Judul : Pribadi Hebat
Penerbit : Gema Insani
Penulis : Hamka
Tebal : xviii + 178 Halaman
Cetakan : Kesepuluh, Mei 2020
ISBN : 978-602-250-243-2
“Mengapa timbul keistimewaan, baik atau mulia pada beberapa orang atau beberapa golongan? Mengapa ada yang datang ke dunia tidak terkenal dan hilang dari dunia pun tidak dikenal?“ (Pribadi Hebat, xv).
Dua kalimat pertanyaan yang ditulis Hamka di bagian pendahuluan berhasil menarik perhatian saya untuk segera melahap habis buku ini. Kedua pertanyaan yang memboyong opini kita untuk mulai memaknai pribadi hebat.
Manusia berbeda dengan entitas lainnya karena pribadinya. Nilai satu manusia pun berbeda dengan manusia lainnya, lagi-lagi bergantung pada pribadinya. Dua puluh kerbau dengan kekuatan dan berat yang sama, harganya tidak akan jauh berbeda. Akan tetapi manusia, meskipun ada dua puluh manusia dengan tinggi dan kekuatan yang sama, nilainya bisa berbeda jauh antara satu dengan lainnya. Sebab, bagi kerbau hanya tubuhnya yang berharga, sedang bagi manusia adalah pribadinya.
Sebagai hal abstrak, pencarian makna pribadi tidak mengenal usang dan selesai. Kendati pokok tentang pribadi sudah ada sejak 2000 tahun yang lalu, pembicaraan ini masih menarik untuk dikaji kembali melalui perspektif yang kontekstual. Sejak Pandemi Covid-19 merebak, banyak orang kembali mempertanyakan sisi kemanusiaannya. Ada yang semakin beringas merebut dan berbagai barang penting tiba-tiba langka, tetapi ada juga yang semakin banyak orang yang bersolidaritas antarsesama.
Untuk menjadi pribadi yang hebat, ada banyak dimensi pribadi yang harus diperhatikan. Orang yang berilmu saja belum tentu memperoleh kehormatan dalam hidup apabila bahan pribadinya yang lain tidak lengkap atau tidak kuat, terutama budi pekerti. Jangan disangka pula bahwa pribadi besar dan kuat semata-mata setelah memakai sifat terpuji. Bahkan kebalikannya, bertambah besar pribadi seseorang bertambah jelas pula letak kelemahan dan kekurangannya. Pepatah Arab mengatakan, apablia sesuatu telah sempurna, nampaklah kekurangannya.
Berbeda dengan Gao Xingjian, penulis Gunung Jiwa asal Tiongkok, yang membawakan bahasan tentang kepribadian dengan gaya imajinatif dan penuh analogi. Hamka justru membeberkan isu kepribadian ini dengan bahasa eksplisit dan sistematis. Hal ini menjadi kelebihan sekaligus kekurangan bagi buku Pribadi Hebat. Di satu sisi, ia menjadi lebih mudah untuk dicerna. Di sisi lain ia terkesan membosankan dan kurang memancing emosi pembacanya.
Tak heran, Pribadi Hebat menjadi salah satu buku nonfiksi Hamka yang jarang disinggung. Pun Hamka sendiri menyadari pengkajian buku ini akan terasa membosankan dan kerap dikata pengkajian lebai-lebai di sudut surau. Akan tetapi, jika membaca sambil meneropong ke dalam hati sendiri, terdapat juga daki jiwa yang harus disingkirkan. Buku ini tetap menjadi salah satu buku yang sangat reflektif bagi Hamka.
Di permulaan membaca buku ini saya miris akan absennya kelompok formal yang mengkaji gagasan-gagasan Hamka secara serius dan komprehensif. Namun, rasa miris ini perlahan di-nina bobo-kan oleh kesadaran Hamka akan banyaknya pemikir “kaya” yang juga tidak menikmati apa-apa dari hasil pemikriannya. Ia mengambil contoh empiris dari Karl Marx yang tidak melihat hasil bukunya Das Kapital, Stalin yang tidak enak-enak duduk di atas Kremlin, serta Phillas Fogg, tokoh fiksi ciptaan Jules Verne, yang justru lebih terkenal dari Jules Verne sendiri.
Yang Menguatkan Pribadi
Ada orang yang hanya dengan melihat wajahnya, sudah menarik hati kita, tetapi setelah bertukar pikiran barulah kekurangannya tampak. Sebaliknya, ada orang yang mula-mula kita lihat telah menimbulkan rasa benci. Namun setelah bertukar pikiran diri kita tergugah untuk mengafirmasinya. Sangkaan buruk atau baik tidak dapat dilekatkan kepada seseorang sebelum ada pendekatan terhadap orang tersebut.
Tidak cukup sampai di situ. Jika ingin mengenal seseorang lebih lanjut, kita tidak cukup mengetahui buah pikirnya saja, tetapi juga harus mengerti budi pekertinya. Hal semacam itu, pernah terjadi pada Hamka sendiri. Seperti yang diceritakannya dalam Pribadi Hebat, ia pernah membenci Dr. Sutomo pada 1931. Saat itu, Dr. Sutomo dibenci karena sering kali bersitegang dengan kelompok Islam dan membuatnya dibuang ke Digul. Bagi Sutomo, memegang teguh pendirian itu lebih utama daripada naik haji ke Makkah karena ikut-ikutan.
