lpmrhetor.com – “Apakah setelah kelir ditutup, penonton akan lupa segalanya?” begitulah salah satu dialog dalam naskah “Jangan Menangis Indonesia” karya Putu Wijaya yang dipentaskan oleh Teater SABA di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta pada Minggu (23/11/19).
Pementasan ini mencoba mengkritik tentang segala permasalahan yang terjadi di Indonesia melalui sejarah. Hal ini disampaikan oleh Muhammad Shodiq Sudardi, selaku sutradara sekaligus aktor yang kami wawancarai seusai pementasan.
“Kami memilih Putu Wijaya karena satu hal yang benar-benar kami pahami, bahwa di sini ada tarikan ke belakang yang kemudian kita harus berbicara bagaimana negara ini dibentuk,” ucapnya.
Menurut Shodiq, permasalahan negara hari ini tidak bisa diselesaikan dengan hanya melihat apa yang sedang terjadi. Ia mengatakan bahwa kita seharusnya melihat sejarah untuk merespons permasalahan tersebut. Walau ada rentang masa yang memisahkan, sejarah tetap hadir di tengah-tengah persoalan kekinian.
“Saya pikir, generasi saat ini tidak cukup dengan hanya melihat zaman sekarang, tapi harus melihat bagaimana zaman lampau negara ini didirikan. Sehingga, untuk menata zaman ke depan, kita tidak terputus lagi oleh sejarah,” tuturnya.
Shodiq melanjutkan, kesenian merupakan medium dalam menyampaikan kritik, termasuk dalam pementasan kali ini. Ia mencoba memberikan gagasan kepada penonton melalui seni. Dalam hal ini, seni berkedudukan sebagai penyampai pesan dan kritik.
“Seniman harus mempunyai posisi baik dalam hal gagasan di masyarakat. [Karena] pada akhirnya, orang tidak cukup berkutat pada nilai estetika kesenian, tapi bagaimana orang juga bisa menjumpai gagasan-gagasan baru dalam kesenian,” pungkasnya.
Sylvia Maharani, pimpinan produksi, juga berharap agar penonton dapat mengambil gagasan dan kritik yang disampaikan dari pementasan kali ini.
“Semoga dengan pentas ini, gagasan yang kita tampilkan dan sampaikan bisa ditangkap. Terlebih bisa membuat para penonton yang kebanyakan mahasiswa itu sadar terhadap keadaan negara Indonesia. Meskipun naskah itu dibuat oleh Putu Wijaya untuk merespons keadaan politik pada 2005, tapi ternyata di tahun ini terjadi lagi,” kata Rani.
Sedangkan, Abdillah Rakinten sebagai ketua Teater SABA berharap bahwa teater dapat menjadi sarana dakwah.
“Kita ingin membawa dakwah tidak hanya di panggung khotbah,” katanya.
Saat tirai ditutup tanda pementasan usai, gemuruh tepuk tangan penonton mengiringi pemungkasannya. Teater SABA berhasil mengawinkan sejarah dan seni sekaligus membidani lahirnya kritik dari perkawinan itu. Lalu, seperti bisa ditebak, hujan apresiasi menyirami lantai Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta malam itu.[]
Reporter: Kusharditya Albi
Editor: Siti Halida Fitriati