Berangkat dari tulisan kawan Sapari dalam tubanjogja.org yang berjudul “Manusia di antara ‘la fi khusrin’ dan ‘lafi khusrin’,” yang dikomentari oleh seseorang yang tak perlu disebutkan namanya, dia bilang begini: “Tulisan yang kritis untuk kaum individualis. Sayangnya satu, tulisan ini tidak kritis pada mereka yang seolah-olah sosial, mengatasnamakan rakyat atau umat, tapi untuk kepentingan pribadi”. Sontak saya terpantik oleh komentar tersebut sekaligus mengiyakan stetmen si komentator.
(Baca di tubanjogja.org: Manusia di antara “la fi khusrin” dan “lafi khusrin”)
Memang benar, realitas yang terjadi ternyata bicara beda. Mereka yang sadar dan yang sering mempelajari teori-teori kritis, pada akhirnya hanyut oleh arus kultural yang tak patut dijadikan sebagai tolak ukur, apalagi sebagai suri tauladan. Bahkan, kehanyutan itu justru diwariskan secara turun-temurun.
Padahal Allah Swt sudah berpesan dalam surat Al-Ashr, yang terdiri dari tiga ayat. Dijelaskan bahwa semua manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kerugian yang dimaksudkan dalam ayat ini bisa bersifat mutlak. Mutlak dalam artian seseorang merugi di dunia dan di akhirat. Pun bisa jadi kerugian yang dialami hanya dari satu sisi saja. Maka, dalam surat itu Allah menjelaskan lagi bahwa kerugian pasti akan dialami oleh manusia, kecuali mereka yang melaksanakan empat kriteria yang kontradiktif terhadap kerugian tersebut. (Lihat: Tafsir Karimir Rohman, hal 934).
Mari kita simak akan perkataan Fudhail yang begitu mengkesimakan karena keindahannya. Begini katanya:
لاَ يَزَالُ الْعَالِمُ جَاهِلاً حَتىَّ يَعْمَلَ بِعِلْمِهِ فَإِذَا عَمِلَ بِهِ صَارَ عَالِمًا
“Seorang yang berilmu akan tetap menjadi orang bodoh sampai dia dapat mengamalkan ilmunya. Apabila dia mengamalkannya, barulah ia menjadi seorang alim.” (Dikutip dari Hushul al-Ma’mul).
Nah, melalui nash tersebut, kita dapat memahami bahwa apabila seseorang memiliki ilmu, tetapi tidak mengamalkannya, maka dia adalah orang yang bodoh. Pun, yang dimaksud, tidak ada perbedaan antara dia dan orang yang bodoh, karena ia tidak mengamalkan ilmunya. Oleh sebab itu, seseorang yang berilmu tapi tidak beramal, termasuk pada kategori yang berada dalam kerugian, karena besar kemungkinan ilmu itu malah akan menjadi senjata yang berbalik menggugatnya maupun menyerangnya.
Saat ini, saya akan mencoba mengajak pembaca untuk menceburkan diri dalam pembahasan orang yang merugi dalam konteks mereka yang berilmu tapi tidak mengamalkannya. Dalam sebuah tafsiran surat Al-Ashr sendiri, dijelaskan bahwa orang pintar yang berilmu tidak akan pernah ada bedanya dengan orang bodoh. Biasanya, ia hanya berkutat pada tataran teori saja, sedang secara praktik atau pengaplikasiannya, baik dalam pemikiran maupun tindakan, zonk… tidak ada.
Membaca tulisan yang ada di tubanjogja.org tersebut, dikatakan, manusia berada dalam kerugian karena membuang-buang waktunya hanya untuk urusan pribadi. Kepentingan dan kemaslahatan umat diabaikan karena merasa tidak ada keuntungan bagi dirinya.
Nah, saat ini kita akan mencoba memblejeti mengapa manusia dapat dikatakan merugi karena menyia-nyiakan waktu. Bedanya, kemunafikan menjadi topeng dari muka buruknya. Peribahasanya bisa dibilang “Serigala berbulu domba.” Siapakah ia?
Yaitu mereka yang seolah-olah populis-sosialis, mengatasnamakan rakyat, namun orientasi keilmuannya didedikasikan untuk kepentingan pribadi. Naudzubillah, terutama ini di bulan suci Ramadhan, haruslah perbanyak kebajikan, bukan malah tipu-tipuan. Rela menipu sesama hanya demi polularitas, eksistensi, maupun kesejahteraan dirinya, ataupun golongannya semata. Astaghfirullah…
Coba kita tengok ke kanan-kiri atas-bawah. Ada apakah? Atau tak menemukan sesuatu apapun.