Suatu hari, Hamka berkunjung ke Surabaya untuk menemui Dr. Sutomo. Saat hendak mau berangkat ke kediaman Dr. Sutomo, Hamka dinasihati oleh seorang temannya, “Jika kebencian Tuan kepadanya hanya karena ikut-ikutan, saya percaya Tuan akan tertarik setelah bertemu dan bercakap-cakap dengan dia. Budinya tinggi. Sebab itu, jika maksud Tuan hendak membencinya janganlah mendekat kepadanya” (Pribadi Hebat, hlm 12). Dan benar saja, setelah pertemuan itu, citra Dr. Sutomo di benak Hamka berubah menjadi lebih baik.
Menurut Hamka, ada beberapa elemen yang menunjang tingginya budi pekerti. Di antaranya adalah kesopanan, ilmu pengetahuan yang luas, kesanggupan menahan hati pada perkara yang belum disepakati, dengan kecerdasan, kecepatan menarik kesimpulan, kebagusan susunan kata, kepandaian menjaga perasaan orang, dan kesanggupan menenggang.
Kumpulan sifat dan kelebihan itu menimbulkan daya tarik. Hal itu dapat dipelajari dengan pergaulan yang luas dan ada juga karena diwarisi. Pendidikan ibu, bapak, sekolah, teman sejawat, dan lingkungan masyarakat banyak berpengaruh dalam pembentukan daya penarik. Kuat atau lemahnya.
Melalui buku ini, Hamka juga banyak menyinggung istilah-istilah yang maknanya sudah kedodoran di masyarakat. Tentang keberanian ia memadahkan, “Pribadi yang berani adalah yang sanggup menghadapi segala bahaya atau kesulitan dengan tidak kehilangan akal”. Tentang kebesaran jiwa yang dimaknai melalui cara seseorang memandang dunia dari sisi yang baik. Tentang pemaknaan tawadhu’ dengan tahu diri. Tentang kepercayaan pada takhayul warisan animisme yang menjadikan kepercayaan pada Tuhan menjadi samar. Perkara-perkara tersebut dinilainya menghambat kemajuan Indonesia setelah berhasil merdeka dari jajahan negara kolonialis di paruh awal pertengahan abad 20.
Lebih lanjut, Hamka menjelaskan bahwa ada dua hal yang telah merusak batin bangsa Indonesia. Pertama, didikan bangsa penjajah yang selalu memasukkan pengaruh bahwa bangsa Indonesia tidak sanggup melakukan apapun. Yang kedua adalah taklid dalam agama atau didikan “pak turut” (istilah yang digunakan hamka untuk kaum fanatik).
Kritik Hamka Terhadap Ekslusifitas Ajaran Agama
Budaya mengikuti suatu ajaran secara membuta-tuli memadamkan pamor kaum Muslimin sejak 700 tahun belakangan. Tidak ada lagi pendapat yang baru, sudah dicukupkan dan dikuti saja hal-hal yang ditulis oleh ulama terdahulu. Sikap ini disebut taqlid, dan pengikutnya dinamakan muqallid.
Seakan kitab suci, buku-buku yang dituliskan ulama terdahulu harus dijalankan dan tidak boleh diganggu gugat kebenarannya. Hal ini dinilai Hamka sebagai kelalaian diri dalam membedakan mana kitab suci, mana buku tulisan manusia. Manusia, apa pun pangkat dan gelarnya, sangat memungkinkan terselip kesalahan dan keterbatasan. Sehingga tidak semua hal yang ditulisnya mesti diterima.
Ilmu memang ada perguruannya, tetapi murid yang tidak merdeka dari gurunya dan mengikuti gurunya secara membuta-tuli adalah murid yang tidak berpribadi. Kemungkinan lain, gurunya yang tidak pandai atau tidak ingin muridnya memperoleh kemajuan.
“Selamilah sedalam-dalamnya pikiran orang lain dalam buku orang lain agar kita dapat membandingkan dan mencari tau siapa diri kita. “Telan” buku-buku yang banyak, lalu jadikan pupuk untuk menyuburkan diri sendiri dengan pendapat sendiri” (Pribadi Hebat, 121).
Sifat-sifat yang dijelaskan di buku ini serupa kompas yang menemani perjalanan pemuda. Perjalanan panjang dan mencekam menanti di hadapan pemuda. Tanpa kompas, beratlah langkahnya terasa. Tak cukup itu, dengan kompas pun kalau tak ada kemauan untuk mencari jalan hasilnya akan percuma.
Menguatkan pribadi dengan pencarian dan peneropongan ke dalam diri menjadi hal yang penting. Sebab mencari dan menemukan tidak hadir berpasangan. Sesekali iya, lebih sering tidak. Di antara keduanya muncul kecurigaan dan penasaran. Petunjuk dan kebingungan, fakta dan fiksi, asumsi juga spekulasi, yang berbentuk empiris juga mimpi-mimpi. Yang mencari tidak mesti bertemu, apalagi yang tidak meniatkan diri untuk mencari. Segala hal adalah petunjuk jika mau dan mampu. []
Penulis: Misbahul Khoir, Mahasiswa Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Editor: Muhammad Rizki Yusrial