar mimpi, tapi kami tak pernah mampu berkhianat pada tanda.

Kami benar-benar mimpi, tapi kami tak pernah mampu mengkhianati bunyi.

 

Terlalu siang kami bermimpi, tapi kami menikmati kematian.

Kita ini telah mati, kita tak pernah peduli pada waktu. Kami bermimpi.

Telalu cepat kami bermimpi, tapi kami menikmati perubahan yang instan.

Kita tak pernah peduli pada ketekunan. Kami bermimpi.

Sudah terlalu dalam kami bermimpi, hingga kami lupa bahwa kami masih hidup. Kami menyadari.

 

Langit  begitu romantis mengubah siang dan malam, sementara kami sibuk berdebat bayang-bayangnya.

Tanah selalu tegar dalam topangannya, sementara kami sibuk mengeruk seberapa dalam dasar dan sakitnya.

 

Memang kami tak  selalu menyibukan perihal mimpi, tapi kami sadar bahwa kami sedang bermimpi dan kami sadar bahwa tak semua mimpi itu tentang mati. Kami jujur.

 

Tapi, mungkinkah kebohongan adalah mimpi yang terbangun?

 

Berbahagialah

 

Berbahagialah

 

Berbahagialah hingga kau direnggut mati dan bahagialah.

(2021)

 

Sayang, maafkan aku!

aku bisa saja masih menjadi bagian dari kekecewaan yang telah lama kau hempaskan ke neraka keputusasaan,

aku masih saja membuatmu sedih walau sakitnya telah hilang dan kau telah menang, 

aku bisa sering bimbang dalam keputusan sedangkan kau masih terus menyusun bunga-bunga kabar gembira ditaman,

aku bisa saja membuatmu resah pada ketakutan-ketakutanku yang setiap jalan tampak, sedang kau selalu memahami ini sebagai  pesan pulang pada kesetiaan 

 

Mengapa aku menjadi batu di atas bibit yang tertanam, 

tidak menjadi air pada tanah yang kering,  tidak menjadi burung dan nyanyian mengejar kasih-sayang, 

tidak seperti langit yang setia pada ruang, tidak menjadi laut yang merangkul pantainya,

mengapa aku menjadi semesta yang tidak jujur pada penciptaan.

 

aku sering melupakan perjamuan-perjamuan indah di atas kasur kekhusyukan, media hadirmu, bersama ketertawaan dan kita asyik merayakan pertemuan itu.

Sedang kau tak pernah absen memeluk ketelanjanganku bahkan lebih dari itu, dan aku masih saja abai pada kehangatan rindumu

 

Sayangku, aku telah berdosa, tapi kau enggan menamparku, kau tetap mengelus hati hingga kau membawaku terbang pada kenikmatan cintamu.

Sayangku, aku telah berdosa, aku berdosa pada hatiku, aku sering terlena pada satu dan yang lain.

 

Sayang maafkan aku

aku malu pada keberadaanku

aku mencelakakanmu pada kebohongan-kebohonganku.

 

Sayang maaf, aku berdosa. 

(2021)

Nabil Muhammad Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, lahir di tanah Sumatera! 

You may also like

Katong Mbedhol Parwata (Katong Mencabut Gunung)

Sapantuk wahyuning Allah, gya dumilah mangulah ngelmu bangkit,