Oke, kita lanjut pembahasan kali ini. Banyak dan tak jarang kasus tersebut merebak, terutama yang ada di kampus sendiri, yaitu UIN Sunan Kalijaga. Masih bisa ditolerir memang, jikalau secara kapasitas ia tidak tahu menahu. Nah ini, terutama dari kaum gerakan, yang sedari awal dicekoki oleh berbagai macam wacana, dari kiri mentok sampai kanan pojok. Ideologisasi pun menjadi basis dari tiap arah gerakan mahasisiwa. Kurang apanya coba?
Realitasnya, apatisme telah mendarah daging. Gerakan bisa dibilang tak lagi gerakan, katanya malah “gerak-gerik” saja. Bisa pula dibilang gerakan hanya sebagai euforia atau penggembira.
Mereka, yang katanya gerakan, yang sudah pasti memilki instrumen untuk bergerak, makin hari makin layu saja. Toa-toa megaphone yang yang biasanya berteriak-teriak selama turun ke jalan untuk memperjuangkan keadilan, sekarang bungkam. Jika realitas berjalan seiringan dengan idealitas, mungkin kehidupan ini tak mudah jomplang apalagi jompat-jampit, kesana-kemari hanya mengikuti arus dan malah terbawa oleh arus itu sendiri.
Mengikuti arus atau pun terbawa arus, artinya tidak ada benteng terhadap penjagaan diri maupun pendirian. Kaum gerakan sudah teracuni oleh mental manut, nunut, yang terbangun sejak dalam pikiran. Walhasil, tanpa pikir panjang, apapun yang diinstruksikan, terutama oleh para senior yang di agung-agungkan itu, langsung diterobos semaunya.
Tak ayal, jika banyak mental-mental para insan gerakan yang selalu mengatakan dirinya populis-sosialis, berjuang atas nama rakyat, demi keadilan umat dan segala tetek–bengeknya, yang kesemuanya tadi hanya untuk kepentingan pribadi.
Sebagai contoh, para insan gerakan terutama mahasiswa, tak jarang sering meneriakkan asas-asas kemanusiaan, asas demokrasi, kepentingan rakyat di atas segalanya, tapi apa? Lagi-lagi sering kita jumpai, semua itu hanya selesai di teriakan toa-toa yang juga kian hari kian melayukan diri.
Ketika dihadapkan dengan pesta Pemilihan Wakil Mahasiswa (Pemilwa), para mahasiswa terutama yang tergabung dalam gerakan ekstra, yang bisa menduduki tataran kursi birokratis, berbondong-bondong untuk menjemput bola itu. Terkait apa yang dikampanyekan, tak jarang nama rakyat disebut-sebut. Tapi apa? Setelah sesuatu yang ia cita-citakan dan itu menguntungkan bagi pribadinya atau pun suatu golongan tertentu, lenyap sudah kata rakyat itu. Setelah bola itu berhasil dalam genggamannya, lalu cukup dengan kepuasan dan kebanggaan yang menjadi titik zona nyamannya. Lepas kandas pada akhirnya. Bola-bola selanjutnya hanya ditunggu. Idealita yang digadang-gadang dan dirintis dalam diskusi wacana dari buku apapun, menjadi luntur karena dibenturkan oleh realitas nafsu yang membelenggu.
KBBI bilang, rakyat berarti penduduk suatu negara. Artinya, negara menjadi penanggungjawab atas apapun kebutuhan rakyat. Kata rakyat yang dalam esensinya memiliki makna yang indah dan kompleks, hanya menjadi permainan politik ataupun alat kepentingan atas kepentingan. Sungguh nahas nasib rakyat ini, hanya dijadikan kambing yang terus ditarik-ulur keluar-masuk.
Kata rakyat, memiliki suatu kesakralan tersendiri. Artinya, kata itu tak cukup hanya dibuat sebagai pajangan spanduk, orasi kampanye, apalagi dijual namanya di atas janji-janji. Tapi, rakyat merupakan sekumpulan penduduk suatu negara yang patut dimanusiakan, dibela, diperjuangkan, dan juga dipenuhi haknya. Nah, jadi, sebelum dengan entengnya menggunakan nama rakyat dalam melakukan hal yang menguntungkan kepentingan pribadi dan segelintir orang saja, berpikirlah sebelum bertindak, kemudian bertindaklah sejernih bulan Ramadhan nan berkah ini. Terakhir, berupayalah untuk selalu menjadi khoirunnas anfa’uhum linnas, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia.
*Penulis Insya Allah sudah banyak menulis tentang ini dan itu, banyak sekali. Semoga barokah. Ia mahasiswa KPI.